Berita UtamaEkonomiPolitik

Mewaspadai Agsesifitas Investasi Cina

NUSANTARANEWS.CO – Perseteruan AS-Cina akhir-akhir ini telah melahirkan fakta baru tentang pemerintahan negara Tirai Bambu. Fakta yang dimaksud adalah terkait dengan aktifitas perekonomian dan perdagangan di Cina yang menurut AS telah bertindak tidak adil terhadap perusahaan-perusahaan asing. Baru-baru ini, American Chamber of Commerce merilis survei tahunan yang menemukan bahwa empat atau lima perusahaan AS merasa kurang diterima di negara Tirai Bambu.

Bahkan, penasihat Trump, Anthony Scaramucci dengan tegas mengatakan bahwa Cina tak memiliki aturan jelas terkait dengan bisnis dan investasi. Aturan yang diadopsi dan ditafsirkan untuk mendukung perusahaan lokal daripada asing. Cetus Scaramucci pada satu kesempatan.

Lebih keras lagi, Trump dalam kesempatan kampanyenya sempat berucap akan menggunakan pendekatan proteksionis dalam menyikapi perdagangan dengan Cina. Stetmen Trump segera mendapat respon Cina.

Secara tersirat, terutama di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Xi Jinping menyindir Trump sebagai pemimpin yang mendukung proteksionisme. Retorika Xi, krisis keuangan sebetulnya lebih disebabkan oleh aksi saling mengejar keuntungan yang berlebihan. Apabila itu terus berlangsung akan menciptakan perang dagang.

Baca Juga:  Ketua PWI Pamekasan Menyebut Wartawan Harus Memiliki 5 Sifat Kenabian

Sedikit flashback, mesti diingat bahwa Presiden Cina  Xi Jinping pada 2013 mencanangkan The Silk Road Economic Belt and the 21st-century Maritime Silk Road. Sebuah tujuan ambisius untuk menciptakan koridor ekonomi skala global yang membentang lebih dari 60 negara. Misinya jelas, yakni mengintegrasikan negara-negara Asia, Eropa, dan juga Afrika. Baik darat maupun laut yang masuk dalam skema Jalur Sutra Baru Abad 21. Yakni menggabungkan seluruh negara-negara sepanjang Jalur Sutra ke dalam Imperium Cina Baru.

Dalam hal ini, Cina sangat berkepentingan untuk merangkul sedikitnya 60 negara di dunia guna memuluskan perdagangannya. Dengan tujuan ingin membantu negara lain dengan membangun basis industri.

Itu sebabnya mengapa, Cina memindahkan kegiatan produksinya ke luar negeri. Bahkan, berulang kali Xi menyatakan bahwa di abad 21 tidak ada negara yang bisa tumbuh sendirian.

Oleh karena itu, Cina kemudian mengambil inisiatif One Belt One Road sebagai sebuah skema untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi regional, secara terintegrasi, dalam cakupan wilayah yang lebih luas. Mantan Wakil Menteri Luar Negeri Cina He Yafei juga menambahkan bahwa skema Belt and Road Initiative berbeda dengan skema perdagangan bebas, terutama dalam soal integrasi ekonominya.

Baca Juga:  Mobilisasi Ekonomi Tinggi, Agung Mulyono: Dukung Pembangunan MRT di Surabaya

Koneksitas dalam Belt and Road Initiative meliputi 5 hal, yakni konsultasi kebijakan, konektivitas infrastruktur, perdagangan bebas, sirkulasi mata uang lokal, dan hubungan people-to-people. Rencana Cina ini juga ditegaskannya di pertemuan WEF di Davos, Swiss pada 17-20 Januari lalu.

Membawa gagasan globalisasi inklusif, Xi sukses membius sedikitnya 3.000 peserta yang terdiri dari pemimpin negara-negara di dunia, pebisnis dan cendikiawan. Termasuk pendiri WEF sendiri, Klaus Martin Schwab.

Melihat sepak terjang Cina yang sangat ambisius dan agresif ini, wajar kalau akademisi Jepang Masako Kuranishi mengingatkan agar berhati-hati terhadap gerakan Cina, terutama di Asia, dan tentunya di Indonesia. Sebab, Indonesia dinilai Cina memiliki posisi yang sangat strategis terutama dalam skema pembangunan Jalur Sutra Maritim Abad ke-21, baik secara geografi, demografi maupun geopolitik.

Selain itu, dalam 5 tahun ke depan, investasi Cina ke luar negeri akan mencapai US$1,25 triliun. Laporan Tempo dari Badan Koordinasi Penanaman Modal mencatat nilai investasi Cina di Indonesia mencapai US$1,6 miliar hingga pada triwulan III-2016. Dengan rincian, hingga triwulan ketiga 2016, penanaman modal tertinggi ada di Provinsi Jawa Barat dengan nilai investasi sebesar Rp82 triliun. Sementara di Jawa Timur sebesar Rp60 triliun, Banten Rp43 triliun dan DKI Jakarta sebanyak Rp42 triliun.

Baca Juga:  Wabup Nunukan Hadiri Rembug Stunting dan Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrim

Tak menutup kemungkinan investasi Cina di Indonesia terus bertambah. Pasalnya, Cina merupakan partner dagang utama Indonesia dan motor pertumbuhan ekonomi global. (Sego/Er)

Related Posts

1 of 468