Budaya / SeniCerpen

Menguburkan Anjing – Kisah Gus Noy

NUSANTARANEWS.CO – Minggu, kira-kira pukul 16.30, saya menemukan anjing kami tergeletak di halaman depan beranda. Ekor dan telinganya diam. Tidak terlihat gerakan memompa nafas di sekujur perutnya.

Saya mendekati posisi kepalanya. Bola matanya agak terkatup. Tatapannya kosong. Lalu aku berjongkok untuk memeriksa denyut jantungnya di bagian dada. Tubuhnya masih hangat tetapi denyut jantung pada dadanya sudah terasa pelan sekali. Kotoran hitamnya pun belepotan di sekitar ekor dan kaki belakang.

Anjing kami sudah meninggal dunia. Seketika mata saya terasa basah. Ada semacam kehilangan yang serta-merta. Seperti kehilangan anggota keluarga.

Di sisi lain saya merasa bersyukur telah meminta maaf padanya, dua malam kemarin. Waktu itu anjing kami sudah tak berdaya, hanya bisa terbaring. Saya mengelus kepalanya sembari meminta maaf kekasaranku terhadapnya di masa jayanya.

Tentang kepergian anjing kami, kabar ini saya bawa ruang keluarga. Di situ si bungsu sedang menyaksikan acara kartun kesukaannya. Si sulung membantu istri saya di dapur yang berhubungan dengan ruang keluarga .

Spontan istri dan dua anak kami menangis lalu bergegas ke halaman beranda. Tinggal saya yang melangkah ke dapur untuk melihat apa yang dimasak oleh istri saya, dan menggantikannya apabila sedang menggoreng tahu.

“Kalian ambil koran bekas, sana.”

Sayup suara istri saya agak terbata-bata menyuruh anak-anak mengambil koran di ruang tamu. Keduanya berlarian ke ruang tamu dengan isak yang menggesek udara ruangan. Sebentar lalu kembali ke halaman.

Saya berbalik menuju mereka karena, ternyata, istri saya belum memasak apa-apa. Tadi baru sebatas meracik bumbu. Tetapi saya melangkah agak perlahan. Saya mau memberi kesempatan terakhir pada mereka. Pasti mereka yang paling kehilangan dibanding saya, terutama istri saya.

Ya, istri saya paling kehilangan. 12 tahun anjing itu bersama keluarga kami sebelum kami menikah. Sejak anjing itu baru lahir, istri saya yang menunggui proses kelahirannya karena induknya kurang mahir melakukan proses setelah lahir. Intensitas kedekatan antara istri dan anjing itu, tentu saja, semakin jauh lebih banyak dibanding saya yang sering berada di luar rumah karena faktor pekerja.

Hari-hari terakhir anjing kami sedang mengalami sakit dalam yang parah, khususnya pada sistem metabolismanya. Dua kali dokter hewan dipanggil istri saya. Terakhir baru kemarin pagi dan dokter memberikan dua pilihan : dirawat-inapkan di rumah sakit khusus hewan ataukah disuntik mati saja. Peluang hidupnya tinggal sedikit hari, vonis dokter hewan.

Kepergian ini, meski direlakan oleh istri saya, tetaplah tidak kuasa menahan air mata dan duka yang dalam. Tidak ketinggalan kedua anak kami, yang sering bermain dengan anjing itu, atau selalu membagikan makanan mereka, termasuk buah-buahan.

Dari ruang tamu dengan jendela kaca bergorden agak transparan itu saya melihat kesibukan mereka. Si sulung menyiapkan alas koran yang baru. Istri saya menggendong tubuh lemah anjing kami. Si bungsu membuang lembar koran lama–yang penuh kotoran anjing kami–ke tempat sampah. Ketiganya tetap terisak dan mata mulai membengkak.

Sesampai di ambang pintu depan saya berhenti dan berdiri saja. Saya hanya ingin melihat kesibukan mereka memberi pelayanan terakhir untuk anjing kami. Sementara air mata seakan tidak bisa tertanggulangi oleh mata mereka. Basah kuyub seluruh pipi. Tempat tisu pun sudah beralih dari ruang tamu ke beranda.

Saya tidak tahan. Saya berbalik ke belakang, menuju gudang untuk mengambil linggis, sekop, tali rafia, dan lain-lain.

