Opini

Menyoal Delik Penistaan Agama

Para Peserta Wanita Aksi Massa 4 November melaksanakan shalat dhuhur berjamaah di taman monas. Foto Andika/Nusantaranews
Para Peserta Wanita Aksi Massa 4 November melaksanakan shalat dhuhur berjamaah di taman monas. Foto Andika/Nusantaranews

Oleh: Khairil Akbar

NUSANTARANEWS.CO – Tulisan ini ditujukan untuk merespon dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur petahana, Basuki Tjahya Purnama alias Ahok. Dugaan penistaan agama itu hingga kini masih terus menjadi perbincangan hangat. Pada 4 November lalu, ratusan ribu partisipan aksi damai berhamburan di ibu kota Indonesia, Jakarta. Berbagai kalangan, kepentingan, dan asal daerah bersatu dalam aksi itu untuk menuntut tegaknya keadilan berupa perlakuan yang sama di hadapan hukum (equality before the law) yang merupakan ciri utama dari negara hukum. Prinsip equality ini merupakan hak warga negara yang dijamin oleh UUD 1945 (Pasal 27 Ayat 1 dan 28 D Ayat 1 UUD 45). Masalah inilah yang sejak dulu menjadi gejolak dalam penegakan hukum di Indonesia. Ada kesan bahwa hukum tajam ke bawah dan tumpul jika diterapkan ke atas.

Jika ditelisik lebih jauh ke belakang, landasan sejarah (historis) pengaturan delik penistaan agama berpangkal dari berbagai kegiatan yang mengatasnamakan agama teretntu. Adalah perseteruan NU vs PKI yang menjadi sebab langsung lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Religia, 2010). Terlepas dari itu, aturan ini diharapkan mampu menjaga keharmonisan, kerukunan, serta mencegah terjadinya upaya menyalahgunakan agama atau penistaan terhadap agama-agama di Indonesia (bukan hanya Islam). Meski demikian, maksud ini disinyalir malah mengamputasi kebebasan beragama atau meyakini ajaran tertentu oleh sebagian orang hingga upaya uji materil UU a quopun dilakukan. Tetapi, lewat putusan MK upaya juducial review yang dilakukan pihak tersebut tidak diterima.

Selain faktor sejarah, alasan terkuat dilegislasinya UU Nomor 1 Tahun 1965 tak lain karena Indonesia merupakan negara yang berasaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Landasan filosofis negara ini menjadi bukti bahwa Indonesia bukanlah negara sekuler. Pembukaan UUD 1945 bahkan menyebutkan bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan berkat, rahmat, atau karunia dari Allah Yang Maha Kuasa. Meski tidak dapat disebut sebagai negara agama, namun Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan yang dianut oleh agama-agama yang ada. Itu sebabnya, menghina agama sama saja dengan menghina Pancasila, menghina Indonesia, dan menciderai kebhinnekaan. Atas dasar inilah penistaan agama mesti dianggap sebagai perbuatan terlarang. Delik penistaan agama inipun akhirnya diatur sebagai delik umum dan hanya dilarang di beberapa negara saja (particular crime), termasuk Indonesia.

Baca Juga:  Catatan Kritis terhadap Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024

Lantas timbul pertanyaan, ucapan atau perbuatan seperti apakah yang dikategorikan sebagai delik penistaan agama? Pertanyaan demikian mestilah dijawab dengan melihat unsur-unsur yang ada di dalam rumusan pasal. Untuk rumusan dalam pasal 1 UU Nomor 1 tahun 1965, penistaan agama itu meliputi: menceritakan, menganjurkan dan mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari pokok-pokok ajaran agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu. Perbuatan demikian mestilah dilakukan dengan sengaja dan di depan umum.

Larangan di atas tidak perlu penafsiran terhadap unsur-unsurnya. Ketika didapatkan ada orang atau organisasi yang melakukan perbuatan sebagaimana diatur dalam pasal di atas, maka orang tersebut akan diberi peringatan keras melalui suatu keputusan bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Mendagri. Jika dilakukan oleh organisasi/aliran maka Presiden akan membubarkan organisasi/aliran dan menyatakannya sebagai organisasi/aliran terlarang. Terakhir, jika tetap penistaan itu dilakukan maka orang atau anggota organisasi/aliran yang sudah diperingati/dibubarkan tadi dapat dijerat dengan pidana selama-lamnya lima tahun penjara (Pasal 2 dan 3 UU Nomor 1 Tahun 1965).

