ArtikelBerita Utama

Menakar Gerakan Politik Ansor

Oleh: Nur Faizin Darain

Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) pada 24 April 2017 genap berusia 83 tahun. Usia yang tidak bisa dibilang muda bagi sebuah organisasi kepemudaan. Di antara organisasi-organisasi kepemudaan sejenis, GP Ansor dapat dikatakan unik. Unik karena GP Ansor adalah badan otonom NU, tetapi memiliki pengaruh signifikan dalam gerakannya.

Keunikan tersebut dapat kita lihat ketika GP Ansor mengadakan pembahasan masalah (bahtsul masail) yang berhubungan dengan kepemimpinan non-muslim pada 11-12 Maret 2017. Bahtsul Masail GP Ansor menghasilkan diktum bahwa terpilihnya non-muslim di dalam kontestasi politik, yang dilaksanakan sesuai amanat konstitusi, sah dan mengikat berdasarkan undang-undang dan agama. Pernyataan resmi ini secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa umat Islam di Indonesia boleh memilih pemimpin non-muslim sepanjang juga diakui oleh undang-undang.

Sikap politik demikian tentu bukan tidak beresiko dalam langkah gerakannya di masa mendatang. Beberapa kalangan yang kontra mengecam kebijakan GP Ansor. Kebijakan tersebut disinyalir telah merugikan umat Islam dan menodai agama Islam sendiri yang dialamatkan pada dukungan atas pencalonan Ahok sebagai satu-satunya calon gubernur DKI yang non-muslim.

Diktum politik GP Ansor tentu tidak sekedar memanfaatkan momentum, tetapi lebih kepada pemanfaatan sumber daya pikiran dalam menafsiri teks Al-Quran dan Sunnah sesuai konteks kekinian menggunakan nalar ahlussunnah wal jamaah. Pendekatan ini biasa dipakai kalangan ulama salaf dan diteruskan oleh Kiai NU saat membuat pelbagai macam keputusan yang menyangkut keummatan, keagamaan, kebangsaan, dan kenegaraan.

Baca Juga:  Turun Gunung Ke Jatim, Ganjar Bakar Semangat Bongkar Kecurangan Pemilu

Menelisik lebih jauh NU pernah mengeluarkan diktum politik hasil bahtsul masail tahun 1999 yang dibuat di Lirboyo Kediri. Pembahasan tersebut membuahkan hasil bahwa umat Islam haram memilih non-muslim dengan syarat kalau bukan karena darurat dan bisa membawa kemaslahatan bagi umat Islam. Diktum tersebut memiliki penguat bahwa dalam keadaan darurat dan sekiranya membahwa kemasalahatan bagi umat Islam sah-sah saja umat Islam memilih pemimpin non-muslim. Diktum tersebut mengacu pada salah satu kaidah fiqh yang terkenal di kalangan pesantren; daral-mafaasid muqoddamalaa jalb al-masalih (menolak dampak buruk lebih diutamakan daripada mengambil dampak baik).

Baca: Melawan Radikalisme

Membumikan Politik ASWAJA

GP Ansor dalam setiap episode selalu tegap berdiri bersama NU. Walaupun sepanjang usianya acap menemui rintangan, tetapi nilai dasar yang diembang GP Ansor untuk merawat ke-Islaman dan ke-Indonesia tetap berkibar hingga kini. Praktik tersebut dapat kita amati pada setiap gerakan yang dilakukan GP Ansor, baik bersama-sama dengan NU atau secara mandiri, melakukan kerja-kerja sosial, pemberdayaan, kemasyarakatan, kebangsaan, dan tentu pula ke-Islaman.

Dalam setiap perubahan jaman GP Ansor tetap berjarak dengan politik praktis. Sebagaimana NU kembali ke khittah 1926 yang telah disepakati saat Muktamar di Situbondo pada 1983. Jarak yang diambil GP Ansor tentu menjadi poin plus di tengah-tengah maraknya organisasi massa Islam atau organisasi kepemudaan yang kini mulai main mata dengan partai politik.

