Budaya / SeniCerpen

Menjenguk Ibu Pejabat

Pengunjung mengamati karya lukisan saat pameran lukisan dan foto bertajuk "Potret Perempuan Jogja" di Bentara Budaya, Yogyakarta, Rabu (3/6) malam. Pameran foto dan lukisan karya belasan warga dari berbagai latar belakang profesi itu mengangkat tentang potret perempuan Yogyakarta dari berbagai sudut pandang. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko
Pengunjung mengamati karya lukisan saat pameran lukisan dan foto bertajuk “Potret Perempuan Jogja” di Bentara Budaya, Yogyakarta, Rabu (3/6) malam. Pameran foto dan lukisan karya belasan warga dari berbagai latar belakang profesi itu mengangkat tentang potret perempuan Yogyakarta dari berbagai sudut pandang. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko

Cerpen: Dee Hwang

Di dalam sebuah rumah mewah kawasan lingkar luar Kabupaten Anu, tepatnya di sebuah kamar utama yang besarnya melebihi halaman tetangganya sendiri, seorang perempuan berbadan buntak bernapas dengan susah payah. Di sebelahnya tempat tidurnya, seorang perawat pribadi belum lagi memasukkan nasal kanula ke dalam cuping hidung pasien itu.

Tangannya gemetaran.

Seorang perawat yang lebih berpengalaman baru saja masuk ke dalam ruangan itu. Ia  menggantang peralatan medis dan obat yang disediakan untuk keperluan injeksi. Beberapa menit sebelumnya, pasiennya ini mengeluh panas dingin. Kalau sudah begini, berdasarkan pula anamnesa yang sudah mereka pegang, bisa jadi, kolesterolnya kumat lagi. Dokter akan datang sebentar lagi, katanya. Seorang gadis muda tersedu-sedu di samping tempat tidur setelah mendengar itu; tiga puluh menit menunggunya berasa seperti setahun saja.

Pukul sepuluh malam kemarin, mamanya terjatuh di kamar mandi. Berita sakit beliau ini sudah sampai ke telinga semua orang. Dari lidah para pembantu, karena tetangga yang penasaran sehingga bertanya ketika melihat sebuah ambulans memasuki pekarangan. Alasannya karena sang pasien menegaskan ingin dirawat jalan saja. Tak peduli apakah ini akan merepotkan tenaga medis perkara bolak-balik memeriksa dan melaporkan hasil labnya, tak peduli apakah proses tersebut menjadikan dokter lamban dalam bergerak sehingga pasiennya ini semakin lama dipeluk rasa sakit. Pokoknya, mau di rumah saja.

Perawat yang lebih berpengalaman menepis lengan rekannya yang muda tadi. “Tak becus! Dokter akan datang sebentar lagi! Mau dipenjara karena lain hal?” bisiknya. Macam sadar diri, Perawat yang ditegur melangkah mundur. Akhirnya, agar kelihatan ikut sibuk pula, ia menata peralatan yang dibawa perawat senior barusan. Sambil memasang selang, lalu menggantung botol infus pada standarnya, ia ngeri sekaligus berdewah sendiri. Di dalam kepalanya, ia takut menyentuh badan istri pejabat itu. Di dalam kepalanya, ia juga menakar-nakar ukuran kamar ini dengan kamar tidurnya yang satu persekian kali lipatnya.

Baca Juga:  Tanah Adat Merupakan Hak Kepemilikan Tertua Yang Sah di Nusantara Menurut Anton Charliyan dan Agustiana dalam Sarasehan Forum Forum S-3

Gadis muda itu masih menangisi ibunya. Perempuan buntak itu masih berbaring di ranjang lebar sambil mengigau-ngigau; anak pertama yang berada di luar pulau untuk bekerja, beserta suaminya yang masih tugas di provinsi disebut-sebut. Entah apakah ia benar tak sadar melakukan itu. Karena sesekali, ia akan merabai bagian kepalanya, menutupi uban dengan selembar kain Pashmina premium. Ia tak mau umurnya terjangkau mata-mata para penjenguk.

******

Belumlah dokter pribadi mereka sampai, para penjenguk dari berbagai instansi pemerintahan sudah datang duluan. Mobil pribadi mereka memasuki halaman rumah, dan diparkirkan dengan barisan yang rapi. Kalau bukan karena yang dijenguk tersebut adalah istri dari orang nomor satu di kabupaten ini, tak sudi mereka mencuci kendaraan, sampai menebalkan parfum mereka sendiri sebelumnya.

Seorang perempuan setengah baya mempersilahkan mereka masuk. Ketika para penjenguk yang berbalut aroma mahal itu menyerahkan parsel buah, asisten rumah tangga itu santun menyambut, kemudian menjejerkannya di sebuah meja ukiran jepara yang bersahaja agar cantik terlihat. Kemudian, dibimbingnya para penjenguk itu ke kamar tuannya. Para suami memutuskan menunggu di ruang tamu. Para istri yang sudah masuk ke kamar, memilih duduk di sofa kamar dekat jendela. Ada yang duduk di tepi tempat tidur, ada yang terpaksa memenuhi ambal yang baru dibeli ketika istri pejabat itu pulang dari naik haji. Wajah mereka iba—atau entah dibuat iba—karena sedikit yang berinisiatif menenangkan si gadis muda, yang sudah pindah ke kamar entah.