***

Saya menggali tanah di halaman depan samping kanan untuk peristirahatan terakhir anjing kami. Linggis adalah alat yang tepat karena di bagian itu tertimbun puing pembangunan rumah kami. Tentunya ada batu, pecahan tegel, dan benda-benda keras lainnya.

Posisi menggali saya menyamping dari arah hadap mereka. Sesekali penglihatan saya bisa menangkap gerakan istri dan kedua anak kami yang sedang menghadap mayat anjing kami yang sudah tertutup lembaran koran. Ujung kaki-kaki dan ekornya masih terlihat. Tadi, kata si sulung, biarkan saja supaya angin bisa membawa jiwa anjing kami pergi dengan leluasa.

“Mumpung masih hangat,” kata saya seraya tetap menggali perlahan, “coba keempat kakinya ditekuk lalu diikat dengan tali rafia itu agar mudah masuk kuburnya.”

“Jangan, Pa!” seru si sulung. Ditimpali adiknya, “Iya, jangan, Pa! Kasihan. Kalau nanti diikat, dia nggak bisa lari-lari.”

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Aduh, kedua anak kami tidak mengerti bahwa itu berarti aku harus menambah luasnya.

Istri saya bergeming. Air mata masih membanjir. Isak masih menggesek udara di telinga saya. Seperti kehilangan seorang anak yang pernah diasuhnya. Masa-masa sakit adalah masa merepotkan istri saya. Menyuap hingga memapah anjing kami untuk buang air besar.

Ah, terlalu dalam duka itu, pikir saya lalu kembali berkonsentrasi dalam penggalian. Linggis saya berkali-kali membentur batu-batu, puing-puing tegel, paku 3 inchi yang karat, pecahan genteng beton, botol kecil, dan lain-lain.

***

Mungkin sudah lebih satu jam. Sinar matahari telah terhalangi oleh rindang pohon sawo tetangga. Burung-burung walet sudah riuh, dan terbang menuju hotel prodeo mereka.

Saya masih menggali dengan khusyuk. Saya ingin memberikan tempat peristirahatan terakhir anjing kami dengan sebaik-baiknya dan tubuhnya tetap berposisi semula jika nanti berada di situ. Biarlan kepergiannya mendapat perhatian saya untuk terakhir kali.

“Pa, kami mau ke minimarket, beli garam dan susu,” pamit istri saya.

“Ya.” Saya tidak menoleh karena tetap menggali dan berhati-hati.

Dengan motor bebek, istri dan kedua anak kami berangkat setelah si sulung menutup pintu gerbang besi. Saya harus menyelesaikan penggaliannya. Luas bidang tergali sekitar 30 cm x 70 cm. Kedalamannya kira-kira 30 cm. Saya merasa masih kurang dalam hal luasnya. Sementara kedalamannya, jelas, masih sangat kurang.

“Anjingnya kenapa, Om?” Suara anak kecil sedikit mengejutkan saya.

“Meninggal dunia.” Saya sama sekali tidak menoleh padanya.

“Terus, mau dikuburkan di situ, ya?”

“Iya.”

“Eh, ayo! Cepat! Nanti mereka selesai mainnya!” tegur kawannya.

“Ayo!”

Kemudian mereka pergi dengan berlari. Saya tidak peduli. Saya masih terus menggali dan meluaskan bidangnya. Saya pikir, sebelum matahari tenggelam, liang lahat harus sudah jadi, dan istri serta kedua anak kami harus melihat prosesinya, sebab hujan pun bisa mendadak datang.

Dengan menggunakan tali rafia saya kembali mengukur luasan posisi anjing kami. Dari ujung moncong hingga ekor. Dari punggung hingga ujung kakinya.

Kurang duapuluhan senti, pikir saya sambil mengingat bidang dari sisi kanan dan bawah.

“Anjingnya kenapa, Om?” Tiba-tiba seorang remaja pria menegur saya. Saya pun menoleh ke arahnya. Saya agak khawatir seandainya dia masuk, dan menyita waktu.

“Wafat karena lanjut usia.” Saya bangkit, berpaling padanya, melepaskan tali rafia, dan menanggalkan kaus singlet.

“Tua? Berapa umurnya?”

“Untuk usia anjing, delapanpuluh empat tahun. Untuk usia manusia, duabelas tahun.”

Saya menyampirkan kaus singlet di reranting pohon jambu. Dia berhitung dalam pikirannya.

