Cerpen

Percakapan di Taman dan Legenda Kupu-kupu

Cerpen: Novita Hidayani

NUSANTARANEWS.CO – Tania sedang menyaksikan sepasang kupu-kupu kuning terbang beriringan mengitari panca warna disampingnya ketika Moza datang dan langsung mengambil tempat duduk di hadapannya.  Sebuah ingatan tentang legenda kupu-kupu yang pernah di dengarnya terlintas seperti bintang jatuh di kepalanya. Berkilau. Mulut Tania hampir terbuka bercerita, ketika Moza mendahuluinya.

“Kau datang terlalu cepat ya? Bukan aku yang terlambat. Di arlojiku masih lima menit sebelum waktu janjian kita.”

Tania tertawa kecil. Pasangan kupu-kupu kuning yang dilihatnya tadi terbang menjauh bersama ingatannya tentang legenda  kupu-kupu. Terbang menjulang ke daun-daun pohon trembesi yang ada di sana. Ia menyelipkan rambut pendeknnya di belakang telinga dan mengerahkan seluruh tubuhnya menghadap Moza.

“Iya, aku sengaja datang lebih cepat. Aku suka taman ini, jadi kupikir tak ada salahnya jika aku datang sedikit lebih cepat. “

Tania melihat Moza mengangguk-anggukkan kepalanya pelan sebentar sebelum laki-laki berkulit putih pucat itu mengeluarkan laptop dari ranselnya. Ia pun segera melakukan hal yang sama. Keheningan mengukung sesaat, ketika laptop keduanya menyala.

“Jadi kau mau cerita apa?” Tania memecah keheningan. Moza menghela nafas panjang sejenak.

“Aku jengah dengan istriku, Tan.” Ucapnya. Tania tersenyum mendengar itu.

“Anna merajuk lagi?”

“Tidak. Kali ini bukan soal merajuk. Mungkin aku sekarang jadi terbiasa dengan sifatnya yang sering merajuk, jadi itu bukan masalah lagi.”

“Trus kenapa?”

Moza memasukkan sebuah flashdisk ke laptopnya dan mulai mengirim beberapa file. Statistik pengiriman berwarna hijau di layar laptopnya bergerak malas-malasan. Seperti seorang pria obesitas. Tania memperhatikan bagaimana lengan Moza yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu bekerja.

“Kali ini dia selalu bercerita hampir setiap malam. Aku serasa raja timur tengah yang didongengi kisah 1001 malam itu.”

“Cerita?”

“Iya. Jika ia bercerita tentang kesehariannya atau diceritakan dongeng sungguhan mungkin aku tak masalah. Tapi ini, dia bercerita tentang pertikaian-pertikaian pasangan. Dimulai dari pengalaman orang tuanya yang bercerai, pertikaian teman-temannya, lantas berlanjut ke pertiakaian-pertikaian yang dibacanya di majalah keluarga.”

“Pertikaian seperti apa?”

Oh meski membicarakan Anna membuatnya merasa tak enak hati. Seperti seluruh saluran pernafasannya disumbati sampah-sampah buangan dari saluran lain. Asal Moza bercerita, ia akan bersedia mendengarkan apa saja.

“Seperti teman lelakinya yang jatuh cinta dan berhubungan dengan perempuan lain tanpa sepengetahuan isterinya atau seorang teman dari temannya yang memiliki isteri simpanan.”

“Maksudmu tentang perselingkuhan?”

“Iya. Anna menjejaliku dengan cerita-cerita seperti itu, Tan. Bisa kau bayangkan bagaimana jengahnya perasaanku.” Moza menghela nafas panjang dan meregangkan tubuhnya seakan-akan ia telah duduk berjam-jam di depan laptopnya.

“Jika sudah bercerita, ia tak kenal waktu dan tempat. Saat menghadiri undangan pernikahan, sarapan, atau ketika aku ingin tertidur di sampingnya sehabis, kau taulah. Ia akan bercerita seolah-olah, dialah korban dari cerita itu dan aku tlah menjadi salah satu dari laki-laki yang diceritakan. Sangat menjengkelkan sekali.”

