Politik

Pemuda Muhammadiyah: Berhentikan Ahok Demi Tegakkan Akhlak Hukum

Ketua PP Pemuda Muhammadiyah, Bidang Hukum Faisal/Foto: Dok Pribadi via Pedri K
Ketua PP Pemuda Muhammadiyah, Bidang Hukum Faisal/Foto: Dok Pribadi via Pedri K

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ketua PP Pemuda Muhammadiyah, Bidang Hukum Faisal menilai bahwa polemik penonaktifan terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dari jabatannya menuai tanggapan hukum yang beragam. “Sejauh yang kami pahami, Pasal 83 (1) UU Pemda ditafsirkan tidak terlepas dari ancaman Pasal 156 dan 156a KUHP yang menjadi dasar dakwaan terdakwa,” kata Faisal dalam keterangan pers yang diterima redaksi Nusantaranews, Rabu (22/2/2017).

Dalam hal ini, dirinya menilai bahwa Mendagri adalah sebagai pihak yang paling bertanggungjawab untuk memutuskan penonaktifan Ahok. Namun menurutnya Mendagri Tjahjo Kumolo terkesan berhati-hati.

“Dalih yang dibangun dari awal, bahwa Mendagri menunggu tuntutan dari JPU apakah tuntutan terhadap terdakwa lima tahun atau dibawah itu. Saya menduga, logika hukum yang dibangun Mendagri apabila tuntutan dibawah lima tahun maka terdakwa tidak akan diberhentikan. Padahal tafsir yang demikian terang adalah upaya akrobatik hukum. Nalarnya begitu politis membaca dan memahami Pasal 83 (1),” sambung dia.

Baca Juga:  Khofifah Effect, Warga NU dan Muhammadiyah di Jatim Dukung Prabowo-Gibran

Menurutnya, Mendagri harus membaca Pasal 83 (1) dengan niat yang baik. Perspektifnya dalam rangka menegakkan moral dan etika dalam berhukum. Apalagi Mendagri memiliki tugas konstitusional untuk memastikan penyelenggaraan pemerintah daerah yang baik.

“Kami menitip pesan ke Bapak Mendagri, sejatinya akhlak hukum adalah sumber dari hadirnya nalar keadilan. Membaca Pasal 83 (1) tidaklah mungkin dapat menyatu pada rasa keadilan jika tidak memiliki akhlak hukum. Nilai yang hendak di artikulasikan adalah moral dan etika,” terangnya.

Dirinya pun bertanya, lantas mengapa Mendagri begitu berani mempertaruhkan reputasi jabatannya untuk menunda berhentikan terdakwa yang secara moral dan etik telah di proses hukum atas nama Pasal penodaan agama?

“Apalagi, pilihan hukum Mendagri yang mengatakan menunggu tuntutan JPU tidak sama sekali dipersyaratkan oleh aturannya. Kepentingan hukum Pasal 83 (1) harus dilihat dalam kacamata imperatif, yang hendak ditegakkan yaitu perbuatan tercela, sepanjang perbuatan terdakwa tercela dan telah didakwa, maka dalih yang mendegradasi Pasal 83 (1) secara fakultatif ialah pilihan akrobatik hukum semata,” tandasnya.

Baca Juga:  KPU Nunukan Gelar Pleno Rekapitulasi Perhitungan Perolehan Suara Pemilu 2024

Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 466