Puisi

Perempuan Sintren, Luka Aswatama dan Pembendung Kali Sambong – Puisi Kurnia Hidayati

Perempuan Sintren

jangan bertanya kepada siapa aku berguru menari
jika kau melihatku mahir meliuk gemulai, seirama tabuh gamelan dan tetembangan
tersebab ruh bidadari gemar berdiam di dalam badan
manakala pawang merapal mantera dalam kungkung kelimun dupa,
arah asap yang langgas dari pembakaran menyan, serta doa-doa yang terlahir
dari beberapa gurat di retakan bibir

*
semayup bunyi
juru kawih berkebaya ungu duduk bersila, ia menembangkan senandung pilu,
nadanya yang bingah ia lantunkan jadi merana. liriknya yang indah ia ucapkan jadi nestapa
ia menyengaja, agar orang-orang yang sembunyi di lorong rumah, lekas tiba dan mendekat
dan tembang itu, barangkali cukup membikin orang terbuai lantas pergi menjauhi pintu
“tambang tambak pawon. isine dandang kukusan. ari kebul-kebul wong nontone podo kumpul ….”
tembang. pelan-pelan dimoksakan kesiur angin, menyapa wajah demi wajah, membisikkan pelawa
di tengah perempatan ini, kami memainkan kesunyian
malam bindam berjelaga, bulan hitam tanpa cahaya
kan jadi sepasang mata yang mengintai
aku yang dijampi telah menyulap tubuhku jadi gerbang terbuka
mengizinkan tubuhku disinggahi ruh bidadari

“dituku disebrang kana. Kartini dirante kang dirante aran mang rana.”

*
bermula dari seutas tali yang membuhul tubuh
guna-guna disemburkan, mantera-mantera membumbung ke udara
asap kemenyan menelisik lipatan lapis baju di badan,
lapis baju dan riasan yang dilipat rapi sebelum masuk
ke dalam kurungan ayam berbungkus tikar
lihat! aku hendak sembunyi dari nyata duniaku

duhai tali, melekatlah erat dengan tubuh ini
pintaku dalam hati, sementara tetabuhan terus menggambari malam dengan magis suasana
mencekam, sarat ketakutan dan ngeri
tatkala nampak sedemikian erat tubuhku terikat dari leher  dan terjerat hingga kaki

tikar lalu dibentang, tubuhku yang limbung digulingkan
aku bak nasi dalam bungkusan
kurungan hampa itu, bersiap menerima kedatanganku
baju dan riasan ditata
menyambut tampilanku yang biasa

duhai juru kawih, terus menembanglah
searah gamelan mengukir lagu-lagunya
dupa dibakar dan pawang membaca doa
memanggil ruh bidadari merasuk ke dalam raga

*
lihatlah! aku telah meloloskan diri
bajuku kini indah dan rapi. wajahku, kini berseri merias diri
kedua tangan kaca mata hitam bertengger di daun pendengaran
tetabuhan masih mengalun menyedihkan
aku menari, terus menari
meski sesekali limbung dan tubuhku dipapah sepi

aku tak bisa manafsir arah keadaan
ketika orang-orang mulai melempar recehan
sebab semua hanya menyisakan kegelapan
sebuah ranah yang tak bisa dilihat dengan mata

orang-orang bersorak
recehan terus dijatuhkan
satu, dua

*
aku! sang perempuan sintren
akan terus menari selama pawang belum mengusir ruh bidadari dari lisut tubuh ini
biarkan sepotong malam di perempatan, jadi fragmen kisah di pesisir jawa.
kendati zaman perlahan melupakan cinta sulasih sulandono
dan arah laju waktu membikin ceritanya jadi binasa

Batang, 2013

Luka Aswatama

bukankah ibu telah memberi wejangan, untuk tak menoleh ke belakang
meskipun alur penggalian goa memburu Pandawa
masih nun jauh teramat panjang

tetapi kau ingkar pada nasihat
tak taat pada kaifiat
kau pun menoleh
tiada sempat mengingat janji

penggalianmu yang jerih
dan usahamu yang letih
lekas ke muasal kembali

oh, betapa sia-sia, Aswatama!
harus kepada siapa kau kabarkan kecewa
jika sesalmu terasa demikian luka

