Cerpen

Pelacur Negeri (Bagian 6: I) – Novelet Yan Zavin Aundjand

NUSANTARANEWS.CO – Rumput-rumput menghijau, kurasakan seperti berada di sebuah taman. Iya, taman perasaan. Bunga-bunga mekar memberikan keindahan suasana yang tak terbayangkan indahnya hidup bersama Jumailah. Ada seorang gadis duduk dengan manis di kawasan tempat bermain anak-anak di apartement tempat aku tinggal, gadis itu seperti menikmati suasana. Lama kuperhatikan, bayang-bayang mulai menyerupai istriku pada gadis itu.

Ada kupu-kupu terbang. Seolah ada kebahagiaan datang dari kejauhan menghampiri gadis itu dalam anganku. Aku biarkan gadis itu menikmati suasana, kuperhatikan wajahnya yang menyerupai wajah istriku. Kubiarkan itu terjadi. Lama kelamaan air mataku menetes seketika, air mata seperti kenangan penyesalan menatap luas langit dan cakrawala.

Di setiap lembaran kisah perjalananku, kurasakan seperti dulu aku merasakan sentuhan tangannya yang lembut. Kupegang erat kedua tangannya dan kupandangi matanya masih penuh pesona, harapan masih tertulis bahwa dia masih mengharapkan aku pulang kepadanya tanpa harus kembali ke mari. Aku mengenang wajah serupa ia yang datang seketika. Waktu tak habis-habisnya berputar, aku dan dia seperti di sebuah taman dalam angan, merangkai hari, senja, dan malam.

Seperti ada banyak pertemuan, saling mengetahui kerinduan dalam sepinya waktu, mengetahui segala perasaan di antara kata kerinduan yang tak diungkapkan. Sebab, cinta ini bukan bunga di hutan yang mekar dalam rengkuhan belukar, tapi ia adalah semaian benih yang butuh siraman kasih.

Seperti yang kujanjikan dulu pada istriku, bahwa aku suatu saat tidak akan meninggalkannya sendirian, aku berjanji bahwa akan membawanya pergi bersamaku. Aku tak ingin meninggalkan kesepian di hari dan malamnya, apalagi dalam keadaan sakit. Tidak. Aku tidak ingin itu terus terjadi.

Suatu ketika, aku berjalan dengan Jumailah ke suatu tempat yang jauh. Jumailah ingin hidup di sebuah tempat yang damai, hanya dihuni oleh kami berdua, katanya. Aku tak bisa membawa keluargaku ke mari.

“Kita harus pergi,” ucap Jumailah.

“Ke mana? Kapan?”

“Ke daerah. Secepatnya.”

“Aku bagaimana?”

“Kamu ikut denganku.”

“Bagaimana dengan kerjaan kita?”

“Rekan-rekan yang lain yang ngurus di sini. Aku ingin menenangkan diri dulu di daerah, jauh dari Ibu Kota.”

Aku mengiyakan keinginannya, mungkin dia butuh istirahat, menjauh dari segala kesibukan yang terus tak mengenal hari. Tak apalah, mungkin ini adalah jalan hidup yang harus aku tempuh meski harus merelakan yang sudah ada. Jumailah adalah cinta pertamaku, dia seperti istri keduaku. Aku tak mungkin bisa menolak permintaannya andai dia memintaku untuk menikahinya, terlebih hati kecilku yang masih mencintainya.

Tibalah hari di mana kami berdua pergi mengendai mobil Jumailah ke sebuah daerah di salah satu desa di Kabupaten Indramayu. Di desa ini kami menyewa sebuah rumah untuk kami tinggal sementara waktu. Kulihat Jumailah semakin tidak mau kehilanganku, seperti berharap banyak cinta yang lebih.

“Di, aku ingin kita terus bersama,” kata Jumailah saat-saat kami duduk santai di teras rumah tempat kami tinggal.

“Kita sudah bersama, Mila.”

