Politik

Menlu China: AS-China Tak Mungkin Perang

NUSANTARANEWS.CO – Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengingatkan tak ada yang menang bila China dan Amerika Serikat terlibat perang. Pernyataan ini disampaikan Tidak di Canberra, Selasa (7/2/2017) usai bertemu dengan Menteri Luar Negeri Australia, Julia Bishop.

Yi berusaha meredam ketegangan antara China dan AS yang berkobar setelah terpilihnya Donald Trump. Hubungan China-AS memburuk usai terpilihnya Trump menyusul kebijakannya yang dinilai mengancam ekonomi dan perdagangan Negeri Tirai Bambu.

Seperti dilaporkan Reuters, Yi menegaskan China berkomitmen untuk terus menjaga perdamaian.

“Tidak mungkin ada konflik antara China dan Amerika Serikat, karena kedua belah pihak akan sama-sama rugi kalaupun sampai terjadi,” ujar Yi kepada wartawan di ibukota Australia Canberra.

Kendati menegaskan tetap menjaga perdamaian, China terus mendesak para pemimpin dunia untuk menolak proteksionisme yang didukung Trump. Seperti diketahui, sebagai perwujudan dari janji kampanyenya yang bertajuk ‘America First’.

“Penting menegaskan komitmen untuk ekonomi dunia yang terbuka. Hal ini penting untuk mengarahkan globalisasi ekonomi yang inklusif, manfaat bersama yang lebih luas dengan cara yang lebih berkelanjutan,” tambah Yi.

Baca Juga:  Punya Stok Cawagub, PDI Perjuangan Berpeluang Usung Khofifah di Pilgub Jawa Timur

Kebijakan proteksionisme Trump telah membuat China ketar-ketir dan khawatir karena bertolakbelakang dari ambisi Negara Komunis yang ingin menguasai perekonomian dan perdagangan dunia yang tertuang di dalam program Jalur Maritim Sutra dan Satu Sabuk Satu Jalan (OBOR). Bahkan sebelumnya China juga khawatir Australia ikut serta mendukung AS. China khawatir juga produk-produk dan investasinya macet di Australia.

Melihat kekhawatiran yang cukup besar, China mulai berpikir untuk bergabung di Trans-Pacific Partnership (TPP); sebuah perjanjian perdagangan di kawasan Asia Pasifik yang ditinggalkan AS.

“Saya ingin mendorong China untuk mempertimbangkan perjanjian tersebut,” kata Bishop, mengacu pada Trans-Pacific Partnership.

Seperti diketahui, OBOR diumumkan Presiden China Xinhua Jinping pada 2013 silam. China membayangkan investasinya dalam berbagai proyek infrastruktur termasuk kereta api dan jaringan listrik membentang di Barat, Asia Selatan, Afrika dan Eropa.

Sementara Australia memiliki rencana ambisius untuk mengembangkan Wilayah Utara, sebuah wilayah perbatasan dengan infrastruktur yang masih kurang. Upaya Australia ini tersendat akibat kurangnya investasi.

Baca Juga:  Prabowo-Gibran Resmi Menang Pilpres 2024, Gus Fawait: Iklim Demokrasi Indonesia Sudah Dewasa

Reporter: E. Aswandi/Reuters

Related Posts

1 of 32