“Berarti satu tahun umur manusia itu sama dengan tujuh tahun umur anjing, ya, Om?”

“Iya, begitulah.”

“Saya tinggal dulu, Om. Mau ke warung, beli mi. Biasa, Om, jadwal acara olahraga.”

***

Luasan liang lahat sudah pas. Kedalaman masih kurang sekitar 20 cm lagi. Keringat dari ubun-ubun dan dahi meraupi wajah saya. Sebagian tubuh saya pun basah kuyup.

“Pa!” panggil si bungsu dari arah pintu. “Air baru mendidih. Papa mau dibuatkan teh atau kopi?”

“Kopi saja,” sahut saya dengan berdiri dan kedua tangan di pinggang menghadap ke liang lahat dengan yang tinggal membuang sisa bongkahan tanah.

Anjing kami harus masuk rumah abadinya sebelum mendadak hujan dan hari benar-benar gelap. Sebelum terlalu malam, penguburan harus selesai. Besok pagi-pagi saya harus segera berangkat ke tempat bekerja karena Senin adalah hari awal yang padat urusan.

Teng! Teng! Teng! Suara besi pagar diketuk-ketuk menggunakan logam kecil–entah kunci kendaraan, entah kunci rumah.

Aduh, siapa lagi, sih, gumam saya.

Saya menoleh ke arah pintu gerbang pagar. Ada tiga tetangga kami sedang berdiri. Dua bapak-bapak, dan seorang pemuda. Serta-merta saya menyambut mereka.

“Silakan masuk, Bapak-bapak.”

“Maaf, tidak perlu, Pak. Di luar saja. Sebentar saja. Bisa minta waktu Bapak?”

“O, bisa. Ada apa, ya?”

Saya bergegas untuk melayani permintaan Bapak-bapak itu. Saya tidak berpikir soal ketelanjangan bagian atas badan saya. Saya buka pintu gerbang, lalu bergabung dengan mereka.

“Apakah Bapak hendak menguburkan mayat anjing Bapak itu?”

“Iya.”

“Di mana, Pak?”

“Di situ,” jawab saya seraya melongok dari pintu pagar lalu menunjuk liang lahat yang belum selesai saya gali.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

“Maaf, ya, Pak,” ujar si pemuda, “mayat seekor anjing tidak pantas dikuburkan di daerah kita.”

Saya terkejut. Lho, tidak pantas? Apa-apaan ini?

“Hanya manusia yang boleh dikuburkan,” timpal seorang bapak. “Manusia dari tanah akan kembali ke tanah. Berbeda dengan anjing. Anjing adalah salah satu hewan terkutuk, Pak. Kalau bangkai anjing dikuburkan, sama saja dengan memanusiakan anjing yang terkutuk.”

Aduh, aduh, apa lagi ini, sih, batin saya.

Saya enggan menanggapi. Saya merasa tidak pernah mendengar adanya aturan soal menguburkan anjing, baik melalui siaran televisi lokal maupun koran lokal yang kami langgani.

“Nah, Bapak jangan menjadikan tanah kampung ini terkutuk. Kalau hujan turun, lalu airnya merembes di tanah kuburan anjing Bapak…”

“Dulu, kayaknya, nggak ada soal semacam ini. Mengapa kini berbeda banget, ya?” tanya saya. Di sisi lain saya khawatir karena fenomena dan intimidasi fundamental-radikal nan anakis menjadi dampak.

“Begini, ya, Bapak. Dulu arus informasi tidaklah sepesat kini,” jawab si pemuda. “Generasi masa kini sangat melek teknologi komunikasi-informasi. Dulu tidak pernah ada yang menyebutkan kearifan lokal. Kini, sejak satu dekade terakhir, kearifan lokal sudah membahana. Ternyata, Pak, ya, kearifan lokal justru bersifat darurat-mengikat bagi penduduk setempat. Jadi, Bapak jangan samakan lagi dulu dan kini.”

“Terus, saya harus kemanakan mayat anjing kami?”

“Sebaiknya Bapak buang saja ke aliran sungai besar….”

“Oh, jangan begitu, Orang muda,” potong seorang bapak di sampingnya yang seketika berpaling padanya. “Kalau hujan mendadak turun, sungai meluap, bangkai anjing bisa dihanyutkan arus liar ke rumah saudara kami di sekitar sana. Sekarang hujan tidak bisa diajak diskusi. Semaunya sendiri.”

