Puisi

Mencari Daulat Rakyat dari Buckingham ke Wanagama – Puisi HM. Nasruddin Anshoriy Ch

BERTEMU DEBU, MERINDU DERU
Kangen HB. JASSIN

Entah kenapa wajah ini begitu cepat berdebu, sedangkan salon dan pusat kebugaran menjamur di sepanjang jalan. Menderu dalam sesak nafas kehidupan.

Barangkali saja karena Chairil Anwar terlanjur janji untuk hidup seribu tahun lagi, padahal yang kita miliki saat ini hanya selempang semangat yang telah berikrar: tak sudi mati!

Suluh itu telah kau nyalakan bertahun silam. Di ketiak Taman Ismail Marzuki siang itu, kita takbirkan sejuta puisi, saat periuk nasi mulai menagih janji agar lapar tak pernah diingkari. Saat ribuan mimpi dan jati diri saling menunggu untuk didokumentasi.

Hari ini ingin kubuat prasasti, yang kutatah dengan darah hingga membanjir pada tebing hatiku sendiri. Jika kau menyebut ini puisi, maka tak akan kucabut pena ini hingga prasasti ini tegak berdiri.

Dari Gorontalo ke Jakarta, ada jutaan cangkang berjajar di dasar samudera, mengerami jutaan puisi di seluruh lubang pori-pori tubuh kita sendiri.

Engkaulah yang mencatat semua azimat ini pada kitab makrifat. Kitab mantra yang tak lagi ditemukan rajahnya.

Di Taman Ismail Marzuki hari ini, semua kitab makrifat itu seperti telah tamat dibaca ribuan malaikat, seakan mengabarkan bahwa lonceng kiamat telah rindu berdentang dan diam-diam semakin mendekat.

Para malaikat langit bertanya padaku: jika sastra memang sudah tiba pada ajalnya, berapa milyar batu nisan yang engkau butuhkan untuk menandai kubur-kubur puisi ini.

Kalau di Senayan sana akan dibangun perpustakaan paling megah di dunia, lalu kenapa akal budi dan peradaban justru luluh-lantak dan harus dikalahkan? Bagaimana bisa harta karun kebudayaan yang sumbernya mata air kelembutan hati yang menjadi maha karya  sastra itu harus dikubur dan dilupakan? Jika semua ini terjadi, betapa lapuknya harkat kemanusiaan.

Bertemu HB. Jassin di senja ini, sepertinya malam segera mengibarkan bendera hitamnya, dan dalam gulita itu para politikus menggelar pesta untuk tiga berhala: harta, tahta, wanita.

DARI BUCKINGHAM KE WANAGAMA
Kepada Ir. Joko Widodo

Dari Istana Buckingham ke hutan Wanagama, ada semilyar kupu-kupu yang terbang dengan perkasa membawa seuntai bunga melati untuk dikalungkan padamu.

Entah sebagai mahasiswa Gadjah Mada ataukah sebagai Kepala Negara, hanya aku yang tahu. Hanya aku yang akan menyimpan rapat-rapat rahasia aneh ini.

Wanagama adalah hutan rindu, saat sepasang pengantin dari Istana Buckingham menanam pohon cintanya di sini, menjadi jutaan puisi yang tak pernah ingkar janji.

Ketika tangan kokoh Pangeran Charles dan jemari lembut Putri Diana bertemu, tanpa mengucap sepatah kata, hanya bibit pohon itu yang hingga kini menjadi saksi.

Dari Buckingham ke Wanagama, semilyar kupu-kupu mengucap doa, dan dari rimba ini telah lahir seorang raja dengan mahkota bunga kemuning.

Di hutan Wanagama  sejarah perjuangan putra-putri bangsa terus tumbuh, mengakar, membakar, menjadi pohon-pohon cinta yang menghijaukan Ibu Pertiwi.

Dengan hutan selebat ini, maka pemanasan global dan perubahan iklim akan mengangkat tangannya di Wanagama ini, menjadi sendratari para bidadari.

Dari hutan rindu di Wanagama ini, kudengar suara merdu lagu Indonesia Raya bergema hingga ke sudut-sudut dunia.

Bukan dari hutan Amazon atau rimba di Finlandia Revolusi Mental dan Nawa Cita ini mengucap doa, tapi dari bukit gersang yang menjelma hutan rimbun bernama Wanagama.

Hutan adalah peradaban, dan jika masih ada pohon-pohon yang ditumbangkan atas nama keserakahan, maka hutan yang lapuk akan menjadi hutang abadi bagi anak-cucu yang wajib dilunasi.

Jutaan ilmu tumbuh di Wanagama, menjadi partitur kehidupan, mekar bersama nalar, menjelma orkestra kebangsaan.

Padamu negeri kami mengabdi, bagimu negeri jiwa raga kami.

MENCARI DAULAT RAKYAT
Mengenang Adi Sasono

Ada keringat menetes dari keningmu pagi itu, saat Bung Hatta hadir dalam secangkir kopi dan mengajakmu membaca.

Sebelum dan sesudah merdeka, Bung Hatta memang berhati embun. Tak hanya sejuk dan bening, tapi juga mencair saat terbanting.

Sejak saat itu Bung Hatta selalu mengalir dalam urat nadimu, memendar menjadi cakrawala dalam pikiran dan tindakanmu, meneguhkan soko guru pada rekam jejakmu.

Melewati masa yang compang-camping, zaman kalabendu, saat kaum kolonial mengarahkan telunjuknya tepat pada kening kaum pribumi sebagai inlander.

Sejak saat itu engkau baru mengerti, bahwa kemerdekaan tanpa jati diri hanya akan melahirkan bangsa yang tak punya harga diri.

Rakyat akan sekarat jika tanpa daulat, karena itulah daulat rakyat terus kau cari walau esok pagi ada kiamat, atau hingga ajalmu tamat.

Malam ini ada keringat menetes dari keningku, saat mendengar kabar tentang kepergianmu.

Selamat jalan, Saudaraku. Daulat Rakyat akan menjadi soko guru dalam ilmu dan laku.

Gus Nas
Gus Nas

*HM. Nasruddin Anshoriy Ch atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, HB. Jassin, Mochtar Lubis, WS. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dll.

Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.

Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang Dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI. Menjadi konsultan manajemen. Menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy Mizwar.

Sejak tahun 2004 memilih tinggal di puncak gunung yang dikepung oleh hutan jati di kawasan Pegunungan Sewu di Selatan makam Raja-Raja Jawa di Imogiri sebagai Pengasuh Pesan Trend Budaya Ilmu Giri. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi Pembicara Kunci pada World Culture Forum yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.

Related Posts

1 of 125