“Kadang aku berpikir, aku ingin sekali hidup normal layaknya perempuan lain. Menjadi seorang ibu, ngurusin anak kita, menunggu suami pulang kerja di rumah,” ceritanya. Aku seperti haru mendengarnya.

“Kamu cantik, Mila. Kamu sukses. Kamu lebih mudah mendapatkan lelaki yang lebih dari aku.”

“Nggak, Di. Aku udah melakukan itu semua, lelaki kaya mana yang nggak pernah menikahi aku, hampir semua pejabat udah pernah nikahin aku, meski cuma sebentar. Tapi nggak ada yang membuatku nyaman, semua karena nafsu dan uang. Nggak ada yang benar-benar mencintaiku.”

“Apa yang membuatmu begitu yakin denganku? Bukankah kamu sudah tahu aku siapa.”

“Aku nggak peduli dengan semua itu. Karena aku cinta, karena aku nyaman sama kamu. Perasaanku nggak bisa aku bohongin dari dulu sampai sekarang, cinta itu masih ada. Aku tahu kamu juga masih mencintaiku, Di.”

“Aku nggak sebaik yang kamu pikirkan.”

“Aku tahu kamu, Di. Kalau aku nggak nyaman sama kamu, kamu udah aku tinggal. Lelaki yang pernah nikahin aku nggak ada lama, paling lama mereka nikahin aku itu tiga bulan. Setelah itu mereka cerain aku, kadang kalau aku udah nggak nyaman, aku yang minta cerai.”

“Kamu udah yakin denganku?”

“Yakin, karena kita saling mencintai. Aku nggak peduli kamu punya istri, aku cuma ingin sama kamu.”

Keesokan harinya, aku dan Jumailah mendatangi seorang kiai di Desa itu. Menurut desah desus warga, kiai itu sering mendapat panggilan atau sering melayani orang yang mau menikah sirri dari luar daerah, orang-orang yang menginginkan punya istri lebih dari satu. Kepada kiai itu, Kiai Asep Syamsudin, kami melangsungkan pernikahan.

Kata Jumailah, tanpa pernikahan pun sebenarnya kami sudah seperti suami istri, hanya saja dengan pernikahan kami lebih yakin mengikat batin masing-masing, agar rasa tanggungjawab antara kami itu ada; tanggungjawab untuk saling menjaga hubungan berkeluarga yang lebih baik.

Kujalani hidup ini dengan Jumailah, istri keduaku, sesekali aku pulang ke istriku yang pertama. Aku tak ingin meninggalkan begitu saja bersama seorang anak, aku bukan lelaki yang suka mencampakkan wanita. Aku tetap berusaha meluangkan waktuku untuk istriku di kampung halaman. Hubunganku dengan Jumailah tidak ada yang tahu, bahkan orang tuaku juga tidak tahu. Setahu mereka aku bekerja di Jakarta. Aku bertanggungjawab kelangsungan hidup mereka, semua kebutuhan mereka terus aku penuhi. Aku tak ingin meninggalkan mereka, sebab kutahu bahwa merekalah orang pertama yang mengajari aku untuk hidup.

Di desa ini, kami tak hanya berdiam diri di rumah. Kami menjalin silaturrahmi dengan masyarakat setempat terutama dengan Kiai Asep Syamsudin sebagai tokoh masyarakat di desa itu. Hal-hal buruk sudah tak lagi kami kami lakukan sebagaimana kebiasaan buruk di Ibu Kota. Mungkin karena di desa tidak tempat hiburan, beli minuman beralkohol sangat susah, dan kami tak mau melakukan itu lagi di desa ini.

Aku dan Jumailah menjadi sepasang kekasih yang selalu sejalan apa yang diinginkan dari salah satu di antara kami. Prinsip kami bahwa hidup harus berubah menjadi lebih baik, biarlah masa lalu ditelan waktu. Aku yakin bahwa apa pun yang kami lakukan harus dilakukan sampai selesai dan puas, jangan sampai melakukan sesuatu itu dengan setengah-setengah. Apa yang dilakukan menurutku itu baik, maka sesuatu itu akan baik pula adanya.

