Budaya / SeniCerpen

Menjelang Tiba Ujung Senja – Cerpen Luhur Satya Pambudi

NUSANTARANEWS.CO – “Sepertinya saya perlu mengatakan apa kata teman-teman tadi,” ujar Didik, sopir mobil dinasku, sepulang kami dari rapat kerja yang kuikuti di kantor Gubernur.

“Memangnya apa yang mereka bilang tentang saya, Pak Didik?” tanyaku.

“Mereka bilang, Ibu tidak seperti para pejabat yang lain.”

“Pejabat yang lain seperti apa, sih?” kataku dengan tersenyum.

“Para atasan teman-teman saya itu berbeda sekali dengan Ibu. Mereka rata-rata punya rumah mewah, sekian tahun sekali mobilnya ganti baru, lantas kadang jalan-jalan ke luar negeri.”

“Lalu apa kata Pak Didik menanggapi mereka?”

“Sama saja dengan waktu itu, Bu. Saya jawab, ya seperti Ibu itulah mestinya seorang pejabat. Tidak aji mumpung ketika berkuasa dan tetap hidup sederhana saja. Bukankah yang terpenting adalah hasil kerjanya?”

Aku senang masih ada orang seperti Didik yang sependapat dengan prinsip hidupku, bahwa menjadi pejabat itu tidak otomatis kaya raya. Aku pun merasa beruntung memiliki anak-anak yang tidak pernah menyusahkanku, terutama sejak ayah mereka wafat belasan tahun silam. Memang tak mudah awalnya, mesti menjalani hidup tanpa belahan jiwa di sisi. Dengan gajiku sebagai pegawai negeri dan uang pensiun mendiang suamiku belaka, syukurlah bahwa kami dapat hidup layak selama ini. Anak sulungku telah menikah dan memiliki anak. Dua orang adiknya kini telah hidup mandiri seusai lulus kuliah. Tinggal anak bungsuku yang masih mengerjakan skripsinya, kuharap ia dapat lekas mengikuti jejak kakak-kakaknya.

Ketika pertama kali menjadi pegawai negeri lebih dari tiga puluh tahun lalu, aku tak pernah mengira jenjang karierku sampai setinggi kini, menjadi kepala sebuah instansi pemerintahan tingkat provinsi. Teringatku saat pertama kali diangkat menjadi kepala kantor tingkat kota, baru dua pekan berselang suamiku padam nyawa. Aku berusaha berdiri tegar, namun tak mampu kubendung air mata yang tumpah, ketika  kuucapkan sumpah di depan khalayak. Malu nian rasanya, namun sebatas dapat kuhapus basah wajahku sehabis itu. Bayangkan saja, justru pada hari yang sangat penting dalam riwayat pekerjaanku, tiada seorang pun yang mendampingiku. Semua anakku sedang kuliah dan bersekolah, tak mau kuusik mereka, sehingga tiada yang menemani ibunya. Semata-mata diriku yang sendirian kala Walikota dan pejabat lainnya menyalami kami yang baru dilantik. Kebetulan aku pun satu-satunya perempuan, sementara teman-temanku bersama istrinya masing-masing.

***

Sebuah kebijakan negara yang baru akan segera diberlakukan. Otonomi daerah membuat sebagian kantor mesti digabung atau bahkan dilikuidasi. Maka sejumlah pejabat mau tidak mau akan kehilangan posisinya. Aku mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Sekiranya tak lagi menduduki jabatan, aku berencana meminta pensiun saja. Dengan pangkat dan eselon terakhirku, masa pensiunku sebenarnya masih tersisa dua tahun. Namun aku bersedia berhenti lebih dini. Waktuku sebagai abdi negara rasanya sudah maksimal dan tiba masanya beristirahat.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Rangkaian proses seleksi dilakukan oleh Gubernur yang dibantu sebuah tim khusus terhadap semua kepala instansi, termasuk diriku.  Kujalani proses itu semampunya dan tak akan mengelak untuk menerima apa pun hasilnya. Selama menanti hasil seleksi, kujalankan tugas keseharian belaka dan tidak melakukan tindakan tertentu agar tetap menduduki jabatanku. Namun ternyata tidaklah demikian dengan sejumlah temanku.

