Artikel

Mustahil, Penyerang Novel Tertangkap (Bag. II)

Oleh: Birru Ramadhan*

NUSANTARANEWS.CO – Seperti biasa pemerintah bereaksi, setelah ada kejadian, termasuk dalam hal pengamanan penegak hukum, Novel Baswedan. Pemerintah seharusnya proaktif melindungi para penegak hukum KPK, karena mereka memiliki resiko tinggi, dimana berhadapan dengan para koruptor besar “kelas ikan hiu” melalui kaki tangan dan pengacaranya. Mereka punya uang dan kekuatan yang dahsyat, sehingga bisa berbuat apa saja, demi kepentingannya, termasuk mengabaikan dan mangangkangi hukum.

Bicara Novel, pasti orang teringat perseteruan “khusus” antara Novel dengan Polri. Di mata rakyat bukan rahasia lagi, polisi “hate” kepada Novel, karena berani tegas dalam menegakkan hukum kepada polisi yang bersalah dan tidak mau melakukan praktek “86”. Novel sempat ditangkap pada 1 Mei 2015 dini hari kemudian diinapkan di Bareskrim Polri. Ada pula kasus Komjen (Pol) Susno Duadji, Kombes (Pol) Alfons Loemao keduanya berakhir di penjara setelah mencoba membongkar korupsi di Polri. Begitu pula, sebelumnya, Tama S. Langkun (ICW) yang mencoba mengurai korupsi di Polri berakhir di RS setelah dibacok orang tak dikenal, tanpa terungkap pelakunya hingga sekarang.

Sejatinya setiap penegak hukum mengemban tugas menegakkan hukum, bukan sebaliknya melecehkan hukum. Tapi dalam kasus Novel ada “keunikan” dimana berlaku sebaliknya, demi menyelamatkan oknum penggede Polri yang melakukan korupsi, yang kemudian terbukti menjadi koruptor dan dipenjara. Seharusnya Polri berterima kasih kepada Novel yang sudah menangkap tikus pembobol dana Polri, bukan justru menghajarnya.

Proses hukum kepada Novel terlihat jelas sebagai dagelan memalukan, Polri merasa tidak bersalah mengkriminalisasi Novel, padahal rakyat sangat mengetahui kalau itu cuma dagelan demi menutupi kesalahan oknum perwira tinggi Polri dengan memojokkan dan menyalahkan Novel. Dagelan ini, dibaca rakyat, yang benar disalahkan dan yang salah dibenarkan.

Logika yang Rancu Polri

Kita tidak boleh menerka, tapi gunakan logika dalam memahami masalah hukum unik Novel. Lazimnya, Polri akan menutupi kesalahan anggota demi nama baik institusinya. Tapi untuk kasus Novel justru sebaliknya, polisi mengumbar praktek keburukan tingkah polah anggota Polri. Aneh! Kalau ini yang ditempuh, maka kebenaran bukan lagi tujuan, tapi bagaimana bisa membungkam anggota Polri yang coba-coba tidak loyal membela senior atau institusi, meski ujungnya kerugian besar bagi citra Polri.

Kebobrokan Polri akan terus dipertontonkan demi membela dan menutupi kesalahan oknum berpangkat tinggi. Segala cara ditempuh, halal dan haram tidak jadi masalah, termasuk dampaknya bagi citra Polri itu sendiri. Sebenarnya hal itu adalah tindakan dungu dan pandir karena memberangus kebenaran dan memelihara kebathilan demi membela oknum yang melakukan pelanggaran, yang memang terbukti bersalah.

Novel tak diragukan lagi sangat mencintai kebenaran dan keadilan hukum. Ini dibuktikan dirinya tatkala berseteru dengan institusinya, sampai dia rela keluar atau mengundurkan diri sebagai anggota Polri. Sungguh tindakan nekad, tapi membanggakan warga bangsa, karena ybs mundur demi kehormatan diri dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan keadilan hukum.

Novel yang tidak mau jadi pengkhianat bangsa dan bersikap ABS seharusnya dijadikan aset Polri dalam memberantas korupsi di tanah air, bukan justru dimusuhi. Rakyat pasti mengatahui mana berlian dan mana kotoran. Kebenaran yang ditegakkan Novel seharusnya dijadikan momentum introspeksi Polri dalam membenahi Polri secara mendasar.

Sesungguhnya benang merah mafia hukum dan pihak yang tidak suka kepada penegak hukum KPK, terutama Novel, bisa dikatakan ada kejelasan. Tapi karena terkait fakta hukum bukan opini, sehingga tidak mudah menyeret aktor di belakang teror, intimidasi termasuk penyiram air keras kepada Novel.

Mungkinkah Penyerang Novel Terungkap?

Dari gambaran di atas, mungkinkah penyerang Novel bisa terungkap dan ditangkap? Hanya Allah SWT yang tahu dan rakyat yang hanya bisa menduga-duga. Rasanya mustahil, tapi andai bisa tertangkap pasti ada di kamar jenazah, sehingga akan terputus mata rantai kebusukan itu. Apabila ditangkap hidup, maka disetel “jumpa pers” tanpa tanya jawab, paling-paling yang diduga oknum cuma dipajang kayak Rani pada kasus Antasari.

Berkaca pada fakta empiris Densus 88 Polri, pasti tidak diragukan lagi kehebatannya. Bukti, kelompok teroris yang dikenal sebagai gerakan tertutup, rahasia, terlatih, militan, terorganisasi baik, ternyata dalam hitungan “jam” sudah bisa digebuk. Tapi sayang, seperti biasanya Polri abai terhadap HAM, sehingga urusan mati-mematikan jadi soal lumrah, seperti tewasnya 6 orang yang diduga teroris di Tuban pada 8 April 2017 dengan alasan klise “melawan”. Kemudian dengan cepat Polisi berhasil menagkap pelaku pembunuhan sekeluarga pada 9 April 2017 di Medan. Begitu pula kasus-kasus super rumit, semua ujungnya bisa diatasi secara “gemilang” dalam waktu yang cepat, kemudian seperti biasa melakukan “jumpa pers” agar masyarakat mengetahui prestasi Polri.

Tapi anehnya, tatkala kasus Novel bergulir kelaziman itu berbalik 180 derajat. Seharusnya secara logika dalam hitungan jam pula Polri bisa menangkap para pelaku yang amatiran ini, namun fakta sampai saat ini belum bisa mengungkap dan menangkap pelakunya. Mengapa demikian, hanya Tuhan yang tahu.

*Birru Ramadhan, Pemerhati Sosial dan Kriminal
Editor: M. Romandhon

Related Posts

1 of 18