ArtikelEkonomiFeatured

Prediksi Ekonomi Indonesia Di Mata Dunia

Ilustrasi MINT
Ilustrasi MINT

NUSANTARANEWS.CO – Pembangunan adalah pemberdayaan rakyat agar mencapai taraf hidup yang sejahtera. Ironisnya, pembangunan yang dijalankan pemerintah kita selama ini justru melumpuhkan kreatifitas rakyat, memarjinalkan rakyat dari sumber-sumber ekonomi dan kearifan lokalnya yang pada gilirannya memiskinkan rakyat. Pembangunan yang seharusnya menggusur kemiskinan malah menggusur orang miskin.

Konsistensi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada satu dekade terakhir yang rata-rata baru mencapai 6% sampai 7% per tahun atau sepertiga dari kapasitas produksi Indonesia bila beroperasi penuh – ternyata telah mengundang perhatian media-media massa mancanegara. Stasiun berita BBC dan majalah Forbes menyebut Indonesia bisa masuk dalam gelombang baru ekonomi yang tengah bangkit, yang disebut sebagai MINT, yang bisa berarti “permen.” Sungguh manis memang. MINT adalah akronim kepanjangan dari Meksiko, Indonesia, Nigeria dan Turki, negara-negara yang dipandang berpotensi sebagai kekuatan ekonomi baru.

Gagasan MINT ini dicetuskan oleh ekonom Inggris Jim O’Neill. Mantan eksekutif Goldman Sachs, yang pada 2001 yang juga memperkenalkan istilah “BRIC,” yaitu gabungan dari Brazil, Rusia, India, dan China.

Menurut pendapat O’Neill, Indonesia pantas masuk dalam kelompok MINT bermodalkan keuntungan demografi dan geografi, Indonesia berpotensi menikmati pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang signifikan sebagaimana prediksi statistik Bank Dunia dan Goldman Sachs, bahwa produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2012 sebesar US$ 0,88 triliun yang menempatkan Indonesia pada peringkat 16 dunia. Namun, pada 2050 diyakini bisa melejit ke peringkat sembilan ekonomi dunia dengan PDB US$ 6,04 triliun – melampaui sejumlah negara maju Eropa saat ini, seperti, Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia.

Baca Juga:  Bupati Nunukan dan BP2MI Tandatangani MoU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia

Bila kita bandingkan GDP per Capita Indonesia dengan GDP perkapita beberapa negara Asia yang tidak memiliki Sumber Daya Alam (SDA) seperti: Korea Selatan (US$ 23,639), Taiwan (US$ 20,156), Malaysia (US$ 9,659), China (US$ 5,343) dan Thailand (US$ 5,046) – sungguh ajaib! Indonesia yang memiliki sumber daya alam sendiri bahkan merupakan negara “eksportir” pangan dan energi, GDP per Capitanya hanya US$ 4.000.- Dan lebih ajaib lagi, bila benar GDP peCapita Indonesia US$ 4.000,- pada 2014 seharusnya sudah tidak ada lagi rakyat Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan. Dengan income rata-rata Rp 4 juta per bulan (Kurs 12.000) tidak perlu lagi ada namanya bantuan tunai langsung dari pemerintah.

Prediksi statistik tersebut semakin memperkuat anggapan banyak orang bahwa ada yang salah dengan sistem ekonomi kita setelah reformasi. Bahwa pembangunan ekonomi Indonesia telah disimpangkan dari semangat Pasal 33 UUD 1945. Tidak percaya! Mari kita baca ulang proyeksi ekonomi Indonesia pada 2010. Angka statistik menunjukkan bahwa pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai US$ 700 miliar. Pendapatan per kapita US$ 3.000 per tahun. Cadangan devisa mencapai US$ 96,2 miliar per 31 Desember 2010. Indeks Harga Saham Gabungan mencatat rekor terbaik se-Asia Pasifik.

Baca Juga:  DPRD Nunukan Akan Perjuangkan 334 Pokir Dalam SIPD 2025

Dalam bahasa statistik menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia saat itu telah masuk jajaran negara-negara anggota G20, telah menempati peringkat 16 besar dunia, sudah melampaui perekonomian Belanda. Tapi anehnya, angka-angka statistik yang fantastis tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. Malah angka pengangguran meningkat, PHK terus saja terjadi, gelandangan dan pengemis tetap marak menghiasi ibu kota dan wilayah perkotaan di tanah air. Seharusnya dengan GDP perCapita US$ 3.000.- atau setara dengan Rp 2,5 juta pe bulan, taraf hidup rakyat Indonesia sudah meningkat. Dengan kata lain, tidak ada lagi rakyat Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan.

Nah tidak jauh berbeda dengan prediksi statistik 2010. Meski volume ekonomi kita pada 2014 kian membesar tapi tidak dapat dinikmati oleh sebagian besar rakyat Indonesia yang masih hidup dibawah garis kemisikinan. Bahkan ada prediksi bahwa pada 2015 angka penduduk miskin kita akan meningkat menjadi lebih dari 100 juta orang paralel dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Bahkan Bank Dunia telah memberikan potret kemiskinan Indonesia pada 2015 sebagaimana yang dikatakan oleh Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo A. Chavez bahwa, “Sekitar 68 juta penduduk Indonesia sangat rentan jatuh miskin karena pendapatan mereka hanya sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan keluarga miskin. Sedikit guncangan ekonomi seperti jatuh sakit, kehilangan pekerjaan, atau kenaikan harga dengan mudah membuat mereka kembali jatuh miskin.”

Baca Juga:  INILAH TAMPANG DEDENGKOT KORUPTOR PERS INDONESIA BINAAN DEWAN PERS

Jadi memang perlu sebuah “koreksi total” terhadap sistem ekonomi yang kita terapkan selama ini, yang ternyata menghasilkan ketimpangan luas dan dalam antara yang kaya dan miskin. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan. Tampaknya seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara kita perlu perbaikan. Tanpa penyelesaian berbagai masalah yang kita hadapi, maka semua proyeksi yang ada hanya akan tinggal impian saja. Dengan kata lain, proyeksi itu dibuat bukan untuk dinikmati rakyat Indonesia, tetapi untuk dihisap dan dinikmati oleh negara maju. (Agus Setiawan)

Related Posts

1 of 70