Cerpen

Pelacur Negeri (Bagian 8: IV) – Novelet Yan Zavin Aundjand

NUSANTARANEWS.CO – Sebentar suasana jadi sepi. Para pembantai sudah pergi. Lelah barangkali. Melihat keadaan sepertinya agak sedikit aman, aku keluar dari tempat di balik tiang besar yang banyak dikelilingi sampah-sampah. Aku menepuk-nepuk tiang, lalu memeluknya dalam peluk damai.

Aku berjalan dengan posisi seperti biasanya meski hati masih gamang dan takut. Hatiku ramai. Aku hanya seorang diri yang ditinggal pergi sanak dan family. Kulihat ada seorang gadis bersembunyi di balik pohon mangga, pas di depan aku berjalan tidak jauh dari tempat aku bersembunyi itu. Aku tak sadar bahwa dari tadi dia tahu bahwa aku juga sedang bersembunyi. Aku hampiri dia saat aku yakin bahwa keadaan sudah benar-benar aman. Gadis itu tetanggaku, namanya Farida. Kupanggil dia Ida. Dia pendatang dari luar kampungku. Kuajak dia keluar mencari tempat persembunyian yang aku anggap paling aman, jaga-jaga takut ada pembantai kembali. Aku ingin segera pergi dari tempat ini. Dia mengangguk, lalu kami pergi.

Ida, dia seperti tahu banyak tentang kerusuhan ini. Di jalan dia benyak bercerita sambil menangis, karena keluarganya sudah tewas semua. Entah dia tahu dari mana dan siapa. Tapi dia tahu banyak tentang orang-orang yang menyerang kampungku itu yang sebanarnya banyak di antara mereka adalah orang kampung itu sendiri.

“Rencana itu sebaiknya diurungkan saja. Orang-orang kampung itu adalah orang yang baik-baik dan sedikit di antara mereka yang berbuat jahat,” ujarnya. Mereka menganggap orang-orang di kampungku adalah penjahat, pembunuh, perampok. Para pembantai itu seperti punya dendam dengan sebagian orang kampungku yang dianggap tidak baik. Tapi, entahlah, Ida tidak bercerita banyak. Kami masih sibuk mencari selamat.

“Yadi, mau ke mana? Kita ke tempat pengungsian saja. Orang-orang yang selamat sudah diungsikan. Ikut aku.”

Aku mengangguk. Aku anggap dia lebih tahu persoalan ini.

“Oh ya, kenapa kamu bisa tahu dengan rencana kejadian ini?” Tanyaku sambil berlarian sebelum sampai ke tempat pengungsian.

“Aku punya pacar. Pacarku salah satu anak dari orang-orang yang punya rencana pembantai ini. Dia sering ngasih tahu aku dan keluargaku tentang rencana jahat mereka itu. Beberapa hari sebelum penyerangan itu, pacarku sudah memberitahukan ke keluargaku akan rencana jahat mereka. Dia menyarankan kepadaku untuk memberi tahukannya ke seluruh keluarga di kampung untuk segera menjual harta yang dapat dijual sebelum peristiwa terjadi, tapi aku dan keluargaku tidak mengindahkan saran tersebut,” tuturnya. Kami sudah sampai di tempat penampung para pengungsi.

Jerit-tangis bercampur tawa. Takut berhamburan di mana-mana. Pagi itu, para pembantai merasa seperti selalu terdesak ketika ada hal yang tidak diinginkan dari orang-orang kampung.

“Yadi, ini semua karena ulah penguasa,” tutur Ida.

“Maksud kamu?”

“Iya. Kampung kita mau diambil, mau dijadikan tempat pabrik dan hotel. Kita sudah diadu domba.”

Oh, tidak. Kenapa ini bisa sampai terjadi. Kenapa mesti mengambil hak warga kampung demi kepentingan segelintir orang. Aku tidak menyangka bahwa akhirnya akan menjadi seperti ini. Kampung ini memang sudah lama diincar oleh pengusaha asing dari negeri bambu. Sebagian masyarakat yang tidak setuju lahannya dijual harus merenggang nyawa atau usaha-usaha adu domba di antara mereka.

Aku sadar, dengan kepala telanjang aku memandangi sebagian orang-orang yang membantai orang-orang kampungku. Iya, ada orang lain berkepala topi yang ikut menyerbu kampung, apalagi orang yang membunuh orangtua dan adik kandungku. Seandainya aku diberi kesempatan melawan, justru aku akan melawan dengan kemampuan dan kekuatan yang kumiliki. Orang-orang kampung dibantai saat dalam keadaan tak berdaya, mereka sedang tidur. Aku yakin, kalau tidak begitu mereka juga sangat takut mati.

Aku merasa terpukul tatkala ketika itu orang pada menangisi kepergian keluarganya yang hilang. Malam sudah larut, tapi mereka tidak ada yang tidur, kecuali anak-anak kecil yang masih belum tahu apa-apa. Anak-anak kecil itu seperti meresapi kebisingan kerusuhan dalam mimpi-mimpinya. Sampai aku juga ikut meramaikan tangisan mereka. Aku tidak kuat mengenang keluargaku dibantai seperti orang membantai tikus di jalanan. Sudah hampir lima hari mereka kuat tidak tidur, ini betul-betul menyiksa kami.