“Terus, sebaiknya?” Saya mengalihkan perdebatan kecil mereka.

“Ke laut saja, bereslah, Pak,” sahut bapak yang tadi tidak berkenan jika mayat anjing kami dibuang ke sungai.

“Lho, malah sembarangan Bapak ini,” serobot seorang bapak lainnya. “Kalau bangkainya dimakan ikan-ikan, lalu ikan kena pancing atau jaring nelayan, lalu…”

“Jadi, bagaimana seharusnya, Bapak-bapak?” tanya saya lagi.

“Dibakar. Abunya dilarung ke laut.”

“Jangan begitu juga, Orang muda. Asapnya akan ke mana-mana. Lalu terhirup oleh penciuman warga. Kalau nanti ada yang kerasukan, bagaimana? Iya kalau hanya kerasukan. Kalau ternyata menyatu dalam paru, dan nafas hidup telah bersekutu dalam diri beberapa warga kita, atau malah anggota keluargamu, bagaimana? Ingat lho, anjing hewan terkutuk.”

Saya menatap wajah mereka satu per satu dengan tingkat kebingungan yang menukik.

“Sebentar… Sebentar…. Mari kita diskusikan dulu. Kita harus bermufakat untuk mendapat kesepakatan bersama. Semuanya demi kerukunan warga kampung kita juga, ‘kan?”

***

Bapak-bapak itu masih berdiskusi di luar pagar. Tidak lupa diselingi dalil-dalil, ilmu biologi dan kimia, dan aneka cerita tentang anjing dan bangkai anjing. Saya kebingungan karena sama sekali tidak mengerti. Tentang anjing adalah hewan terkutuk saja saya tidak mengerti alasannya.

Cakrawala mulai kuning kemerah-merahan. Beberapa nyamuk mulai bergerilya. Lampu jalan sudah menyala. Lampu beranda depan kami pun sudah dinyalakan. Tetapi diskusi belum menemukan sebuah keputusan. Masih berputar pada wacana dan pilihan-pilihan keputusan yang selalu mentah pada dalil, dogma, dan logika masing-masing.

“Maaf, Bapak-bapak,” potong saya. “Saya tinggal dulu. Saya mau mandi. Mungkin aroma keringat saya telah mencampuri diskusi. Nanti saya terima keputusan diskusinya. Bapak-bapak silakan membunyikan pintu gerbang seperti tadi sebagai tanda kuputusan sudah didapat dan disetujui. Saya akan keluar untuk menerima apa pun yang telah diputuskan.”

“Ya, silakan, Pak, silakan,” tanggap bapak yang dua kali menegur pemuda.

Saya beranjak meninggalkan forum dadakan itu, melangkah ke dalam pintu gerbang halaman rumah kami, dan tidak lupa menutup kembali. Ketika langkah saya mendekati mayat anjing kami yang tertutupi lembaran koran, saya berhenti.

Saya pun berjongkok lagi, dan membuka lembar bagian kepala. Saya sentuh saja kepalanya. Sudah dingin. Tentunya tidak perlu ke perutnya, yang pasti tidak ada denyut apa pun.

“Sabar, ya? Ternyata kita tidak mudah mati dan main kubur sendiri. Ada aturan baru rupanya. Sabar, ya?” bisik saya sembari segera menutupnya kembali seperti sediakala.

Dengan langkah agak cepat saya memasuki rumah. Pintu depan langsung saya tutup agar pasukan nyamuk tidak meluaskan area gerilya mereka untuk menyebarkan wabah keresahan. Lampu ruang tamu tetap saya biarkan padam karena ruangan tidak sedang dipergunakan.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Sayup-sayup diskusi tiga orang itu masih bisa menyusup ke ruang tamu. Masing-masing saling menyela. Ada pula yang membawa-bawa judul kitab, buku, dan pendapat para pakar kutukan. Entah apa lagi. Padahal, dalam setiap rapat kampung, mereka cenderung diam. Kalaupun diberi kesempatan berbicara, kalimat awal yang selalu dilontarkan “sama seperti yang telah disampaikan oleh Bapak…”. Tidak ada yang patut dicatat sebagai bagian rumusan.