Baca Juga:  Pleno Kabupaten Nunukan: Ini Hasil Perolehan Suara Pemilu 2024 Untuk Caleg Provinsi Kaltara

Dalam gerakan sosial-politiknya GP Ansor membumikan politik ala ahlussunnah wal jamaah (aswaja). Doktrin politik Aswaja, sebagaimana dijelaskan KH. Said Aqil Siradj (2009), menyandarkan diri pada beberapa prinsip yang tidak ke kanan dan tidak pula ke kiri. Beberapa prinsip tersebut antara lain; prinsip syura atau musyawarah, al-‘adl atau keadilan, al-hurriyyah atau kebebasan yang menjadi kebutuhan primer setiap manusia, dan prinsip al-musawah atau kesetaraan derajat. Semua prinsip tersebut menyatu pada satu elemen; merawat ke-Indonesiaan.

Baca: Ini Hukum Aksi Ngecor Kaki Hasil Bahtsul Masail Diniyah PWNU DIY

Diktum politik yang dihasilkan bahtsul masail GP Ansor beberapa waktu lalu dapat dimaknai bahwa GP Ansor tidak memiliki afiliasi politik dengan siapapun dan partai apapun. Namun demikian tidak haram bila kader-kader GP Ansor menyebar ada di beberapa partai politik dan atau mendukung calon pemimpin tertentu. Bahtsul masail tersebut menjadi landasan para kader dalam berpolitik. Meminjam ungkapan KH. Achmad Siddiq, “NU tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana.” Sebagaimana NU, kader GP Ansor tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana.

GP Ansor yang saya tahu merupakan salah satu organisasi yang berada di garis depan dalam menanamkan nilai-nilai aswaja. Konsep ini sudah final, sebagaimana NU, yang merawat ke-Islaman, keummatan, dan Ke-Indonesiaan secara bersama-sama. Tidak hanya di dalam ranah sosial-keagamaan, dalam ranah politik pun nilai-nilai Aswaja banyak ditemui di pelbagai kondisi sosial masyarakat di Indonesia.

Baca Juga:  WaKil Bupati Nunukan Buka Musrenbang Kewilayahan Tahun 2024 Pulau Nunukan dan Pulau Sebatik

Pantau: Rais Aam PBNU Pertegas Republik Indonesia Tanpa Sistem Khilafah

Islam Aswaja bukan aliran, ia hanya cara pandang melihat realitas dan merefleksikannya dalam tindakan nyata. Merawat kebhinekaan ala GP Ansor misalnya, biasa dimulai dari hal-hal kecil seperti ikut membantu berjalannya kegiatan warga atau kegiatan keagamaan warga yang non-muslim pun Ansor bantu dengan memastikan acara berjalan khidmat.

Bahkan tidak jarang gerakan yang dilakukan GP Ansor jauh dari kata anarkhis, walau di dalamnya ada Banser yang rela mati. Segala yang nampak di permukaan dapat ditangani dengan kepala dingin. Hal ini terlihat saat Rais ‘Am PBNU, KH. Ma’ruf Amin, dilecehkan di depan persidangan oleh Ahok pada Selasa (31/1/17) lalu tidak serta merta warga nahdliyin turun ke jalan dan menyeruduk jalannya persidangan. Walau sudah siaga satu komando warga nahdliyin menunggu intruksi hingga pernyataan maaf dari Ahok dan sikap pemaaf dari Kiai Ma’ruf menjadi pereda.

Inilah gerakan ber-Ansor, yakni gerakan Islam kalangan muda yang menjunjung tinggi nilai Islam ahlsunnah wal jamaah, Islam yang dapat menjadi penyejuk di tengah-tengah maraknya konflik dan egosentrisme sektoral. Gerakan ahlussunah wal jamaah memiliki tujuan menggapai ke-Islaman yang rahmatan lil alamin. Gerakan pemuda Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh elemen masyarakat Indonesia.

Simak: Kongres Pagar Nusa NU: Perkuat Persatuan dan Kesatuan NKRI

Nur Faizin Darain, alumnus pascasarjana Sosiologi UGM dan Pengurus PB GP Ansor.

Related Posts

1 of 15