Budaya / SeniCerpen

Monolog Hati – Cerpen Nanda Dyani Amilla

NUSANTARANEWS.CO – Kepada wanita yang kupinjam rahimnya untuk dapat melihat dunia.

Apa kabar, Ma? Sehatkah kamu di sana? Bagaimana keadaan surga? Apakah seindah cerita kita waktu itu? Apakah di sana banyak bidadari dan buah-buahan? Apa di sana juga banyak hiburan? Atau kamu merasa kesepian? Ayo Ma, berceritalah. Berceritalah padaku, gadis bungsumu yang keras kepala. Aku rindu gaya bicaramu. Aku rindu caramu menyampaikan sesuatu. Aku rindu semua tentang kamu.

Lama tak berjumpa ya, Ma. Aku suka heran, kenapa Tuhan memisahkan jasad kita sejauh ini. Mengapa Tuhan membiarkan aku kehilangan satu sumber kebahagiaanku. Mengapa Tuhan mengambil kamu pada 2010 lalu. Aku suka iri, Ma, jika sekarang aku mendapati banyak sekali teman-teman yang bercerita tentang ibunya. Tentang betapa rewelnya sang ibu setiap pagi, tentang bagaimana kebersamaan mereka setiap hari.

Dulu, kita juga pernah seperti itu, kan, Ma? Ya, kita pernah seperti mereka. Kamu adalah cinta pertamaku di dunia. Orang yang kulihat setiap paginya, orang yang kudengar omelannya, dan orang yang menghapus segala lelah. Bagaimana mungkin aku bisa melupa, saat orang yang kujatuhcintai setiap hari, akhirnya memilih pergi tak kembali.

Simak: Cerita Lain Tentang Lovaria

Ma, lima belas juni dua ribu sepuluh, kamu benar-benar membuatku patah hati. Ini lebih sakit dari sekadar mendengar amarahmu. Ini lebih sakit dari sekadar jeweranmu. Ini lebih sakit dari sekadar cubitanmu. Ini sakit sesakit-sakitnya orang sakit, Ma. Aku tidak pernah membayangkan bahwa aku akan kehilanganmu secepat ini. Menjalani semuanya tanpa berpegangan pada tanganmu lagi. Bahkan aku sempat lupa bagaimana caranya untuk bangkit, tersenyum, dan menjadi bahagia kembali.

Orang-orang tentu tak peduli, Ma, pada apa yang aku rasakan kala itu. Yang mereka tahu aku tabah. Ya, aku memang tak menangis sekencang Kakak waktu itu. Aku memilih diam dan membiarkan pedihku semakin membiru. Saat itu aku hanya ingin menghabiskan waktu menatap wajah pucatmu. Aku tak ingin kehilangan satu detik pun tanpa melihat kamu. Semua kenangan yang pernah ada, berlompatan keluar dari kepalaku. Sambung menyambung membentuk kesedihan yang maha dahsyat.

Malam itu, saat dengkuran manusia terdengar di mana-mana, saat semua lelah telah menguap ke angkasa, Tuhan memanggilmu dalam khusnul khotimah. Ayah mengabari meski sesekali mematikan sambungan telepon. Aku tahu, Ma, beliau tidak sanggup memberitahukannya pada kami. Waktu itu umurku baru 14 tahun, dan aku akan sangat bersedih jika harus mendengar kenyataan pahit ini.

Tuhan memanggilmu pada pukul 2 malam. Saat semua orang sedang lelap dari hiruk pikuknya dunia. Saat aku tengah bermimpi indah tentang kesembuhanmu. Tapi kamu malah memilih tidur untuk selamanya. Kamu tidak ingin bangun, Ma? Meski hanya untuk sekadar mengecup kening kami satu persatu, atau membuat masakan lezat untuk yang terakhir kalinya.

Baca Juga:  Sekjen PERATIN Apresiasi RKFZ Koleksi Beragam Budaya Nusantara

Kepada perempuan yang dari cintanya-lah aku ada, (Baca: Kisah Hujan dan Summer)

Aku masih sangat ingat, saat kamu masih dirawat di rumah. Dengan selang infus dan sebuah senyum manis, kamu berjanji untuk sembuh.  Kamu berjanji padaku, Ma. Kamu berjanji akan sembuh sebelum pembagian raportku minggu depan. Kamu berjanji sambil mengusap kepalaku. Kamu bilang kamu akan sembuh. Kamu bilang kamu akan mengambil raport kenaikan kelasku. Kamu bilang semuanya akan baik-baik saja. Aku masih ingat sekali kamu mengatakan itu, Ma.

