ArtikelEkonomiHeadline

Membaca Ulang Perang Asimetris di Indonesia (Bag. 3)

Oleh: Agus Setiawan

SUDAH IMPOR, DICEKIK DOLLAR

Masih ingat di era 1980–an, tepatnya tahun 1984 ketika Indonesia pernah mengalami swasembada beras. Ketika Indonesia berhasil meningkatkan kapasitas produksi dari 12,2 juta ton beras pada 1969 – meningkat menjadi 25,8 juta ton beras pada 1984. Bahkan pada 1985 dengan murah hati Indonesia membantu 1 juta ton beras kepada negara-negara Afrika yang sedang mengalami kelaparan. Sehingga Presiden Soeharto mendapatkan penghargaan dari PBB.

Sebagai catatan saja, bahwa produksi beras petani kita pada 2013 ini sebesar 38,1 juta ton dengan jumlah penduduk kurang lebih 250 juta orang. Sedangkan pada 1984 jumlah penduduk indonesia baru sekitar 161,6 juta orang dengan hasil produksi 25,8 juta ton. Nah secara sederhana, bila kita coba membandingkan seharusnya kapasitas produksi beras kita pada 2013 ini paling sedikit 50 juta ton. Baru surplus.

Tapi kondisi gagah perkasa itu tidak berlangsung lama. Presiden Soeharto lupa bahwa teknologi industri Indonesia dimasa orde baru, seperti kilang minyak, kilang gas, pembangkit listrik, pabrik-pabrik, dan industri strategis lainnya masih sangat bergantung kepada teknologi negara-negara maju yang sekaligus juga sebagai negara donor bagi Indonesia.

Baca Juga:  Bupati Nunukan dan OPD Berburu Takjil di Bazar Ramadhan

Keberadaan pabrik-pabrik pupuk BUMN kita, seperti Pupuk Sriwijawa (1959) Petrokimia Gresik (1972), Pupuk Kujang (1975) Pupuk Kaltim (1977), dan Pupuk Iskandar Muda (1982) dibuat dengan tujuan untuk kemandirian dan meningkatkan ketahanan pangan Indonesia. Yang jadi masalah adalah untuk memproduksi pupuk, Indonesia masih tergantung dengan beberapa komponen impor seperti kallium, fosfat, dan masih banyak lagi – dan impor dibayar dengan dollar.

Nah di era reformasi sebagai ilustrasi mari kita cermati perhitungan harga pupuk menurut Dirut Pusri ketika acara dengar pendapat dengan DPR. Ketika harga gas bumi US$1,30/mmbtu kita (Pusri) bisa menjual pupuk kepada petani Rp 1.000.000,-/ton atau Rp 1.000,-/kg. Bila kita bandingkan dengan harga pupuk impor dengan harga produksi dalam negeri hampir tidak ada perbedaan signifikan, padahal pupuk impor masih terbebani biaya transportasi dan pajak. Masalahnya gas alam kita, yang diambil dari bumi kita sebagai feedstock untuk industri pupuk lagi-lagi harus dibayar dengan dollar. Coba bayangkan kalau ada salah satu komponen bahan baku pupuk kita dimonopoli oleh AS, kemudian harga komponen tersebut dinaikan 500%, maka yang terjadi adalah harga produksi pupuk kita menjadi sangat tinggi. Akibatnya biaya produksi beras oleh para petani kita pun menjadi naik dan tidak layak lagi secara hitungan bisnis. Maka hancurlah pertanian kita – karena dihantam produk impor yang harganya lebih murah.

Baca Juga:  Harga Beras Meroket, Inilah Yang Harus Dilakukan Jawa Timur

Bukan itu saja, persoalannya adalah apakah pabrik-pabrik pupuk BUMN itu meraih untung dari hasil produksinya? Karena pembangunan pabrik-pabrik pupuk tersebut berasal dari hutang. Kalau kinerja pabrik-pabrik pupuk itu merugi, ditambah para petani juga merugi, bisa dibayangkan bagaimana ketahanan pangan dan devisa kita! Ketergantungan teknologi dan bahan baku ini menjadi titik lemah strategi pembangunan jangka panjang Indonesia dalam menciptakan kemandirian bangsa, khususnya dalam menciptakan kedaulatan pangan nasional. Jadi tidak mengherankan bila sekarang kita mengimpor 29 produk pertanian cuma karena ketinggalan teknologi dan ketergantungan bahan baku strategis. Kalau pabrik pupuk rugi, petani rugi, devisa tersedot impor, ujung-ujungnya membebani APBN, yang pada gilirannya menghambat jalannya roda pembangunan Indonesia.***

 

Related Posts

1 of 43