Terbaru

Pada Napasku yang Sekarat, Akan Kusuruh Mereka Bawa Pergi THAAD

Penduduk desa Soseong-ri berhadapan dengan polisi Korea Selatan dalam sebuah protes terhadap THAAD, Selasa (14/6/2017)/Reuters/Kim Hong-Ji

NUSANTARANEWS.CO, Soseong-ri – Soseong-ri adalah sebuah desa kecil yang terdapat sekitar 80 pendiduk di Korea Selatan. Masyarkat di Soseong-ri mayoritas bertani.

Hebatnya, di Soseong-ri sekelompok wanita tua justru berada di garis terdepan melakukan demonstrasi menentang penggelaran sistem anti rudal AS (THAAD) di dekat lahan-lahan tempat mereka hidup.

Sekitar selusin wanita berusia 60-an sampai 80-an tahun berjaga-jaga setiap hari sepanjang waktu untuk memastikan tidak ada kendaraan militer yang memasuki lokasi. Satu-satunya jalan menuju ke Soseong-ri, bekas lapangan golf milik konglomerat terkemua, Lotte Group.

Untuk mencapai medan yang sulit itu, militer AS terpaksa harus menggunakan helikopter guna mengangkut peralatan dan persediaan ke proyek THAAD.

Sekadar informasi, Terminal High Altitude Area Defense (THAAD) adalah sistem peluru kendali (rudal) anti-balistik milik angkatan darat AS yang dirancang untuk menembak jatuh rudal jarak dekat, sedang, dan menengah dalam fase terminalnya yang menggunakan pendekatan mencegat rudal musuh dengan tembakan langsung (hit-to-kill). AS diketahui memasang THAAD awal Mei lalu ke bekas lapangan golf di kota Seongju, Korea Selatan untuk mengantisipasi rudal balistik Korea Utara.

Pemerintah konservatif Korea Selatan juga setuju dengan Amerika Serikat untuk menggunakan baterai (THAAD) tersebut untuk menghadapi ancaman yang terus meningkat dari rudal Korea Utara. Namum, presiden baru Korsel Moon Jae-in telah berjanji untuk meninjau kembali keputusan kontroversial tersebut. Pekan lalu, Moon memerintahkan penempatan THAAD dihentikan sementara pemerintah meninjau ulang bagaimana sistem tersebut akan mempengaruhi lingkungan sekitar.

Baca Juga:  Dana BUMN 4,6 Miliar Seharusnya bisa Sertifikasi 4.200 Wartawan

Baca: Begini Canggihnya Sistem Pertahanan THAAD

Dikutip Reuters, para wanita mengayunkan tongkat dan payung pada helikopter militer dan berteriak agar mereka pergi setiap kali terbang melewati desa tersebut sembari berteriak bahwa mereka tidak tertarik dengan politik. Mereka merindukan kedamaian yang mereka lakukan sebelumnya.

“Saya tidak bisa tidur, saya minum obat penenang pada malam hari tapi saya hanya tidur nyenyak dua jam saja,” kata seorang wanita berusia 87 tahun, Na Wi-bun, yang tinggal dalam jarak satu kilometer (0,62 mil) dari lokasi tersebut dan mengatakan dia bisa mendengar generator yang menyulut THAAD bersenandung setiap saat.

Na pergi ke balai kota setiap hari, tempat berlindung bersama sekelompok wanita serta sejumlah kelompok warga sipil yang memprotes penyebaran tersebut.

“Pada siang hari, kami dulu bertani dan kemudian pergi ke balai kota dan kami akan menghabiskan waktu bersama. Sekarang tidak ada siang dan malam untuk kami, saya tinggal di balai kota sekarang,” kata Geum Geum -ryeon (81). Sebagian besar penduduk desa adalah petani chamoe, atau melon Korea.

Baca Juga:  Bangun Tol Kediri-Tulungagung, Inilah Cara Pemerintah Sokong Ekonomi Jawa Timur

Geum Geum -ryeon  yang sudah tinggal di Soseong-ri selama 61 tahun, menyebut dia menderita memar karena melawan polisi, akhir April lalu. Dia berusaha menghalangi truk militer AS yang sarat dengan komponen perlengkapan THAAD melintas masuk ke lapangan melewati desa saat dini hari.

“Pada napasku yang sekarat, aku akan menyuruh mereka untuk membawa THAAD pergi,” tegasnya.

Di situs itu sekarang ada dua peluncur dan radar X-band yang sangat kuat, yang merupakan bagian dari THAAD. Peluncur bisa dilihat dengan mata telanjang dari puncak gunung kira-kira dua sampai tiga kilometer jauhnya dan generator bisa didengar dari gunung.

Warga dilarang mendekat sejauh 600 meter (0,37 mil) kalau hendak melihat THAAD. Kalau tidak, maka polisi Korea Selatan akan melakukan pengusiran.

Kepala kota Soseong-ri, Lee Seok-ju, mengatakan bahwa dia telah memperingatkan penduduk desa untuk melakukan perjuangan panjang ke depan.

“Saya melihat ini berlangsung setidaknya dua tahun, dan paling lama bahkan lima tahun. Kami harus menghemat energi untuk jangka panjang,” Kata Lee.

Soseong-ri adalah bagian dari Provinsi Gyeongsang Utara, yang sejak lama dikenal sebagai benteng konservatif. Ketika kandidat konservatif Park Geun-hye terpilih sebagai presiden pada tahun 2012, dukungan pemilih berada di dekat 90 persen untuknya di Kabupaten Seongju, di mana Soseong-ri berada.

Baca Juga:  PPWI Adakan Kunjungan Kehormatan ke Duta Besar Maroko

Namun kondisi tersebut berubah drastis dalam pemilihan presiden akhir Mei lau, di mana dukungan untuk kandidat konservatif dari partai Park (Geun-hye) turun menjadi 56 persen.

Bulan lalu, sebagian besar penduduk desa Soseong-ri memilih kandidat liberal lainnya, Ahn Cheol-soo.

“THAAD harus pergi, kadang kala saya melihat ke atas dan saya sangat takut beberapa hal yang hanya tergantung dari helikopter akan dijatuhkan pada kami,” kata Kim Jeom-sook (67) seorang petani melon.

Suaminya Kim yang sudah berusia 73 tahun, Lee Mu-hwan, mengatakan bahwa bisnis mereka belum terpengaruh oleh THAAD, namun harga telah menurun dalam beberapa tahun terakhir karena kelebihan pasokan sehingga mereka tidak dapat mengambil risiko. Mereka mendapatkan sekitar 10 juta won ($ 8.901,55) per tahun dari pertanian melon.

Kim, yang kakeknya meninggal dalam Perang Korea 1950-1953, mengatakan bahwa THAAD tidak akan berguna jika Korea Utara bertekad untuk menyerang Korea Selatan.

“Jika Korea Utara ingin ‘boom boom’, mereka bisa menyerang di mana-mana dan menciptakan lautan api. Saya yakin daerah ini akan berubah seperti itu juga jika mereka mau,” kata Kim. (ed)

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 2