Budaya / SeniPuisi

Menelpon Ibu, Membaca Raut Ayah – Puisi Riduan Hamsyah

SEMUSIM KOPI

Ingatan ini yang selalu menggangguku
tentang
ayah bayangannya menyisa sebagai tunas
raut mendung dan musim
penghujan membahagiakan bebunga junar.

Sebab semusim kopi belum menjawab
kegelisan
hingga nasib diseduh ke dalam cawan aku terus
menjadi pecandu
kisah kisah yang pernah diceritakannya tentang perimba
pemanah ikan kerali di balik napal
atau gemercik air di sungai berbatu.

Biografi kami selalu dikaitkan dengan udara yang dingin dan kabut
biji biji kalender jatuh berguguran.
Aku tak bisa meninggalkanmu sendirian
merenungi kenangan yang pernah kita rencanakan bersama.

Pandeglang, 12 Oktober 2016

MENELPON IBU

Lama tak pulang. Tentunya ia bimbang
memeriksa
setiap percakapan yang lumat
rumah yang masih menyediakan pintu untuk pergi.

Purba benar ingatan kami tentang
jalan bersetapak itu
masih dalam kenang berulang menyisakan hasrat
pulang yang nyangkut di
tiang tiang pelabuhan sementara nisan ayah patah
hari dan tanggalnya berpulang
perlahan mengguncang sejarah kami di bagian paling hulu.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Pada adik, aku pernah minitipkan, agar menulisnya
di sebuah papan. Lalu menanam ulang di pusara.

Walau sebenarnya bukan itu yang ingin lebih jauh lagi
Ia katakan tentang hari hari menua
naluri perempuannya menyimpan denyar yang penyendiri
sementara rasa damai dirindukan semua orang
belum selesai kami utarakan.

Cadasari, 20 November 2016

MEMBACA RAUT AYAH
: pada diri Kang Herman

Kami belum bertemu,
sebab
dunia ini melahirkan anak anak ombak
membatasi pandangan
menabuh denyut jantung pada titik masing masing.

Sebenarnya ayah ingin menceritakan
itu suatu hari
tetapi ia gagal sebab menimang masa silam yang lebam
tentu membakar punggung, memukul biji mata
sebabnya lagi sampai hari ini aku dan saudara saudaraku merawat
baik baik isyarat itu yang nanar pada raut muka
tentang silsilah yang sembunyi.

Maka pada diri Si Sulung kami menemukan lagi
kalimat kalimat gaib. Dan, sejarah menunggu kekata pelakunya.

Cadasari, 20 November 2016

Baca Juga:

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Simak di sini: Puisi Indonesia

Riduan Hamsyah, puisi-puisi telah dipublikasikan sejak tahun 2003 di Majalah Sabili, Harian Lampung Post, Radar Banjarmasin, Harian Media Kalimantan, Harian Satelit News, Dinamika News, Majalah Suluh, Mutiara banten, Cahaya Banten, dll. Dimuat juga dalam sejumlah buku antologi: TANAH PILIH (TSI I JAMBI 2008), 142 PENYAIR NUSANTARA “MENUJU BULAN” (KSSB KALSEL 2007), HUJAN DI SURIANEUN (2007), MEMBACA KARTINI (komunitas Joebawi dan Q Pubhliser 2016), IJE JELA (TIFA NUSANTARA 3 Batola-Kalimantan Selatan 2016), CIMANUK, KINI BURUNG BURUNG TELAH PERGI (Dewan Kesenian Indramayu 2016), DARI NEGERI POCI (DNP) Buku antologi puisinya yang baru saja terbit SEPASANG PUISI (PERAHU LITERA November 2016). saat ini membina sekaligus mendirikan KOMUNITAS SASTRA SILATURAHMI MASYARAKAT LAMPUNG BARAT (KOMSAS SIMALABA). Bekerja sebagai PNS di Dinkes Pandeglang-Banten. Sedang mempersiapkan buku puisi tunggal berbahasa Semende-Sumatera Selatan KITAB TUNGGU TUBANG.

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 124