Saat itu, aku mengharapkan bantuan yang cukup buat kami bertahan sampai tujuan. Besok kami harus meninggalkan tempat, tempat kami bertahan hidup di tanah kami yang katanya sudah merdeka.

Aku tidak mau kekerasan. Aku takut darah. Biarlah ketika ada di antara bangsa kami yang salah terhadap orang lain atau orang asing yang berkepentingan dihakiminya yang salah, bukan membalas dan meratakan balasan itu kepada yang lain, yang notabenenya tidak tahu apa-apa dan tidak berdosa. Kita tidak bisa semena-mena menyemaratakan kesalahan. Kesalahan individu pengusaha tidak pernah bertanggungjawab atas apa yang sudah dilakukannya. Dan kami tidak bisa menjadi Tuhan di muka bumi ini, kesalahan itu ada karena kita yang manusiawi.

Aku tidak menginginkan setelah ini ada pertikaian lagi. Aku telah meneriakkan kepada orang-orang pada malam itu juga, berharap dan berdoa semoga kami tidak bergerak untuk mencari dan membalas kekejaman kaum kapitalis dan asing yang sudah tidak berperikemanusiaan itu dengan jalan yang sama, membalas secara membabi buta atas keserakahan mereka. Aku sangat khawatir, bersama orang-orang kami aku pimpin mereka, meski aku mungkin di mata mereka masih terlalu muda memberikan mereka nasihat, karena betul-betul aku khawatirkan. Malam itu kami meneriakkan dan bersama-sama menyepakati tidak menyerang balik, dan tidak ada dendam terhadap mereka kelak. Janganlah kejahatan dibalas dengan kejahatan. Hentikan kejahatan dengan segera. Dan pemerintah stop mengedepankan kepentingan asing.

Aku yakin pula bahwa pertikaian dan pembantaian tidak akan terjadi jika tidak adanya provokasi menyingkirkan kumuh kampung dan politik kekuasaan demi kepentingan lain. Aku tidak ingin budaya mengadu domba yang diwariskan kaum penjajah negeri akan terulang seperti yang terjadi pada kami saat ini. Semestinya, sebagai bangsa yang mengaku beragama, apa pun agamanya bisa sadar akan hal itu, menahan isu-isu di sana sini yang mencoba memecah belah antar sesama warga sendiri. Berpikir jernih dan damai, tidak terpengaruh oleh isu dan pertikaian elit politik. Damailah dengan sesama manusia, kasihi sesama saudara sebangsa dan setanah air. Bersatu demi mewujudkan cita-cita bangsa demi mempertahankan tanah dan air dari kepentingan asing.

“Ahhh…” aku menghempaskan nafasku dalam. Duduk santai sambil merokok punya aparat keamanan di tempat pengungsian. Aku tak malu-malu memintanya.

Bangsa kita adalah bangsa yang besar, terdiri dari berbagai macam suku, namun keadan bangsa kita sekarang ini sedang krisis. Krisis pembangunan, budaya dan ekonomi. Pengusaha asing semakin meraja lela di setiap kota yang telah sukses menghancurkan pengkampungan, pedesaan, bahkan di kota sendiri.

Barangkali, hendaknya semua suku bangsa saling ikhlas bersatu dan menghormati. Suku yang satu belajar nilai-nilai positif dari suku lain, begitu pula sebaliknya. Ada keseimbangan saling mengisi antara sesama sebagai ciptaan-Nya. Aku yakin, bangsa Indonesia akan makmur dan sejahtera. Bersatu tanpa perbedaan dalam membangun bangsa, jujur, disiplin, dan memupuk semangat Nasionalisme guna mempertahan segala yang sudah ada dalam bangsa.

Aku jadi teringat dengan Sumpah Pemuda Indonesia, pejuang kemerdekaan dan cerita-cerita perjuangan para pendahulu bangsa ini, penuh dengan pengorbanan yang tidak bisa dinilai dengan harta dan materi. Betapa mereka kalau masih hidup, atau mungkin mereka tahu meski mereka secara kasat mata dan nyata sudah tahu keadaan bangsa Indonesia yang sebenarnya, betapa mereka sangat kecewa dengan keadaan negara yang berantakan ini. Pembantaian, penggusuran di mana-mana, dan sebagainya.

Oh, tiba-tiba kurasakan lain pada tubuhku, ada suara berbisik; “Yadi…” Suara itu kudengar. Ada tangan halus lembut mengelus keningku. Namun, tak membuatku terbangun dari tidurku lelah. Aku terus lelap dan lelap dengan posisi duduk di lantai, kubiarkan saja kata-kata itu membisiki telingaku.

(Bersambung…. Baca cerita sebelumnya: Pelacur Negeri (Bagian 8: III) – Novelet Yan Zavin Aundjand)

Yan Zavin Aundjand
Yan Zavin Aundjand

*Yan Zavin Aundjand, Sastrawan asal Madura. Karya-karyanya yang sudah terbit antara lain Labuk Dhellika (Antologi Puisi), Jejak Tuhan (Novel), Tarian di Ranjang Kyai (Novel), Sejarah Agama-agama Besar Dunia (Sejarah), Pinangan Buat Najwa(Antologi Puisi), Kupu-kupu di Jalan Simpang (Antologi Puisi), Bangkai dan Cerita-cerita Kepulangan (Kumpulan Cerpen), Garuda Matahari (Buku), dll. Mukim di Jakarta.

_____________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, dan esai dapat dikirim langsung ke email:[email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 40