OpiniPolitik

Pancasila dan Pembukaan UUD 1945

Pancasila dan Pembukaan UUD 1945
Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.

Pancasila dan Pembukaan UUD 1945

Atas pertanyaan Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dokter K.R.T. Radjiman Wediodiningrat “Atas weltanschauung yang manakah negara yang baru didasarkan?”
Oleh: Sudaryanto

Pada tanggal 1 Juni 1945 Bung Karno mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara. Usul itu diterima dan kemudian dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945, dan oleh karenanya, Pancasila pun harus dipahami sesuai dengan konstruksi pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai titik tolaknya.

Dalam konstruksi pikiran Pembukaan UUD 1945, Pancasila adalah dasar negara yang menjadi pokok kaidah fundamental negara dan menjadi norma tertinggi dalam hirarkhi sistem norma hukum negara Republik Indonesia. Pancasila merupakan norma dasar yang menciptakan semua norma-norma yang lebih rendah dalam sistem norma hukum. Pancasila seharusnya juga menentukan berlaku atau tidaknya norma-norma hukum yang ada di bawahnya itu. Pancasila diwujudkan melalui pembuatan dan pelaksanaan kebijakan negara (konstitusi, undang-undang negara, peraturan pemerintah, dan seterusnya), serta terungkap dalam praktek dan kebiasaan bertindak para penyelenggara kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).

Sebagai dasar negara Pancasila mengatur perilakunya negara. Pancasila mengatur “budi pekerti”nya negara, yang terungkap dalam praktek dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan negara. Melalui aya yang “terungkap dalam praktek dan kebiasaan bertindak penyelenggara kekuasaan negara” itulah rakyat bisa melihat negaranya.

Seperti kita ketahui, Orde Baru dilahirkan di tengah-tengah konflik ideologis yang sangat tajam di antara partai-partai politik yang ada. Untuk memenangkan pergulatannya di tengah-tengah konflik idelogis yang sangat tajam tersebut, dengan sengaja Orde Baru menggunakan Pancasila sebagai legitimasi kehadirannya. Orde Baru menasbihkan dirinya sebagai sebuah orde yang akan “melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.”

Baca Juga:  Menangkan Golkar dan Prabowo-Gibran di Jawa Timur, Sarmuji Layak Jadi Menteri

Pancasila dan UUD 1945 pada dasarnya adalah anti kapitalisme yang pasti tidak sesuai dengan keinginan AS untuk menciptakan the new order in the frame-work of the free world dalam perang dingin. Janji Orde Baru kepada rakyat untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen akan berbenturan dengan keinginan Amerika untuk menciptakan the new order in the frame-work of the free world.

Hal ini memaksa Orde Baru untuk membelah atmosfir politik nasional menjadi dua dunia: dunia tuturan (“dunia bunyi-bunyian”) yang nyaring melantunkan lagu Pancasila dan UUD 1945 dan dunia realitas yang gigih mempromosikan kapitalisme internasional. Undang-undang pertama yang dibuat oleh Orde Baru adalah Undang-undang Penanaman Modal Asing yang diterbitkan pada tahun 1967, yang sekaligus juga menandai dibukanya Politik Pintu Terbuka Kedua dalam sejarah Indonesia modern.

Tidak mudah bagi Orde Baru untuk menjaga “harmonisasi” kedua dunia tersebut. Dalam peristiwa Malari tahun 1974 mahasiswa menggugat dominasi modal asing dalam pembangunan nasional. Pembangunan yang makin didominasi modal asing dan juga makin menjauhi keadilan sosial tidak dapat lagi dijelaskan dengan legitimasi dasar Pancasila. Diperlukan jawaban yang lebih berbelit untuk menjawab pertanyaan yang muncul.

Baca Juga:  Anton Charliyan: “Alhamdulillah, Paslon 02 Prabowo-Gibran Menang Satu Putaran pada Pilpres 2024

Dalam sidang MPR tahun 1978, Orde Baru menerbitkan P-4 sebagai sistem legitimasi sekunder yang dipergunakan sebagai tirai asap untuk menutupi penyelewengan ideologis dalam pelaksanaan pembangunan. Melalui penataran dalam berbagai tipenya dan diselenggarakan secara masif, Orde Baru berhasil membangun penghayatan baru atas perwujudan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila akan terwujud apabila seluruh hidung warga negara sudah “menghayati” dan “mengamalkan” sila-sila dari kelima prinsip Pancasila, yang di dalam P-4 sudah dijabarkan menjadi 37 butir. (Pernah digagas agar yang 37 butir itu dilengkapi lagi menjadi 45 butir).

Konstruksi pemahaman seperti itu tidak sejalan dengan konstruksi pikiran Pembukaan UUD 1945. Dalam konstruksi pikiran Pembukaan UUD 1945, Pancasila diwujudkan melalui pembuatan dan pelaksanaan kebijakan negara oleh penyelenggara kekuasaan negara; sedangkan dalam konstruksi pikiran P-4, Pancasila diwujudkan melalui penghayatan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila oleh warga negara. Melalui bangunan penghayatan seperti ini, penyelenggara kekuasaan negara dapat meluputkan diri dari kewajibannya untuk mengoperasikan Pancasila dan melemparkannya kepada warga negara. Arah pengawasan pun berbalik arah: bukan warga negara yang mengawasi penguasa, tapi penguasa yang mengawasi warga negara.

Baca Juga:  Kampanye Akbar, Prabowo Sebut Dukungan Demokrat Penambah Kemenangan di Pilpres

Memang benar, perwujudan Pancasila itu akan menjadi lebih sempurna kalau didukung oleh moral individu-individu warga negara yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Pak Ryamizard menggunakan istilah “yang primer” dan “yang sekunder” untuk menunjuk Pancasila sebagai “kaidah moral negara” dan Pancasila sebagai “kaidah moral individual.” Yang primer Pancasila itu adalah dasar negara, Pancasila itu adalah “kaidah moral negara” yang seharusnya mengatur perilaku negara. Kalau Pancasila juga dikehendaki menjadi “kaidah moral individual” bagi warga negara, itu sifatnya sekunder. Pertama-tama perhatian kita haruslah ditujukan kepada yang primer, baru kemudian kepada yang sekunder.

Kalau Pancasila dicopot dari keseluruhan konteks Pembukaan UUD 1945, maka nilai-nilai yang terkandung di dalamnya berubah menjadi nilai-nilai yang sifatnya universal. Nilai-nilai Pancasila sebagai kaidah moral individual tidak lagi menjadi milik khas bangsa Indonesia. Orang-orang Jepang atau Amerika banyak yang mengamalkan nilai-nilai Pancasila tanpa berpretensi untuk melaksanakan Pancasila. Pancasila menjadi khas milik bangsa Indonesia justru karena Pancasila dijadikan dasar negara. Tambahan lagi, warga negara Jepang atau Amerika atau negara mana pun yang mengamalkan Pancasila sebagai kaidah moral individual tidak pernah menjadi musuh kapitalisme. Pancasila baru menjadi musuh kapitalisme kalau diposisikan sebagai kaidah moral negara yang dapat dioperasikan untuk mengekang keserakahan kapitalisme. []

Penulis: Sudaryanto, Pemikir dan Tokoh Pergerakan Kebangsaan

Related Posts

1 of 3,050