Cerpen

Pelacur Negeri (Bagian 2: I) – Novelet Yan Zavin Aundjand*

NUSANTARANEWS.CO – Jauh dari mimpiku sebelumnya bahwa aku bisa bertemu lagi dengan teman pujaan hatiku dulu, Jumailah. Tapi dia sekarang sudah besar dan sudah pandai berdandan, aku jadi hilang ingatan. Semuanya seolah jadi hilang. Aku merasa bahwa hanya aku dan dia di depan kolam renang sebuah hotel dekat Bandara. Duduk berdua sambil menatap orang-orang berenang. Gemericik air kolam renang seperti lagu-lagu rindu masa lalu. Iya, seperti aku dan dia ikut berenang di kolam itu. Kerlipan lelampu ikut meramaikan suasana ceritaku dengannya.

Hari sudah malam, aku benar-benar senang sekali menemani dia. Aku jadi lupa anak dan istriku di rumah. Malam itu, aku marasa seperti remaja, seperti dulu kala waktu masih SMA. Bercanda ria, saling ejek mengejek, seolah perjumpaan yang tak pernah kujumpai sebelumnya. Bahkan aku merasa bahwa malam pertamaku dengan istriku tak seindah itu. Padahal aku dengannya tidak sedang saling bercumbu rayu. Ada apa dengan malam?

Aku hanya menikmati suasana indah itu. Kulupakan sementara waktu untuk bercanda ria dengannya. Aku hilangkan segalanya. Bertahun-tahun aku tak berjumpa dengannya. Sungguh hatiku berbunga-bunga bertebar di malam-malam.

Aku belum merasakan ngantuk. Aku ingin menghabiskan waktu dengan teman lama pujaan hatiku, Jumailah. Semoga istriku tidak tahu. Aku keluar rumah pamit mau ke rumah teman di Kediri. Mungkin malam ini istri dan anakku sedang lelap tidur sambil memimpikanku bercanda dengan mereka. Entahlah, semoga mereka demikian, dan tidak mencurigaiku menemui masa laluku yang membuat perasaanku kembali menggebu.

Setelah beberapa lama ditinggal pergi di kamar hotel, Jumailah mengajakku jalan ke tempat dulu main waktu masa kami remaja. Tempat itu jauh dari tempat hotel dekat Bandara itu. Aku tak bertanya, kenapa dia tinggal di hotel? Kenapa tidak pulang ke rumah saja. Aku simpan saja pertanyaan itu. Nanti aku juga tahu sendiri alasannya, pikirku. Aku jadi nurut saja apa kemauannya. Diajak jalan aku ikut saja, yang penting aku jangan sampai diteror, kata perasaanku.

Aku berjalan berdua bergandengan tangan, seperti rasanya tidak punya istri. Tak ada rasa malu dan kaku di antara kami berdua. Karena sudah biasa dan terbiasa sejak dulu dengannya, layaknya sepasang kekasih. Kami mengingat masa lalu masing-masing, bermain-main di tempat dulu kami bermain. Tempat itu masih saja ramai dengan orang-orang bermain, berpesta, bergembira dengan pasangannya.

“Ini tempat kita dulu bermain,” kata Jumailah mengingatkan aku ke masa lalu.

“Iya, dulu kita sering main ke sini. Kamu senang ke sini lagi?” Tanyaku.

“Iya, senanglah… kan ditemani teman lama.”

“Haha….!!!”

“Ayo, kita masuk.”

Kami masuk ruangan.

Kami pesan beberapa minuman beralkohol sambil bercerita panjang lebar tentang masa lalu kami. Tertawa kecil di tempat meja bundar ber-AC. Minuman sudah kami lahap langsung di meja itu mengikuti kepulan asap rokok. Begitu juga dengannya. Dia seperti senang sekali malam itu, sama sepertiku, seperti tak punya apa-apa dan siapa-siapa selain dia, teman lama pujaan hati.

“Ternyata kamu masih suka minum. Aku kira kamu udah berhenti,” kataku.

“Nggaklah. Kemarin aku udah berhenti, sih… tapi, sekarang kan sama kamu. Jadi, aku harus mencobanya lagi. Biar kita sama-sama seperti dulu lagi.”

“Oh, ya…”

“Masuk ke dalam, yuk..?”

“Boleh.”

Kami masuk ruangan disco.

Kami benar-benar menghilangkan segalanya. Menari-nari. Aku menari seadanya, pun Jumailah menari dengan liarnya, indah sekali gerakan pinggulnya. Dari dulu sejak remaja Jumailah memang hobby ke discotik. Aku akui bahwa masa remaja kami memang nakal. Iya, senakal malam ini, benar-benar kembali menggilai keadaan.

Aku mengikutinya menari. Melayani dia, memeganginya ketika dia butuh dipegang. Semakin malam, suasana tambah memanas. Sedang yang lain juga menari dengan pasangan masing-masing. Aku dengannya saling pegang di sana-sini, tidak tahu di mana bagian terlarang yang tidak boleh aku pegang, kenak juga, tapi itu karena tidak sengaja. Kami sudah mabuk dan terbawa suasana. Aku tidak tahu kenapa dia harus mengulang masa lalu yang kelam bersamaku, mungkin dia hanya sekedar ingin mengenangnya atau hanya sekedar menghilangkan kepenatan pekerjaannya di Jakarta. Entahlah, aku biarkan dia menikmati kesenangannya itu.

Bau harum nyengat di seluruh ruangan remang, aku seperti tak punya Tuhan dibuatnya. Lampu-lampu berkedip mengikuti gerakan pinggul dan kepala menggeleng-geleng. Malaikat-malaikat seolah kabur dari ruangan itu, tak tahu yang mana yang harus mereka catat sebagai laporan dan pertanggungjawabnya sebagai penjaga manusia.