Aku menunggu janjimu sampai hari di mana kamu dilarikan ke rumah sakit. Pada malam yang dingin, kamu meninggalkan rumah dengan segala pesan yang kau titip pada Bibi. Hanya ayah, nenek, dan paman yang menemanimu ke sana. Kamu melarang kami ikut. Ma. Selama kamu di rumah sakit, kami benar-benar kewalahan mengurus segalanya seorang diri. Membereskan rumah sendiri, masak sendiri, tidur sendiri, dan mengerjakan tugas sekolah sendiri.

Tidak ada kamu seperti kebiasaan kita setiap hari. Selama 6 hari di rumah sakit, aku berkesempatan menjengukmu hanya sekali. Saat itu aku dan Kakak sedang ujian kenaikan kelas, dan ayah melarang kami untuk ke rumah sakit. Ayah bilang bahwa kamu baik-baik saja. Di hari ke 4 kamu dirawat, aku dan Kakak datang menjengukmu. Hey, kenapa kamu berubah sekali? Kenapa wajahmu sepucat itu, Ma? Kenapa tubuhmu menjadi selemah itu? Aku hampir menangis di depanmu kalau saja Kakak tak segera mencubit lenganku.

Kamu berbeda dari biasanya. Tubuhmu pun tampak menjadi kurus, dengan beberapa selang yang aku tak tahu apa namanya, semuanya menempel di tubuhmu. Tubuh yang dulu selalu aku peluk sepulang sekolah dan menjelang tidur. Ma, apa kamu tahu bahwa aku tak sanggup melihatmu dalam keadaan seperti itu? Bukan karena aku terlalu sering menonton film, tapi jujur saja, aku ingin menggantikan posisimu kala itu. Aku ingin kamu sembuh. Aku ingin, aku saja yang sakit. Setidaknya aku bisa meringankan bebanmu walau sedikit.

Tapi lihatlah, kamu menyambut aku dan Kakak dengan senyum manismu. Senyum yang selalu aku suka. Aku memegang tanganmu. Dingin. Lagi-lagi hatiku sakit. Apa kondisimu separah itu? Atau ini hanya perasaanku saja?

Aku bercerita banyak tentang sekolah. Tentang ujian pertamaku tanpa kamu, Ma. Tanpa kamu yang mengawasiku belajar seperti biasa. Kakak pun begitu, dia menceritakan hal serupa. Kenapa kami lakukan itu? Karena kami tak ingin kamu luput dari semua kisah yang kami jalani di sekolah. Bukankah selama ini kamu yang mengajari kami tentang keterbukaan? Saling mendengar dan menasehati. Seperti air dan cangkirnya.

Baca Juga:  Tanah Adat Merupakan Hak Kepemilikan Tertua Yang Sah di Nusantara Menurut Anton Charliyan dan Agustiana dalam Sarasehan Forum Forum S-3

Sore itu, aku pulang dengan perasaan bahagia. Bahagia karena sudah menuntaskan rindu di wajahmu. Meski dua hari kemudian, aku harus menangis sekeras-kerasnya saat mendengar kabar paling kubenci malam itu. Tuhan seperti membolak-balikkan hatiku. Menempatkan bahagia sebelum akhirnya harus merasakan duka.

Ma, lima belas juni itu, masih sangat segar diingatanku. Sampai mati aku tak pernah bisa melupakannya. Aku takkan pernah bisa melupakan masa-masa paling sulit dalam hidupku. Di depan tubuhmu yang mulai kaku, aku berdoa banyak-banyak, semoga Tuhan menempatkanmu di tempat paling indah yang Dia punya. Aku terus menatap wajahmu, berharap kamu membuka mata dan menghentikan lelucon gila ini. Aku berharap bahwa semuanya hanya mimpi buruk.

Tapi berjam-jam lamanya aku memandangmu, kamu tak kunjung bergerak. Kamu tidur dengan tenang diiringi tangis dan doa-doa. Kamu tahu, Ma, banyak hati yang terluka sebab kepergianmu. Aku, Ayah, Kakak, dan si bungsu jagoan kita yang masih berusia 7 tahun saat itu. Dia sampai demam dan hanya tertidur dipangkuan Bibi.