“Oh isterimu memiliki ketakukan-ketakutan itu rupanya. Dulu saat aku baru pertama kali menikah dengan mantan suamiku, aku juga memiliki ketakutan-ketakutan itu. Aku takut menjadi perempuan yang diceritakan perempuan lain tentang betapa malangnya menjadi diriku. Dan firasat perempuan itu memang kadang bisa lebih tajam dari sebilah pisau.”

Keduanya menarik nafas panjang. Suara deru kendaraan yang tadi tersamarkan oleh keriuhan hati dan kepentingan-kepentingan kini terdengar, juga suara-suara pengunjung taman yang lain. Kikik tawa anak-anak yang bermain ayunan, junkit-junkitan, atau pelosotan, kehebohan anak-anak muda yang membuat keloni-keloni di pinggir jalan, atau hilir mudik langkah tubuh-tubuh tua di atas jalan-jalan setapak taman. Tania mengelus lembut tangan Moza yang membuat perasaannya sendiri menjadi hangat.

“Tapi firasat tetap saja firasat. Jadi, bagaimana kau akan menyikapinya kali ini?”

Moza berfikir sejenak.

“Aku akan menceritakannya sebuah cerita juga.”

Ia mencabut flashdisk di laptopnya dan menyerahkan pada Tania. Tangan kekar berbulu halus itu bergerak seperti sebuah alat yang memindahkan barang-barang berat dalam sebuah proyek pembangunan. Tania mengambilnnya seperti gerak leher Flaminggo dan memasukkannya ke dalam laptopnya sendiri.

“Cerita tentang seorang laki-laki yang selalu dijejali cerita-cerita perselingkuhan oleh istrinya yang memiliki ketakutan-ketakukan untuk menjadi salah satu tokoh dalam cerita yang diceritakannya  itu, tetapi dia memilih untuk tetap setia mesti jengah setengah mati.”

“Sudah, sampai situ saja?”

“Ya.”

“Kupikir kau akan membuat sebuah cerita tentang laki-laki itu mewujudkan ketakutan-ketakutan isterinya itu.”

“Tidak, Tania. Karena cerita itu juga telah diceritakannya juga.”

Tania tertawa. Kali ini karena benar-benar merasa ingin tertawa. Tawa yang terdengar anggun dari seorang perempuan cantik berambut pendek. Ia kemudian menegakkan duduknya, mengusap kedua pahanya di balik gaun one pice vintage selutut yang dikenakannya.

“Oh kalian manis sekali. Aku juga jadi ingin bercerita. Kau pernah dengar legenda kupu-kupu? Tentang mengapa ada sepasang kupu-kupu yang selalu terlihat berdua kemanapun tak terpisahkan?”

“Tidak. Ceritakan padaku.”

“Lihatlah sepasang kupu-kupu itu, mereka adalah orang-orang yang dulu cintanya tak sampai, yang cintanya tak bisa bersatu, yang terjalin sembunyi-sembunyi”

“Aku tak paham maksudmu?”

“Dunia seperti tak memberi kesempatan pada mereka, tapi kini setelah menjelma jadi kupu-kupu tak kan ada lagi yang menghalangi mereka, para pecinta itu kini bebas menemukan belahan jiwanya.”

Keduanya mengitarkan pandangan, melihat beberapa pasangan kupu-kupu kuning dan putih yang terbang bersisian kesana kemari. Moza meremas lembut tangan Tania. Kemudian, sebuah potongan jiwa disuatu tempat mulai membentuk sepasang kepompong.

Mataram, 29 September 2016

 

Novita Hidayani
Novita Hidayani

Novita Hidayani lahir di Kediri, Lombok Barat, 29 November 1993. Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP, Universitas Mataram. Belajar di Komunitas Akarpohon, Mataram. Cerpen-cerpennya disiarkan sejumlah surat kabar.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 40