Budaya / SeniEsai

Membaca Makna Wayang Wolak-Walik: Mengaji Tuhan dalam Burung Trilili, Puisi Esai Denny JA (Part III)

Wayang Wolak-Walik: Mengaji Tuhan dalam Burung Trilili, Puisi Esai Denny JA/Foto: Dok. Pribadi (Istimewa)
Wayang Wolak-Walik: Mengaji Tuhan dalam Burung Trilili, Puisi Esai Denny JA/Foto: Dok. Pribadi (Istimewa)

Oleh: Simon Syaefudin

Selanjutnya, burung Merak berkata, “Dulu aku hidup di syurga bersama Adam, lantas aku diusir dari syurga, rasanya aku ingin kembali ke tempat tinggalku lagi. Karena itu, aku tidak mau ikut dalam rombongan.”

Kemudian disusul oleh Itik, “Aku sudah biasa hidup dalam kesucian, dan aku juga terbiasa berenang di tempat yang kering kerontang. Aku tidak mungkin hidup tanpa air,” kilah Itik.

Begitu juga burung Garuda, “Saya sudah biasa hidup senang di gunung, bagaimana mungkin aku sanggup meninggalkan tempatku yang menyenangkan?”, alasan Garuda.
Burung Gelatik ikut menimpali, “Aku hanya seekor burung kecil, lemah, takkan sanggup terbang sejauh itu.”

Lantas burung Elang menyahut, “Semua orang sudah tahu kedudukanku yang tinggi ini, maka tidak mungkin aku meninggalkan tempat dan kedudukan yang mulia ini.”

Burung Hudhud sebagai pemimpin sangat bijak dan sabar mendengar semua keluhan dan alasan burung-burung yang enggan berangkat. Namun demikian, burung Hudhud tetap bersemangat memberikan dorongan dan motivasi kepada mereka. “Kenapa kalian harus berberlindung di balik dalil-dalil nafsumu, sehingga semangatmu yang sudah membara menjadi padam? Padahal kalian tahu bahwa perjalanan menuju istana Simurgh adalah perjalanan suci, kenapa harus takut dan bimbang dengan prasangka yang ada pada dirimu?” ucap Hudhud. Kemudian ada seekor burung menyela,

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

“Dengan cara apa kita bisa sampai ke tempat Maharaja Simurgh yang jauh dan sulit itu? “Dengan bekal himmah (semangat) yang tinggi, kemauan yang kuat, dan tabah menghadapi segala cobaan dan rintangan. Bagi orang yang rindu, seperti apapun cobaan akan dihadapi, dan seberapa pun rintangan akan dilewati,” kata Hudhud.

Perlu kalian ketahui, tambah Hudhud, Maharaja Simurg, meski kelihatan jauh, tapi sesungguhnya dekat laksana matahari dengan sinarnya,” tegas Hudhud meyakinkan. Sabarlah, bertawakkallah, karena bila kalian telah sanggup menempuh perjalanan itu, kalian akan tetap berada dalam jalan yang benar, lanjut pimpinan para burung itu.

Setelah itu, bangkitlah semangat burung-burung itu, seolah-olah mendapatkan kekuatan baru untuk menuju istana Simurg. Akhirnya, burung-burung yang berjumlah ribuan itu sepakat untuk berangkat bersama-sama tanpa satupun yang tertinggal.

Perjalanan panjang telah dimulai, perbekalan telah disiapkan. Burung Hudhud yang didaulat menjadi pemimpin mereka telah mengatur persiapan, dengan membagi rombongan menjadi beberapa kelompok. Setelah perjalanan cukup lama menembus lorong-lorong waktu, kegelisahan mulai datang menimpa mereka. “Mengapa perjalanan sudah lama dan jauh, kok tidak sampai-sampai?” guman mereka di dalam hati. Mulailah mereka dihinggapi rasa malas karena menganggap perjalanan terlalu lama, mereka bosan karena tidak lekas sampai. Perasaan mereka diliputi keraguan dan kebimbangan. Kemudian sebagian burung ada yang memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan.

Baca Juga:  Malam Penentuan

Namun burung-burung lain yang masih memiliki stamina kuat dan himmah yang tinggi tidak menghiraukan penderitaan yang mereka alam. Mereka melanjutkan perjalanan yang sangat jauh itu. Tiba-tiba rintangan datang kembali, terpaan angin yang sangat kencang menerpa mereka sehingga membuat bulu-bulu indah yang dibanggakan mereka berguguran. Kekuatan burung-burung perkasa seperti elang dan bangau mulai pudar. Kedudukan dan pangkat yang tinggi sudah tidak terpikirkan.

Berbagai macam penyakit mulai menyerang mereka, kian lengkaplah penderitaan yang dirasakan oleh para burung tersebut. Badan mereka mulai kurus, penyakit datang silih berganti sehingga mereka makin tidak berdaya. Semua atribut duniawi yang dulu disandang dan dibanggakan, sekarang tanggal tanpa sisa, yang ada hanyalah totalitas kepasrahan dalam ketidak berdayaan. Mereka hanyut dalam samudera iradatullah dan tenggelam dalam gelombang fana’.

Bersambung… Baca: Membaca Makna Wayang Wolak-Walik: Mengaji Tuhan dalam Burung Trilili, Puisi Esai Denny JA (Part IV)

Simak:
Membaca Makna Wayang Wolak-Walik: Mengaji Tuhan dalam Burung Trilili, Puisi Esai Denny JA (Part I)
Membaca Makna Wayang Wolak-Walik: Mengaji Tuhan dalam Burung Trilili, Puisi Esai Denny JA (Part II)

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Editor: Achmad Sulaiman

Related Posts

1 of 17