Berita UtamaPolitik

Membaca Ulang Perang Asimetris di Indonesia (Bag.2)

Oleh: Agus Setiawan

MENGUATNYA PERAN ORGANISASI INTERNASIONAL

Organisasi Internasional kini telah menjadi aktor-aktor utama dunia yang menggusur peranan negara bangsa menjadi figuran dalam hubungan internasional. Disadari atau tidak, diplomasi kini hanya sekedar protokoler antar negara kalau tidak mau dikatakan sekedar basa-basi pergaulan internasional yang dilakukan oleh para diplomat atas nama negara bangsa. Penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi G20, WTO, APEC, ASEM dan sebagainya sesungguhnya hanya merupakan jalan sistematis bagi korporasi transnasional untuk menguasai suatu negara melalui perjanjian-perjanjian yang mereka paksakan, kalau ada negara yang menolak maka tidak segan-segan mereka akan mengenakan sanksi.

Seperti kita ketahui bersama bahwa dalam Putaran Uruguay (1986-1994), IMF melalui GATT telah berhasil menanamkan skema liberalisasi perdagangan dunia terhadap negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Skema multilateral trade agreement GATT tersebut kemudian menjelma menjadi sebuah sistem keamanan tingkat tinggi dunia bernama WTO pada 1 Januari 1995, di Jenewa Swiss.

WTO kini sudah beranggotakan 154 negara anggota, dimana 117 di antaranya adalah negara berkembang. Dengan lahirnya WTO, maka lengkaplah sudah tiga serangkai organisasi internasional penakluk negara bangsa, yakni IMF, WORLD BANK dan WTO. Bahkan mereka memiliki pasukan tentara swasta yang didukung alutsista canggih dengan sandi NATO.

Baca Juga:  Pemdes Pragaan Daya Membuat Terobosan Baru: Pengurusan KTP dan KK Kini Bisa Dilakukan di Balai Desa

Benarkah status negara bangsa telah kehilangan makna? Mungkin saja! Mari cermati sebuah peristiwa kecil, dikampung kecil yang menimpa Pak Tukirin, 62 tahun, yakni seorang petani sederhana dari Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Dia dituduh mencuri benih induk oleh perusahaan produsen benih jagung hybrida, PT. BISI, anak perusahaan Charoen Pokphand, Korporasi pertanian terbesar di Asia.

Sekedar informasi, PT BISI Internasional didirikan pada tahun 1983, sebagai produsen besar benih hibrida untuk jagung, padi, buah-buahan dan sayuran. Di samping itu juga sebagai produsen besar pestisida dan distributor pupuk. PT BISI memiliki tiga anak perusahaan: 1) PT Tanindo Intertraco yang mendistribusikan dan memasarkan bibit padi, jagung, biji sayuran dan produk-produk agribisnis terkait; 2) PT Multi Sarana Indotani yang memproduksi pestisida, dan 3) Tanindo Subur Prima yang mendistribusikan dan memasarkan benih sayur yang diimpor dari Chia Thai Seed Co Ltd.

Padahal Pak Tukirin memperoleh benih dari penyalur benih resmi yang dijual bebas. Dengan pengetahuan “lokal” yang dimilikinya, Pak Tukirin  ternyata berhasil membudidayakan tanaman jagung yang dimilikinya sehingga dapat digunakan menjadi benih setelah melakukan inovasi penyerbukan silang antar tanaman jagung.

Baca Juga:  Permen Menteri Nadiem Soal Seragam Sekolah Disorot, Perbaiki Mutu Pendidikan Daripada Pengadaan Seragam

Tanaman jagung hibrida yang dipanen oleh para para petani selama ini memang tidak dapat digunakan lagi sebagai benih untuk musim tanam berikutnya. Kalaupun digunakan sebagai benih, hasilnya pasti jelek. Jagung hibrida hanya bisa dipakai satu kali tanam, setelah panen kalau tidak dijual, ya dimakan aja.

Pak Tukirin kemudian menjual bibit jagung hasil kreatifitasnya dengan harga yang jauh lebih murah kepada sesama teman petani. Peristiwa keberhasilan orang kampung kecil itu justru menjadi masalah besar bagi sang produsen benih – karena para petani menjadi tidak tergantung lagi kepada anak perusahaan asal Thailand itu. Maka dengan arogan anak perusahaan Charoen Pokphand tersebut menuduh Pak Tukirin dengan menggunakan jurus TRIPS (Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights) WTO. Pengadilan akhirnya memenangkan perusahaan produsen benih Thailand tersebut. Pak Tukirin dan teman-temannya masuk penjara karena karyanya yang kreatif dan inovatif. Negara diam, tidak terusik, padahal Pak Tukirin adalah warga negara Indonesia yang harus dilindungi dari konspirasi korporasi asing yang arogan dan monopolistik di era globalisasi.

Baca Juga:  Amerika Memancing Iran untuk Melakukan Perang Nuklir 'Terbatas'?

Dunia telah menjadi kampung kecil. Kasus yang menimpa Pak Tukirin, dan kasus serupa lainnya juga banyak terjadi di negara-negara berkembang lain. Peristiwa ini menunjukkan bahwa seorang warga negara kini telah menjadi orang asing di negeri sendiri – seorang diri harus menghadapi kekuatan korporasi transnasional yang menggurita. Nah itulah contoh gambaran dampak Putaran Uruguay bagi seorang warga negara Indonesia yang kreatif dan inovatif dalam sistem keamanan tingkat tinggi WTO. (Bersambung…)

Baca: Membaca Ulang Perang Asimetris di Indonesia (Bag.1)

 

Related Posts

1 of 10