2014

Pembendung Kali Sambong
: Bahurekso

pada pendadaran pertama sebelum menjadi ksatria
sultan telah mengizinkan engkau mengajak prajurit
dan berangkat membendung Kali Sambong sedikit demi sedikit

tetapi takdir memilih simpang dari arah taksir
tanggul itu, Bahurekso, barangkali tak lebih digdaya
dari ngeri deras aliran kali

pada tiga sayatan hari
tanggul terbangun, namun lekas runtuh kembali
jerih prajurit jadi beban kecewa tak tergadai
tak sepadan dengan langgas keringat dan lepas engahan napas

maka, kau, Bahurekso, memanggul bingung bukan kepalang
menghitung, barangkali ada keganjilan yang luput dari arah pandang

katakan, Bahurekso!
jika tanggulmu terus runtuh,
bagaimana kelak kau akan membendung kali?

Batang, 22 Maret 2014

Nujum Sebatang Jarum

yang dipisah resah akan menyatu;
potongan kain tersulap jadi baju, sapu tangan persegi memagut rompel bunga di tepi, kancing-kancing cantik beriring, kuping boneka lepas tersambung lekas, celana bolong merapat kembali usai kujelujuri jejak cakaran paku yang mengoyak tak tertebak.

perkara jahitan apa lagi yang harus kuterka tatkala benang panjang mengisi lubang di kepala?
bukankah telah kutelusuri segala yang terhampar di depan mata? menyambung yang terputus dan mengikat jalur serat.
namun, jika kakiku menyimpang dari arah benang, menusuk kemungkinan terburuk, akan ada darah menggenang dari senoktah lubang. seketika terhenti menjelujuri. sembari menyesali betapa cerobohnya aku ini.

Batang, 21 Desember 2014

Segayung Utara

1/
tandil kebun!
jengilkan mata pada para pekerja
yang berkerumun, di antara juntai daun, nging nyamuk hutan, sengatan semut merah, ancam tawon raja, lenting ekor kalajengking, lompatan tupai, dan desis ular-ular
tanyalah,  “apakah isi kepala saat ini hanya berujar seputar rumah dan janabijana?
bukan ihwal buah kakao dan butir-butir kelapa.”

sebab di sini, pohon-pohon akan murka
jika alpa diunduh buah-buahnya

“mari melintas di atas kering daunan yang lepas. beradu tangkas; berebut kakao dan kelapa dengan para pencuri dan hama. jika beruntung, kakao-kakao matang akan menyesak di karung dan melampaui punggung. amati pula reput-relai kayu-kayu pohonan agar kerentaannya tak jatuh menimpa badan. di segayung utara, kita lebih dari seorang pekerja. ”

2/
tandil kebun!
amatilah para pekerja
buruh yang mendaki pohon kelapa terlampau tinggi
dan pemetik kakao dengan caping di kepala
semuanya takzim pada intai
dan titahmu
yang terus menggema
nyaring
di segayung utara

Batang, 10 Maret 2015

_________________________________

Kurnia Hidayati/Foto Istimewa
Kurnia Hidayati/Foto Istimewa

*Kurnia Hidayati lahir di Batang, Jawa Tengah, 1 Juni 1992. Buku puisi tunggalnya Senandika Pemantik Api (2015). Tulisannya pernah dimuat di Media Indonesia, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Indopos, Riau Pos, Pikiran Rakyat, Suara Karya, Banjarmasin Pos, Pos Bali, Bandung Ekspress, Majalah Sastra Kalimas, Minggu Pagi, Joglosemar, Ogan Ilir Ekspress, Buletin Jejak, Haluan Padang, Radar Surabaya, Suara NTB, Batak Pos, Metro Riau, Solopos, Harian Cakrawala Makassar, Tabloid Duta Selaparang, Buletin MANTRA, Radar Seni, mayokoaiko.com, unsa27.net, C-Magz, dan lain-lain.

Related Posts

1 of 124