Bagi Jumailah, segala sesuatu di dunia ini semuanya adalah baik, tidak ada yang buruk atau pun bagus, tapi hanya sebatas persoalan selera saja. Segala sesuatunya punya tempat masing-masing, katanya, di mana sesuatu itu diterima di suatu golongan, maka sesuatu itu baik bagi golongan itu pula.

Di teras rumah itu, kami duduk. Sepertinya suasana hari di desa itu sangat indah dan cerah sekali. Pohon-pohon di halaman rumah kami tak lagi bersembunyi, ranting-ranting pohon melambai bersama tiupan angin. Kami bercerita sesuka hati kami bercerita; masa lalu kami, kebiasaan kami, dan semua yang pernah kami lakukan.

Angin pagi itu begitu sejuk aku rasakan. Kami hanya duduk berdua, tak ada orang lain, jalan-jalan kulihat sepi dari aktifitas warga.

“Di sini banyak lahan kosong, ya,” kataku.

“Iya. Gimana kalau kita manfaatkan,” usul Jumailah.

“Maksud kamu?”

“Pemilik lahan di sini kayaknya pada enggan mau garap sendiri, buktinya dibiarin begitu saja.”

“Iya juga.”

“Coba nanti ke Kiai Asep, kita konsultasikan sama beliau. Sapa tahu beliau tertarik.”

Kulihat banyak lahan sawah di desa ini yang tidak digarap oleh masyarakat. Menurut penuturan warga setempat, mereka enggan mau menggarap lahan sawahnya sendiri, dan mereka mau andaikan ada yang mau menggarap lahan itu dengan bagi hasil.

Kami semakin ingin hidup lama di desa ini, membangun keluarga yang damai, bertani, dan kerja apa saja yang bisa aku lakukan, yang penting menghasilkan dan cukup bertahan hidup. Meski saat ini, di sekitar desa ini ada banyak begitu lahan yang luas, tapi jarang masyarakat yang menggarapnya menjadi lahan produktif pertanian, padahal tanahnya sangat bagus untuk dijadikan bercocok tanam. Sangat bagus.

Aku tidak menghiraukan meski di tempat-tempat lain banyak petani saat ini mengalami gagal panen. Intinya aku senang, jiwa senang, hidup damai di desa ini. Aku sangat optimis hidup bertani; orang tuaku petani, dia menghidupi keluarganya dengan bertani. Aku hidup dan tumbuh besar dari hasil mereka bertani.

Indonesia merupakan daerah tropis yang memiliki geografis bumi yang berada disekitar ekuator dan dibatasi oleh dua tropik, yaitu tropik cancer yang terletak di utara dan tropik capricorn di selatan. Sementara musim yang terjadi di daerah tropis, musim hujan dan musim kemarau. Cocok untuk membuka lahan pertanian, tentu di desa ini tempat kami tinggal.

(Bersambung…. Baca cerita sebelumnya: Pelacur Negeri (Bagian 5: II) – Novelet Yan Zavin Aundjand)

Yan Zavin Aundjand
Yan Zavin Aundjand

*Yan Zavin Aundjand, Sastrawan asal Madura. Karya-karyanya yang sudah terbit antara lain Labuk Dhellika (Antologi Puisi), Jejak Tuhan (Novel), Tarian di Ranjang Kyai (Novel), Sejarah Agama-agama Besar Dunia (Sejarah), Pinangan Buat Najwa (Antologi Puisi), Kupu-kupu di Jalan Simpang (Antologi Puisi), Bangkai dan Cerita-cerita Kepulangan (Kumpulan Cerpen), Garuda Matahari (Buku), dll. Mukim di Jakarta.

_____________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, dan esai dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 40