Cerpen

Pelacur Negeri (Bagian 3: I) – Novelet Yan Zavin Aundjand

NUSANTARANEWS.CO – Pergi ke kota Jakarta; kota yang dulu pernah aku impikan mendapatkan perempuanku yang lain di sana, namanya Diana, tapi takdir tidak memihak kepadaku untuk mendapatkan dia sebelum aku mengenal istriku. Perempuan itu sangat aku impikan dalam hidupku, namun dia begitu saja meninggalkan aku di atas gundukan tanah perapiannya.

Air mataku mengenang seketika saat aku sampai di Bandara Soekarno-Hatta. Aku tahu bagimana dia mati. Di dalam taksi menuju apartement Jumailah di daerah Kemayoran, perasaanku terus mengingat Diana. Kematiannya yang tidak wajar membuatku ingin membalaskan dendam.

Dia orang Jakarta, dia bekerja sebagai reporter di salah satu TV swasta. Dia mati tertembak oleh salah satu aparat yang diberitakan lain oleh media bahwa dia tertembak bukan disengaja, tapi karena peluru nyasar aparat yang tak bertanggungjawab.

Aku tahu dia ditembak, sebab aku bersama dia waktu itu. Saat itu aku baru dua hari di Jakarta, jauh-jauh dari Surabaya hanya untuk melamar dia. Namun, di salah satu warung makan Kaki Lima di salah satu kawasan wisata Jakarta, di warung itu kami memesan makanan. Tidak menjelang lama ada tiga orang aparat berpakaian preman menghampiri kami, dari jauh sudah menatap kami, khususnya Diana. Lalu tiga orang itu pergi tanpa berkata apa-apa.
Setelah itu, datang lagi dua orang, tanpa berkata apa-apa pun juga langsung mengarahkan pistolnya ke arah Diana dalam jarak 4 meter. Peluru yang kemudian dianggap nyasar oleh beberapa media itu mengenai dada Diana. Seketika itu, Diana langsung terjatuh dan dia meninggal saat perjalanan menuju rumah sakit.

Aku menyangka bahwa dibunuhnya Diana tidak jauh-jauh dari pekerjaan dia sebagai seorang reporter, bisa jadi dia terlalu berani memberitakan hal-hal yang membuat petinggi-petinggi negara ini tidak senang dan marah. Menurut banyak cerita yang aku dengar dari Diana, bahwa mengungkap kebobrokan pemerintah itu sangat rawan.

Namun, bagiku, dia reporter yang tak pernah takut mengungkapkan itu, meski kawan-kawannya sering mengingatkan dia. Dia tahu bahwa redaksi di stasiun TV tempat dia bekerja juga tidak mungkin memberitakan berita yang dianggapnya membahayakan itu kecuali liputan-liputan dia yang standar seputar peristiwa hukum dan kriminal, tapi dia selalu punya cara lain mengungkapkan itu; dengan cara menulisnya di blog, web pribadinya, bahkan juga di Youtube.

Memang negara ini aneh, kebobrokan negara yang dilakukan oleh oknum-oknum pejabat pemerintah ini justru dilindungi dan kadang bertindak sewenang-wenang, seolah mereka sajalah yang punya negara ini, dan rakyat adalah budak-budak yang harus tunduk pada pejabat dan tak boleh tahu urusan mereka.

Kelakuan tidak terpuji, kebiasaan-kebiasaan buruk oknum pemerintah di negeri ini dianggap sangat membahayakan negara bila diketahui publik atau masyarakat umum. Lebih konyolnya lagi ketika kebiasaan buruk oknum pemerintah ini, seperti melakukan pesta seks, minum-minuman keras yang sudah dianggap biasa, mencuri uang negara, menjual aset negara, justru kebiasaan seperti inilah yang kemudian dianggap sebagai rahasia negara yang tidak boleh siapa pun tahu. Padahal perbuatan keji seperti ini tidak ada kaitannya dengan keamanan dan stabilitas negara, justru dengan perbuatan keji seperti inilah yang membuat negara hancur dan semakin bobrok.

Iya, ini semata-mata bukan karena aku pernah menjadi kekasih Diana, tapi pada kenyataannya negara bobrok dan hancur di tangan politisi yang sama sekali tidak pernah memikirkan rakyat, yang hanya menghibur diri dengan birahi, arak, seks, korupsi, dan menjadi budak-budak kepentingan asing.

Aku tidak menyangka bahwa akhirnya hubunganku dengan Diana berakhir dengan kematian yang tidak wajar. Negara yang seharusnya melindungi hak hidup warganya harus ia renggut. Di Ibu Kota ini, aku mendengar banyak teriakan kaum pejabat seperti anjing menggonggong di malam hari, seperti maling teriak maling untuk menyelamatkan diri dari amukan warga.

Di dalam taksi menuju apartement Jumailah, tanpa terasa aku tertidur pulas, pulas sekali, kata Jumailah saat sampai di apartemennya. Dia sengaja membiarkan aku tertidur. Di dalam tidurku itu, aku bermimpi; di dalam mimpi itu, rasanya aku kembali ke masa lalu, jauh sekali sebelum manusia itu ada danmembentuk sebuah peradaban.