Aku sendiri sudah lelah bergerak. Kulihat Jumailah seperti tidak mengenal lelah, barangkali lelah kabur dibawa pergi malaikat terbang. Akhirnya, aku diam saja dan mengambil duduk di kursi. Dia mengikutiku sambil menari. Aku menenagkan lelahku. Dia menari di depanku, tangannya diletakkan di atas bahuku. Kubiarkan saja.

Aku diam sambil menatap remang dan warna kunang-kunang di mataku. Jumailah, harum bau keringatnya jatuh ke wajahku. Aku biarkan saja keringat itu terus jatuh membasahi wajahku. Aku menikmati wanginya sampai dia terjatuh dalam pelukku, mungkin dia sudah lelah dan mabuk berat. Kurangkul dia keluar ruangan. Kubawa dia pulang dengan naik taksi. Dompetnya aku ambil di saku jaketnya yang kulit untuk nanti bayar ongkos taksi. Dia tertidur pulas di pangkuanku dalam taksi. Kubiarkan saja dia tertidur.

Di jalan-jalan, di dalam taksi, kudekap erat lelah Jumailah, kuusap keringat di keningnya, dan saat itu pula aku jadi teringat istriku. Setiap selesai melakukan sesuatu, istriku seringkali tertidur di dekapanku. Jumailah dan istriku, keduanya seperti mendengarkan detak jantung berdebaran dengan nafasku yang berhembus kencang.

Istriku, apa kau malam ini memanggilku? Jangan panggil aku dulu, di sana sudah ada anakmu yang menemani. Kau tak mungkin kesepian. Dekaplah anak kita sebelum menjelang tidur, besok aku akan kembali, kataku dalam hati.

Kuusap-usap keringat di keningnya, kubelai-belai rambutnya yang sedikit kemerahan, seperti aku membelai rambut istriku sebelum lelap dalam dekapanku. Dia seperti istriku, wajahnya hampir mirip, tapi lebih cantik dia. Bentuk badannya tidak sama, lebih semampai dia. Dulu aku pernah jatuh cinta padanya, sekarang pun masih sama, hanya saja sampai sekarang aku tidak bisa mengutarakan perasaanku, aku sudah menganggap dia lebih dari sekedar teman biasa. Aku tak ingin persahabatanku dengannya hancur gara-gara cinta. Aku tak ingin pesahabatanku hancur gara-gara aku memutus hubunga dengannya di kemudian hari. Dia temanku yang kukenal baik. Perbuatanku sama, kebiasaanku juga hampir sama, dan hobbyku juga sama, ke mana-mana selalu bersama, bermain bersama, dan tidur kadang di tempat yang sama, tapi tidak pernah melakukan hal-hal layaknya suami istri. Kami saling menjaganya, itu membuatku dan dia tidak bisa bahkan enggan untuk mengutarakan cinta dan perasaan masing-masing.

Setelah kami berpisah, kami saling merasakan cinta itu semakin kuat. Tapi tetap saja tidak ada yang saling mengutarakan perasaan masing-masing. Karena tidak adanya kabar antara aku dan dia, aku pun memutuskan untuk mencari dan memilih perempuan lain yang sekarang jadi istriku yang aku anggap hampir sama persis wajahnya dengan dia. Jumailah belum tahu bahwa aku sudah punya istri.

Pernikahanku tidak ada yang tahu. Aku nikah sirri dengan istriku. Meski negara tidak membolehkan nikah sirri, aku tetap saja melakukannya, yang penting halal bagi agama. Aku tidak harus mengikuti segala peraturan yang ada, yang masih mau mengambil keuntungan dariku. Aku tidak begitu meghiraukan, yang penting aku adalah aku yang tak menjual pribadi di atas kekuasaan.

Dan negara tak harus selalu ikut campur dalam aktifitas keagamaan masyarakatnya. Bahwa ini adalah demi kenyamanan dalam memilih bertindak dan berperilaku dalam beragama dan bernegara selama itu tidak melenceng jauh dari kebenaran. Maksudku, dalam hal ini, aku tidak ingin negara menganggap orang yang menikah sirri itu adalah perbuatan melanggar hukum, terlebih ketika pejabat negara menganggapnya nikah sirri itu adalah tidak sah yang selalu didengung-dengungkan tanpa memberikan penjelasan yang baik dan benar kepada masyarakat.

Aku tahu bahwa selama ini apa yang dikatakan pejabat negara selalu politis, sehingga apa yang diucapkan seolah itu merupakan bentuk dari ajaran agama terkait dengan nikah sirri. Bahwa pernikahan itu harus terdaftar dan tercatat secara hukum dalam catatan pemerintah itu boleh-boleh saja, aku setuju. Namun, alangkah baiknya perbuatan dan ucapan selalu didasarkan pada kebaikan dan tidak memberatkan apalagi menyesatkan masyarakat.***

(Bersambung…. Baca cerita sebelumnya: Pelacur Negeri (Bagian 1) – Novelet Yan Zavin Aundjand)

Yan Zavin Aundjand
Yan Zavin Aundjand

*Yan Zavin Aundjand, Sastrawan asal Madura. Karya-karyanya yang sudah terbit antara lain Labuk Dhellika (Antologi Puisi), Jejak Tuhan (Novel), Tarian di Ranjang Kyai (Novel), Sejarah Agama-agama Besar Dunia (Sejarah), Pinangan Buat Najwa (Antologi Puisi), Kupu-kupu di Jalan Simpang (Antologi Puisi), Bangkai dan Cerita-cerita Kepulangan (Kumpulan Cerpen), Garuda Matahari (Buku), dll. Mukim di Jakarta.

_____________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, dan esai dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 40