Mereka bertanya pada perawat tentang kondisi si pasien. Namun usai beberapa penjelasan, kepala mereka seperti baru saja dihentamkan ke dinding kamar. Amnesia itu membuat mereka mengalihkan pandangan dan membicarakan hal lain. Kamar yang tadinya hening jadi ramai macam di pasar ayam. Melihat mereka bergerombol begitu, kau akan sepakat denganku. Bahwa mereka bukan pembelinya, melainkan ayam-ayam itu sendiri.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Dibalik senyum, cium pipi kanan kiri penuh bedak adalah yang diatasnamakan sebagai salam pertemuan karena sudah lama tak bertemu. Kemudian, mereka mematuki cerita apapun yang dilontarkan. Bergantian, satu demi satu mulut tak mau kalah menyaingi. Misal, ketika seseorang melemparkan cerita bahwa ia baru pulang dari kota anu, yang lain menyahut dengan oleh-oleh apa yang sudah mereka beli ketika berlibur di kota sekian. Atau, bisa pula tentang anaknya yang akan melamar ke sebuah instansi pemerintahan, mereka bergantian pamer sanak famili—ada yang punya keluarga sudah jadi kepala di kabupaten sebelah, ada yang punya besan yang pegang kendali di kabupaten mereka, sampai, ada yang bayar seratus juta saja kepada si anu sehingga anaknya bisa menjadi pegawai tetap kini.

Salam terucap dari depan pintu. Kali ini, gerombolan ibu-ibu arisan kompleks masuk ke dalam rumah. Jumlah mereka belasan. Bila ditambah dengan penjenguk yang sebelumnya, bisa mencapai puluhan. Untung asisten rumah tangga di sana tidak hanya satu, sehingga yang paling baya tadi tidak kebagian tugas membuatkan minuman. Tugasnya tetap sama sedari awal. Berdiri di depan pintu, menerima penjenguk atau menerima bawaannya. Misalnya, seperti amplop-amplop putih yang dimasukkan ke dalam fish bowl. Bila parsel buah tadi bersaing dengan ukuran sangkarnya, maka amplop-amplop itu bersaing dengan isi dan nama yang sengaja ditulis di sana.

Boleh dibilang, mereka seperti peserta pawai tujuh belasan. Pakaian mereka yang bermacam menunjukkan urutan sosial. Yang paling bagus berjalan di depan, yang biasa di tengah, yang lusuh malu sendiri, tak mengapa mengekor di belakang. Ketika sampai di kamar si sakit, para ibu yang berjalan paling depan, heboh. Mereka kenal beberapa bini pejabat yang sudah duluan datang. Kehebohan itu, disadari mereka, tidak lain tidak bukan untuk menaikkan status pergaulan saja.

Di kamar itu, beberapa bini pejabat yang mulai merasa asing memilih undur diri. Ucapan semoga lekas sembuh tak bisa disampaikan karena si sakit malah terlelap. Penjenguk yang sudah baur tadi melepas kepergian mereka hanya dengan salam. Ibu-ibu arisan, terutama, menunjukkan wajah cerah ketika minuman kaleng untuk tetamu dihantarkan. Macam kompak, ada yang mengantungi minuman-minuman kaleng itu ke dalam kantung baju, bahkan dibawa tangan saja. Katanya, dalam tawa-tawa yang sok akrab padahal bertemu paling dua tahun sekali, itu oleh-oleh buat anaknya di rumah.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Lima orang penjenguk lain, yang sudah sampai lebih dulu tadi pagi dan tergusur dari kamar ketika para perawat memeriksa pasiennya, sekaligus para penjenguk yang bejibun dalam hitungan menit, sedang duduk di ruang tengah. Mereka celingak-celinguk memandangi kesibukan tanpa mendapatkan salaman tangan. Mereka tidak bisa masuk ke kamar, dan tak bisa pulang lewat halaman belakang karena terlanjur melepas sendal di pintu depan. Mereka menyesal untuk hal satu ini. Kini mereka kentara sekali sebagai orang udik, karena tidak ada satu pun dari penjenguk lain yang melepas alas kaki selain mereka.

Kelompok penjenguk ini berasal dari dusun, yang kalau ditempuh perjalanannya dengan mobil butuh waktu lebih dari dua jam. Merekalah kerabat dekat bini pejabat itu, yang datang menjenguk karena mendengar pebibiannya jatuh dari kamar mandi kemarin malam. Hanya seorang asisten rumah tangga yang menyadari keberadaan mereka, sehingga ia datang menyajikan minuman kepada mereka berlima. Sebenarnya, mereka cuma memiliki satu harapan yang sama—semoga tuan rumah tidak lupa memberikan mereka makan siang.

******

Profil Penulis: Dee Hwang, Kelahiran 9 September 1991. Lulusan FKIP Biologi Universitas Sriwijaya. Saat ini aktif menekuni dunia musik sebagai Violinist di SAMS Chamber Orchestra Jogjakarta.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 3,175