Saya melangkah cepat dengan mencoba tidak menggunakan pendengaran. Memasuki pintu penghubung ruang tamu-ruang keluarga, saya langsung disongsong istri saya.

“Bagaimana hasil diskusinya?”

“Belum ada keputusan. Mending mandi dulu. Gerah banget,” jawab saya dengan meneruskan langkah ke belakang, yaitu kamar mandi.

Sambil mandi, sebagian pikiran saya masih tertinggal di diskusi dadakan sana. Saya yang tidak pernah mandi dengan durasi waktu lebih 10 menit, kali ini durasi tidak lebih lima menit. Suatu pencapaian yang didesak oleh situasi sedang darurat.

Setelah menaruh handuk di gantungan dekat kamar mandi, saya berjalan biasa menuju ruang keluarga. Saya hanya menunggu hasil keputusan mereka.

“Mereka sudah mengetuk pagar, belum?” tanya saya pada istri saya yang sedang menggoreng ikan.

“Belum kedengaran. Mending makan dulu, ah. Siapa tahu, selesai makan, keputusan sudah ada. Tapi lauk belum matang. Sayur, apalagi. Anak-anak sudah makan. Eh, terus, bagaimana?”

Saya mengangkat bahu sambil menuju depan televisi. Jam dinding yang menunjukkan pukul 18.45.Saya mau mengalihkan waktu menunggu dengan menyaksikan siaran televisi.  Tentunya komedi. Lumayan untuk menyingkirkan kebosanan menunggu hasil debat ini-itu, dan ingatan berbalut duka pada anjing kami.

Suara televisi saya kecilkan karena si sulung sedang belajar di kamarnya, dan si bungsu–yang tadi pagi sampai siang puas bermain dengan kawan sebayanya–sudah pulas di ranjangnya.

Saya berusaha untuk tertawa karena siaran komedi sedang lucu-lucunya. Tetapi gagal sebab ada kebimbangan untuk menanggapi kelucuan pada saat situasi sedang tidak lucu sama sekali. Kondisi ini justru semakin menyiksa perasaan saya. Pikiran pun jadi gamang.

Jam dinding di atas televisi menunjukkan pukul 19.15.

“Siap semua santapannya nih.”

“Oke nih!” Saya pun bangkit dari kursi. Tapi saya bergerak ke arah depan, hendak mengintip mereka dari balik gorden. Sedikit rasa jengkel menghasut pikiran saya. Saya mulai tidak sabar. “Tapi sebentar. Ngintip mereka dulu.”

Saya tidak suka makan malam dalam situasi mengambang begitu. kalau memang persoalan kelar, saya ingin segera mengetahui solusi terbaiknya demi hubungan bertetangga.

Saya berjalan memasuki ruang tamu. Dengan agak merapat dinding saya berusaha mendekati jendela depan dengan kembali memasang pendengaran saya semaksimal mungkin.

Tidak ada suara siapa-siapa yang bisa sampai di radius pendengaran saya. Hanya suara televisi yang sedang menayangkan sebuah drama.

Sampai di sisi kanan gorden, saya menguak sedikit. Pantulan lampu beranda yang sampai pada aspal jalan depan rumah sama sekali tidak menampakkan keberadaan tiga pria tadi. Kuakan tepi gorden agak saya lebarkan. Penglihatan saya tambah dayanya.

Lho, mana, gumam saya.

Saya beralih tempat, bergerak ke arah pintu depan. Perlahan-lahan saya buka pintu itu untuk memastikan situasi. Kalau mereka masih ada, ya, tinggal minta hasil keputusannya.

Pintu depan terkuak dengan lebarnya. Saya pun berdiri di ambangnya. Sama sekali tidak ada siapa-siapa. Pandangan segera saya alihkan pada lembaran-lembaran penutup mayat anjing kami.

Di tempat yang terbaring mayat anjing kami dengan penutup berupa lembaran koran tadi sama sekali tidak menampakkan sebuah bentuk sesuatu yang telah menjadi mayat 2,5 jam lampau. Yang ada hanya lembaran-lembaran koran.

*******

Panggung Renung Balikpapan, 2016

 

Gus Noy alias Agustinus Wahyono, lahir-besar di Kampung Sri Pemandang Atas, Sungailiat, Bangka (Babel), bersekolah menengah atas dan kuliah di Yogyakarta, menetap di Balikpapan, Kaltim, dan bekerja sebagai arsitek.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 40