Puisi

Mencari Jalan Kembali, Di Capitol Hill – Puisi HM. Nasruddin Anshoriy Ch

DI CAPITOL HILL

Jumat yang basah oleh sumpah, aku melihat fajar bergerak secepat cahaya, aku mencatat Amerika berjalan menuju senja.

Goerge Washington telah lama berselimut nisan tanpa kibaran bendera, sedangkan Trump hanyalah mimpi saat dunia tengah tertidur lelap sementara gemuruh bom dan raung sirine mengepung di seantero Syria.

Di Capitol Hill kucatat sejarah yang cacat, saat demokrasi hanya menepuk dada, sementara suku Indian telah diusir dari tumpah darahnya sendiri ke alam baka.

Inikah yang disebut adidaya, yang menerkan siapa saja seperti serigala yang taringnya meneteskan darah sementara cakarnya terus mencari mangsa?

Di Capitol Hill aku menyaksikan harimau sirkus itu sedang mengaum dengan rengek manja tanpa wibawa, sementara di berbagai belahan dunia lain, di Afghanistan dan Irak kutemukan makna kemanusiaan sebatas retorika.

Aku bertanya pada Columbus tentang sebuah Benua yang ditakdirkan menjadi pongah dalam mendikte dunia ketiga.

Amerika yang mengaku paling suci dalam demokrasi, paling hebat dalam siasat dagang senjata, menjadikan perang dan intrik kekuasaan sebagai mata pencahariannya, serta tak malu menepuk dada dan menamakan dirinya kampiun hak asasi manusia.

Di Capitol Hill aku mencium bau bangkai saat ludah Donald Trump menyembur ke cakrawala.

Republik atau Demokrat sama saja, sebab pada ujungnya menebar teror ke seluruh dunia dengan kata-kata paling manis penuh racun berbisa.

Beverly Hills, Wall Street, Las Vegas, Silicon Valley serta lorong-lorong gelap di Harlem, semua hanya topeng berjerawat dan meja judi yang menghalalkan segalanya.

Selamat malam, Amerika! Sepongah apa pun engkau, ajalmu sudah di depan mata.

MENCARI JALAN KEMBALI

Setelah tujuhpuluhtujuh kali jalan mendaki, masih ada sembilanpuluhsembilan tikungan yang harus kulewati untuk sampai pada jalan kembali.

Ada yang terus bergetar dalam dadaku, kenangan paling indah saat mencium tangan Ibu, semerbak harum kemesraan berhamburan dari rindu ke rindu.

Mengucapkan kata pamit pada langit, seketika mataku berkaca-kaca manakala cinta mengantarkan ribuan syahadatku ke taman surga.

Mencari jalan kembali aku tenggelam di laut sunyi.

Jutaan kapal telah bergegas membelah arus gelombang, tapi yang kucari adalah perahu sejati yang layarnya iman dan dayungnya amal ibadahku sendiri.

Kucari palung samudera di kedalaman hati, kupetik kuntum doa dalam taman tadarus kalam Ilahi.

Kenapa aku masih tersesat dalam hutan yang pohon-pohonnya justru kutanam dengan tanganku sendiri?

Kucari jalan kembali lewat rindu di langit dan ombak di laut biru. Telunjukku telah mengisyaratkan arah rumah sejatiku, saat seekor kupu-kupu hinggap pada ujung jari syahadatku.

 

*HM. Nasruddin Anshoriy Ch atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, HB. Jassin, Mochtar Lubis, WS. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dll.

Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.

Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang Dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI. Menjadi konsultan manajemen. Menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy Mizwar.

Sejak tahun 2004 memilih tinggal di puncak gunung yang dikepung oleh hutan jati di kawasan Pegunungan Sewu di Selatan makam Raja-Raja Jawa di Imogiri sebagai Pengasuh Pesan Trend Budaya Ilmu Giri. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi Pembicara Kunci pada World Culture Forum yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.

Related Posts

1 of 125