Aku tahu, dia belum paham tentang arti kehilangan. Dia belum paham mengapa semua orang menangis. Dia belum paham mengapa kamu tidak kunjung bangun. Yang dia tahu cuma satu, kamu sudah pergi jauh. Sangat jauh. Itu yang kami sampaikan padanya.

Kepada perempuan yang senyumnya selalu aku rindukan, (Baca juga: Amak)

Aku hampir menjerit ketika mereka menyuruhku menciummu untuk yang terakhir kalinya. Sebelum keranda itu membawamu menuju tanah pekuburan. Aku menciummu dengan perasaan yang berdarah-darah, Ma. Aku menangis sejadi-jadinya. Sakit ini tak bisa lagi aku palsukan. Bahkan ketika menuliskan ini, air mataku pun tak kunjung berhenti.

Saat itu aku berpikir, bagaimana aku tanpa kamu. Bagaimana kehidupanku selanjutnya jika tak ada kamu. Bagaimana, Ma? Aku bahkan tak ingin mereka membawamu dengan keranda hijau itu. Etek memeluk tubuhku yang bergetar hebat saat itu. Tangisku pecah di dadanya. Sekuat apa pun hatiku berontak, mereka akan tetap membawamu.

Tiba-tiba semua kenangan selama kamu di rumah sakit terlempar ke luar dari kepalaku. Tentang bagaimana aku dan Kakak untuk pertama kalinya memasak. Sebenarnya aku ingin menceritakannya padamu, Ma. Nanti, setelah kamu sehat. Aku akan menceritakannya seperti semua kejadian yang pernah aku lewati sebelumnya. Duduk di teras sambil menikmati teh hangat, lalu kita bercerita tentang apa saja yang kita lewati hari itu. kita berlima, Ma; Ayah, kamu, aku, kakak, dan si bungsu kita.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Tapi sekarang berbeda, tidak ada lagi kesempatanku untuk menceritakannya padamu. Kamu tidak akan tahu cerita bagaimana takutnya kami saat berhadapan dengan kompor dan minyak goreng. Kamu tidak akan tahu cerita bagaimana rasa masakan yang kami ciptakan. Sampai saat ini, cerita itu masih kusimpan rapat seorang diri. Hanya akan kusampaikan, jika nanti tiba saatku menemuimu.

Kepada perempuan yang suka mengecup keningku,

Aku mengantarmu sampai pada peristirahatanmu yang terakhir. Saat papan dan tanah gembur itu menutup tubuhmu pelan-pelan. Hanya doa yang bisa kurapalkan saat itu, Ma. Bukan lagi tangisan histeris yang memintamu tetap di sini. Jika saja kamu tahu, aku hancur oleh takdir-Nya. Aku remuk oleh kenyataan pahit ini. Bahkan aku tidak bisa berpikir jernih. Aku ingin ikut kamu, Ma. Aku ingin terus dekat denganmu.

Dengan tatapan mata yang sendu, aku coba menembus kamu yang ada di balik tanah itu. Aku menangis lagi dalam batin yang tersayat-sayat. Bahagiakah kamu kini tidur dalam pelukan Tuhan, Ma? Atau kamu merasa sunyi terpisahkan dari semua kenangan indah dalam kehidupanmu kemarin?

Dimana kamu sekarang berada, Ma? Dimana Dia meletakkanmu? Kita sudah terpisah jarak jutaan kilometer, entah di mana itu. Aku bahkan tak bisa menebak di mana Dia menyembunyikanmu saat ini. Padahal kemarin-kemarin kita masih tersenyum bersama, masih menghabiskan waktu berdua.

Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat agar tubuhku tidak jadi meledak. Tubuhku bergetar hebat menahan tangis dan kepedihan yang sulit kugambarkan. Berat sekali kakiku terangkat meninggalkan kamu itu di tanah pekuburan yang terasa sunyi itu. Tuhan, kirimkan malaikat-malaikat untuk menjaga tidurnya. Berilah dia kebahagiaan yang belum pernah diterimanya di dunia ini. Lewat tirai air mata, aku merasakan keheningan yang teramat menyayat di udara. Ingin rasanya aku berlari kembali ke kuburan baru itu untuk menemanimu, Ma. Tetapi seperti ada yang menahan kakiku untuk tak berbuat seperti itu, aku mencoba ikhlas dan menerima segala takdir yang telah digariskan-Nya.

 

Nanda Dyani Amilla

*Cerpenis si Gadis Hujan, adalah Mahasiswi FKIP UMSU, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis novel “Kejebak Friendzone”, Bentang Pustaka, 2017.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 3,176