“Ibu tidak ingin ke mana-mana?” tanya Didik suatu pagi.

“Selama tidak libur, tentu saya hanya pergi ke kantor. Kok Pak Didik bertanya seperti itu?” ucapku yang semula kurang paham maksud pertanyaannya.

“Ada teman-teman Ibu yang secara khusus pergi ke tempat orang pintar atau berziarah ke tempat keramat supaya tetap bisa menjabat. Oh ya, ada pula yang melakukan pendekatan istimewa pada Pak Sekda sebagai orang terdekat Pak Gubernur lho, Bu. Begitulah yang saya dengar dari teman-teman sesama sopir.”

“Untuk apa saya seperti mereka? Memang hal itu bisa memengaruhi keputusan Pak Gubernur, ya? Yang penting, saya berusaha bekerja sebaik mungkin. Selebihnya, saya pasrah pada Tuhan. Jika saya tak lagi jadi pejabat pun bukan masalah. Saya malah mulai berpikir, nanti saya bisa melakukan apa ya setelah pensiun?”

“Menurut saya, Ibu tinggal santai menikmati masa tua saja, jadi bisa bebas momong cucu juga kan, Bu?”

“Oh ya, tentu dengan senang hati saya bisa momong cucu sepuasnya. Menurut Pak Didik, bagaimana jika saya membuka toko kelontong di rumah saja?”

“Waduh, lebih baik tidak, Bu.”

“Memangnya kenapa kalau saya buka toko?”

“Ibu itu orangnya tidak cocok jadi pedagang. Ibu itu orangnya gampang sekali kasihan, kan? Nanti kapan usahanya maju, kalau semua yang mau beli, boleh berhutang atau malah diberi gratis sekalian?”

Aku tersenyum belaka menyimak pendapat Didik. Mungkin memang tidak semua orang memiliki bakat berbisnis, sepertinya diriku salah satunya. Ya sudah, paling tidak aku berkesempatan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya bagi anak-anak dan cucuku semasa pensiun nanti. Sesuatu yang barangkali hanya bisa separuh kujalani ketika aku bekerja menghidupi keluargaku selama puluhan tahun. Sayangnya, tak mungkin lagi kunikmati hidup di masa tua bersama suamiku tercinta.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Sekian pekan berselang, Gubernur telah mengeluarkan keputusan yang signifikan. Namaku ternyata tidak tercantum dalam daftar pejabat baru yang akan dilantik. Artinya, mesti segera kuajukan permohonan pensiun. Anak buahku di kantor merasa terpukul kala kusampaikan keputusan Gubernur tersebut.

“Sudahlah, teman-teman tidak perlu berduka dengan kepergian saya. Memang waktunya kita berpisah sudah tiba. Saya harap teman-teman bisa bekerja sama lebih baik dengan kepala kantor yang baru nanti.”

“Kami hanya merasa waktunya terlalu cepat, Bu. Kami masih perlu banyak bimbingan dari Ibu,” kata Irham, salah satu stafku.

“Benar itu, Bu. Lantas apa sih kesalahan dan kekurangan Ibu, hingga mesti diganti oleh Pak Gubernur?” ujar Sita, sekretarisku, dengan wajah memerah menahan air mata yang akhirnya tumpah jua.

“Pengganti saya nanti pasti akan membimbing kalian lebih baik ketimbang saya, Pak Irham. Yang jelas, pasti ada hal-hal penting yang menjadi pertimbangan Pak Gubernur untuk mengganti saya. Lagi pula yang namanya mutasi itu kan hal biasa, Sita?” ucapku seraya berusaha keras tidak terbawa perasaan.

Bukan sesuatu yang ringan untuk tiba-tiba mesti segera meninggalkan tempat tugasku yang terakhir ini. Aku telanjur lebur dengan suasana yang kondusif beserta orang-orang yang mampu apik bekerja sama denganku. Tentu tetap ada beragam masalah yang kami hadapi saban hari, namun selalu dapat kunikmati saat-saat mendapatkan solusi.