Aku merasa bahwa aku hanya seorang diri yang hidup di dunia, tak ada siapa-siapa lagi. Aku sendiri menatap alam semesta seperti ada di tengah-tengah hutan dan hewan buas di sekelilingku. Aku takut, namun aku tidak tahu harus bersembunyi di mana dan ke mana. Tiba-tiba aku bertemu dengan salah seorang, wajahnya terlihat tua sekali, berpakaian jubah berwarna putih, dan sorban diikat di kepalanya cukup panjang. Dia menghampiriku dengan tongkat dipeganginya, seraya berkata: “Sedang apa kau, Nak, di sini?”

“Aku tidak sedang apa-apa?”

“Kenapa kamu ada di sini?

“Aku tersesat, aku tak tahu jalan arah pulang.”

“Mau pulang ke mana?”

“Tidak tahu.”

“Di mana rumahmu?”

“Aku tak punya rumah.”

“Maukah kamu ikut denganku?”

Aku mengangguk.

Aku dibawa ke sebuah tempat yang sangat jauh dari prasangkaku atau mungkin dari pengetahuanku yang kumiliki. Di tempat itu ada banyak orang mempunyai ekor, kemaluannya hanya ditutupi dengan daun jati aku lihat dan ada juga ditutupi dengan daun pisang berlapis-lapis.

“Kenapa aku dibawa ke tempat ini? Ini tempat apa?”

Dia tersenyum menatapku.

“Ini tempat bagi orang-orang yang melanggar perintah Tuhan. Mereka ini telah memakan makanan yang memabukkan, makanan yang dilarang Tuhan kepada Adam. Mereka ini adalah pengikut Adam yang menganggap makanan itu diperbolehkan oleh Tuhan, mereka memakannya dengan ketidak tahuan mereka. Mereka hanya mengikuti Adam memakan makanan yang dilarang itu.”

“Apa mereka disiksa?”

“Tidak. Tapi mereka hanya diasingkan saja dari keturunan Adam seperti kita.”

“Kenapa mereka mempunyai ekor?”

“Mereka bukan keturunan Adam. Mereka adalah orang-orang yang hidup sebelum Adam. Di antara mereka ada salah satu sesepuh Adam yang masih hidup, nenek moyang kita juga. Mereka abadi, sama seperti keabadian kita nanti di surga.”

“Kenapa kita tidak punya ekor seperti mereka? Bukankah Adam termasuk keturunan salah satu dari mereka?”

“Karena Adam diampuni.”

“Kenapa mereka tidak diampuni.”

“Mereka akhirnya tidak bisa berevolusi. Mereka akhirnya tidak mau terhadap Adam yang membuat mereka diasingkan.”

“Kenapa diasingkan?”

“Mereka diabadikan.”

“Kenapa mesti diabadikan?”

“Agar kelak kita tahu bahwa mereka sekelompok ciptaan Tuhan yang menolak ke jalan kebenaran di bumi.”

Lama kelamaan aku merasa takut melihat kelakuan orang-orang aneh itu di alam antah berantah itu. Kulihat mereka adalah orang-orang yang tidak tahu tentang hidupnya sendiri. Keluarganya sendiri mereka makan hidup-hidup saat tidak menemukan yang mau dimakan, tapi seperti tak habis-habis daging kulitnya yang mereka makan, mereka tetap hidup. Mereka juga sama bersuku-suku, berperang ketika mereka menemukan musuh dari suku lain yang mencoba memasuki daerahnya.

Aku terasa muntah-muntah melihat penyiksaan yang tiada henti itu, mereka perlakukan terhadap sesamanya. Tak ada yang mati, karena mereka abadi. Mereka hanya merasakan sakit dengan siksaan yang mereka terima dari sesamanya. Dalam mimpi itu, tiba-tiba aku merasa ada di atas pohon. Aku jadi takut, kalau-kalau aku sampai terlihat oleh mereka, dan aku jadi mangsanya juga yang empuk—aku takut kalau mereka bisa menangkapku, aku pasti dimakannya juga.

Menurut penuturan orang tua itu, mereka mempunyai dendam kepada keturunan Ada. Mereka menyangka bahwa yang membuat mereka tetap seperti itu karena ulah Adam yang tidak menolong mereka kepada Tuhannya.

(Bersambung…. Baca cerita sebelumnya: Pelacur Negeri (Bagian 2: II) – Novelet Yan Zavin Aundjand)

Yan Zavin Aundjand
Yan Zavin Aundjand

*Yan Zavin Aundjand, Sastrawan asal Madura. Karya-karyanya yang sudah terbit antara lain Labuk Dhellika (Antologi Puisi), Jejak Tuhan (Novel), Tarian di Ranjang Kyai (Novel), Sejarah Agama-agama Besar Dunia (Sejarah), Pinangan Buat Najwa (Antologi Puisi), Kupu-kupu di Jalan Simpang (Antologi Puisi), Bangkai dan Cerita-cerita Kepulangan (Kumpulan Cerpen), Garuda Matahari (Buku), dll. Mukim di Jakarta.

_____________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, dan esai dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 40