Baca Juga:  Rezim Kiev Terus Mempromosikan Teror Nuklir

Delik penistaan agama ternyata tidak hanya diatur dalam UU di atas. Pasal 4 UU dimaksud menyebutkan bahwa pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru. Pasal baru itu kini menjadi Pasal 156 a KUHP. Kiranya pasal inilah yang kerap menuai kontroversi. Masalahnya, kata “penodaan terhadap suatu agama” dalam pasal tersebut diperlukan penafsiran terhadap unsurnya, tidak seperti rumusan delik di atas. Apa tolak ukur atau kriteria penodaan agama itu? Jika dikaitkan dengan kasus Ahok di atas, apakah ucapan Ahok tergolong dalam penodaan terhadap agama? Sejauh ini, belum ada standar tertentu untuk menentukan apakah ucapan/perbuatan orang dikategorikan sebagai penodaan agama atau bukan. Untuk itu, perlu dicermati beberapa kasus yang pernah diputuskan (jurisprudance) oleh Hakim perkaranya sebagai acuan.

Ada begitu banyak kasus penistaan agama yang kemudian menghantarkan pelakunya ke Lembaga Pemasyarakatan (penjara). Misalnya kasus Rusgiana, seorang ibu rumah tangga yang menyebutkan bahwa Tuhan tidak bisa datang ke rumah Ni Ketut karena canang (tempat sesaji untuk upacara agama Hindu) di depan rumah Ni Ketut kotor (detik.com 31/10/2013). Selain itu, Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) yang menafsirkan ayat suci bertentangan dengan akidah pokok umat Islam, tidak mewajibkan ibadah pengikutnya, serta menjadikan penokohan Musaddeq sebagai juru selamat setelah nabi Muhammad Saw juga sudah dijerat dengan pasal berlapis. Selanjutnya kasus Arswendo Atmowiloto melalui tabloid Monitornya yang menempatkan Muhammad di nomor 11 dalam jajak pendapat tokoh pembaca pun membuatnya harus dibui lima tahun penjara (Republika.co.id 18/10/2016).

Beberapa kasus di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan-perbuatan mereka berbeda-beda satu sama lainnya. Namun, perbedaan itu dianggap sama dalam hal menistakan/menoda agama. Dari situ muncul pemahaman berikutnya bahwa menista atau tidaknya amat tergantung dari pandangan keagamaan umat (perwakilan) yang merasa dihina agamanya. Kebiasaannya, pihak Kepolisian akan menjadikan fatwa Majelis Ulama Indonesia jika yang dinoda adalah agama Islam. Adapun penodaan agama lain, tentu perwakilan atau lembaga yang memiliki otoritas mengeluarkan fatwa atas agama itulah yang dijadikan rujukan oleh penegak (Kepolisian). Keadaan demikian inilah yang kiranya menjadi pembeda antara pencemaraan nama baik (penghinaan) dengan penodaan agama. Pencemaran nama baik amat tergantung pada perasaan individu yang diserang sehingga diatur sebagai delik aduan. Sedangkan penodaan agama, perasaan pemeluk atau umat yang meyakini agama tersebut yang menjadi patokan sehingga diatur sebagai delik umum.

Baca Juga:  Seret Terduga Pelaku Penggelapan Uang UKW PWI ke Ranah Hukum

Pandangan keagamaan (fatwa) tidak serta merta menjadikan seseorang sebagai penista agama atau tidak. Di negara hukum, putusan Hakimlah yang memutuskan bersalah tidaknya seseorang. Pandangan keagamaan itu hanya akan dipertimbangkan jika menjadi alat bukti berupa keterangan ahli (Pasal 184 KUHAP). Dari ulasan di atas, dapat ditarik satu benang merah bahwa bersalah tidaknya Ahok dalam kasus penistaan agama ini amat tergantung pada kekuatan argumentasi (alat bukti) ahli yang ada. Jika ternyata ucapan Ahok dianggap perbuatan pidana, barulah kemudian dicari apakah ada mens rea (maksud atau sifat mengetahui) dalam ucapan Ahok tersebut? Jika ternyata tidak, kita mesti menjunjungtinggi dan menganggap benar putusan Hakim. Demikian doktrin hukumnya. Allahu a’lam bish-shawab. []

*) Penulis Merupakan Mahasiswa Prodi Hukum Pidana pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan Merupakan Aktifis Pemuda Muhammadiyah Aceh.

Related Posts

No Content Available