“Jujur saja, saya akan kehilangan seorang pemimpin yang tiada duanya. Ibu adalah satu-satunya atasan saya yang bisa menganggap saya setara sebagai teman bicara,” ujar Didik dengan mata berkaca-kaca, membuat hatiku menjadi semakin trenyuh. Aku berupaya benar tetap tegar dengan mengambil napas panjang, sementara kulihat semua anak buahku tertunduk menahan kesedihan.

“Hari ini saya akan mulai merapikan barang-barang di ruang kerja saya. Dua hari lagi, pejabat baru akan dilantik dan dilanjutkan dengan serah terima jabatan. Saya mohon, kalian persiapkan segala sesuatunya sebaik mungkin,” perintahku yang mungkin juga akan menjadi instruksi terakhirku di tempat yang tak bakal kulupakan begitu saja setelah aku pergi.

Bagiku, jabatan adalah amanah, sebuah kepercayaan besar yang harus senantiasa teguh  dijaga. Namun sedari dulu aku sadar, amanah itu dapat diambil sewaktu-waktu dan momentumnya telah tiba. Dengan sukarela kutanggalkan jabatan, lantas menjalani masa pensiun cukup sebagai ibu rumah tangga biasa. Mungkin dapat diibaratkan, waktu bekerjaku selama ini sebagai masa siang yang panjang dalam sebuah hari. Saat senja telah menjelang, akan segera kulewati jua akhirnya. Memang pasti ada banyak hal yang berubah dan tak sama lagi rasanya. Tapi bukankah selama dunia masih berputar, perubahan pun akan selalu setia menyertainya? Lagi pula hidup tanpa dinamika pasti akan terasa menjemukan sekali.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

***

Ternyata tidak selalu mudah bagi siapa saja untuk bisa menerima kehilangan jabatan secara tiba-tiba. Ada seorang teman yang sebaya denganku memilih pensiun, lantas memanfaatkan hobi memasaknya dengan membuka rumah makan. Ia salah satu contoh bagus bagaimana menanggapi post power syndrome secara positif, kreatif, dan produktif. Namun ada pula temanku yang nasibnya kurang baik setelah dilengserkan. Setelah tersingkir dari jabatannya, ia hanya dijadikan staf biasa di kantornya. Tak selang berapa lama, ia malah jatuh sakit. Konon ia mengalami tekanan batin, apalagi pengganti dirinya kurang menghargai posisinya sebagai pegawai senior. Semakin hari sakitnya kian parah, hingga akhirnya ia tutup usia, hanya sekitar empat bulan sesudah tak lagi menjadi pejabat. Padahal usianya belum cukup tua, sekian tahun di bawahku.

Ada pula temanku yang juga setelah pensiun menjadi tersangka kasus korupsi di instansi yang pernah dipimpinnya. Setahuku, hobinya adalah mengendarai motor besar yang harganya selangit. Menurut Didik, temanku itu memiliki rumah megah dan mengoleksi sejumlah mobil mahal pula. Aku tak paham bagaimana pejabat di daerah bisa sekaya dirinya.

Beruntunglah diriku yang tidak ambisius selama bekerja. Sungguh kusyukuri bisa melewati masa pensiun dengan bersahaja. Menjelang tiba ujung senja kini, aku ingin bahagia belaka menyaksikan anak keturunanku senantiasa diberi-Nya rezeki yang cukup dalam hidupnya, dan menjadi insan berguna sebagai apa pun mereka. Hatiku akan tenang menanti malam tiba, sampai akhirnya menutup mata selamanya.

Luhur Satya Pambudi
Luhur Satya Pambudi

*Luhur Satya Pambudi, lahir di Jakarta dan tinggal di Yogyakarta. Cerpennya pernah dimuat sejumlah media cetak, seperti : Tribun Jabar, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Lampung Post, dan Horison. Kumpulan cerpennya berjudul Perempuan yang Wajahnya Mirip Aku (Pustaka Puitika). Email: [email protected] / HP : 0811286465.

_____________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, dan esai dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 49