Ekonomi

Preman Politik Keruk Keuntungan Lewat ‘Sengatan’ Tarif Listrik

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Mei 2017, pemerintah kembali mencabut subsidi bagi pelanggan listrik 900 VA. Imbas dari pencabutan ini adalah kenaikan tarif listrik yang harus dibayar masyarakat. Kenaikan tarif listrik ini sebetulnya merupakan kelanjutan yang telah dimulai sejak Januari lalu. Itu tahap pertama. Tahap kedua dan ketiga berlangsung pada Maret dan Mei.

Pencabutan subsidi ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2016 tentang tarif tenaga listrik PT PLN (Persero) mengatur penerapan tarif non subsidi bagi rumah tangga daya 900 VA yang mampu secara ekonomi. Dan Peraturan Menteri ESDM Nomor 29 Tahun 2016 tentang mekanisme pemberian subsidi tarif tenaga listrik untuk rumah tangga.

Terlepas dari itu, pada 2014 lalu, Presiden Jokowi secara terang-terangan menyebut ada mafia yang bermain di balik sektor kelistrikan Indonesia. Sejak saat itu, tak sedikit kalangan yang melemparkan retorika bila Jokowi akan memerangi para mafia dan sampai detik ini tak juga kunjung dilaporkan berhasil. Benarkah Jokowi perangi mafia listrik?

Baca Juga:  Pemdes Kaduara Timur Salurkan BLT

Statemen Jokowi terkait mafia listrik diamini banyak pihak. Namun, setiap kali tarif listrik naik, Jokowi tentu saja yang menjadi sasaran keluhan, kecaman dan penolakan. Menurut Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, kenaikan tarif dasar listrik yang kini tengah dirasakan masyarakat merupkan bentuk keserakahan oligarki yang memgambil pola preman jalanan. Siapa preman tersebut?

“Para pengusaha listrik yang juga pengusa negara atau pengambil keputusan. Preman politik ini ingin untung besar agar uangnya banyak sampai 2019 mendatang.  Karena nyolong APBN saja tidak cukup maka dibuat kebijakan menaikan harga listrik agar bisa nyolong melalui BUMN PLN,” kata pengamat AEPI, Salamuddin Daeng.

Dikatakannya, pengusaha sekaligus penguasa mengambil keuntungan besar dari jualan listrik ke PLN. “Dengan skema yang ada sekarang PLN harus beli listrik swasta, termasuk kelebihan produksi mereka. Pertanyaannya siapa yang hitung? Benar nggak hitungannya. Gas saja yang jelas kelihatan barangnya bisa dicolong, bagaimana dengan strom?” cetusnya.

Baca Juga:  Kebutuhan Energi di Jawa Timur Meningkat

Sekadar diketahui, biaya produksi listrik telah turun drastis karena turunnya harga minyak, gas dan batubara hingga 200 sampai 300 persen. Sementara, harga listrik sudah naik hingga 100 persen. “Ini adalah perbuatan penguasa  sekaligus pengusaha yang merampok rakyat. Padahal sebagian besar biaya produksi listrik adalah biaya bahan bakar. Kalau harga bahan bakar turun, mengapa tarif listrik naik? Ini sidah gaya preman kampungan,” sebutnya.

Artinya, kenaikan tarif listrik yang terus terjadi secara tidak langsung membuktikan bahwa Jokowi memerangi mafia listrik hanyalah sebatas retorika belaka. Lebih jauh lagi, seperti diketahui Jokowi tengah berupaya keras membangun proyek pembangunan pembangkit listrik baru berkapasitas 35.000 MW (Mega Watt). Rencana ambisius ini diketahui molor setelah sebelumnya Jokowi sesumbar mengatakan mega proyek tersebut rampung pada 2019.

Pewarta: Eriec Dieda
Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 15