PolitikTerbaru

Peran TNI Dipertanyakan Dalam Revisi UU Terorisme

Panglima TNI
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo

NUSANTARANEWS.CO– Perbedaan pandangan tentang posisi TNI dalam pemberantasan terorisme di tanah air kembali mengundang kontroversi. Hal tersebut kembali mencuat dalam pembahasan revisi UU Terorisme di DPR. Ada usulan agar memilah batasan peran polisi dan TNI dalam memerangi terorisme.

Hal tersebut diungkapkan oleh Nasir Djamil ketika diminta pendapatnya, “Sekarang kita melakukan sinkronisasi, harmonisasi, dan menyeleraskan dari berbagai sisi agar dalam UU tidak ada yang merasa ditinggalkan dan ada yang merasa di depan dalam memerangi terorisme.” Nasir menambahkan, batasan peran TNI dan polisi dalam memerangi terorisme harus dijelaskan karena kedua institusi itu dibutuhkan ketika menghadapi masalah ancaman terorisme. Baca: Raider 515 Kostrad Unjuk Gigi, Santoso Ditembak Mati

Sementara pernyataan Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian kembali menuai kontroversi menyangkut kredibilitas TNI. Kapolri menyebut TNI seakan tidak profesional. Seperti ramai diberitakan oleh media, Kapolri Jenderal Tito mengatakan bahwa, “doktrin dari teman-teman TNI yang saya pahami adalah kill or to be kill. Salah-salah bisa terjadi abuse of power, risikonya tinggi. Apalagi bila korban meninggal, sangat rentan digugat sebagai pelanggaran HAM. Kalau dalam konteks penegakan hukum seperti kasus di Poso, fine. Karena semua langkah dan tata caranya sudah dilindungi oleh operasi penegakan hukum kepolisian.

Baca Juga:  Jelang Pemilu, Elemen Kecamatan Sambit Gelar Doa' Bersama

Dalam konteks UU Teroris, lulusan Akpol 1987 ini menyebut bila TNI diberi kewenangan penindakan terorisme, harus dibangun dulu kemampuan internalnya. Tetapi, hal itu sulit diwujudkan, lanjut Tito. Nah, untuk terlibat dalam penanganan teroris, TNI harus memiliki Labfor, harus ada kemampuan identifikasi, DVI, Medical Examination Legal. Apa TNI sudah memiliki kemampuan seperti ini, pungkas Tito.

Ditengah kontroversi tersebut, muncul sebuah tayangan video berdurasi 3 menit 7 detik yang diunggah oleh akun Puspen TNI pada 23 Juli 2016, Panglima TNI Gatot Nurmantyo mengatakan bahwa personel TNI tidak akan menembak orang yang tidak bersenjata. TNI, menurutnya sangat menjunjung tinggi HAM.

Baca Juga: Polri-TNI Benarkan Tim Alfa 17 Yonif 303 Kostrad Sang Penangkap Dalima

Seperti dalam penyergapan yang menewaskan gembong teroris Santoso beberapa hari lalu oleh Tim Alfa 19 dari Batalyon 515 Raider Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat. Gatot mengatakan bahwa, “Saat disergap, Santoso didampingi istrinya. Ada 2 wanita dan tidak bersenjata, karena tidak bersenjata, tidak ditembak.”

Baca Juga:  Suara Terbesar se Jatim Tingkat Propinsi, Gus Fawait: Matursuwun Masyarakat Jember dan Lumajang

Gatot juga memberikan contoh lain dalam peristiwa operasi pembebasan sandera di Woyla, Thailand pada 1981. Gatot menguraikan bahwa dalam operasi yang saat itu dipimpin oleh Letnan Kolonel Infanteri Sintong Pandjaitan, tidak ada satupun sandera menjadi korban. Hal Itu, karena para anggota Komando Pasukan Khusus TNI menjunjung tinggi HAM, dan tidak sembarangan bertindak.

“Jadi salah kalau orang mengatakan bahwa TNI tidak tahu HAM,” ujar Gatot tegas. (Banyu)

Related Posts

1 of 5