Artikel

Memahami Kritik NU atas Permendikbud

Di angkat dalam kabinet pemerintah Jokowi di tengah jalan, Mendikbud Muhajir sudah membuat goncangan dengan mengeluarkan Permendikbud soal 5 hari sekolah.
Mendikbud Muhajir menahbiskan sebagai mentri yang juga seneng gonta ganti kebijakan lagi di dunia pendidikan. Kebijakannya itu berisi dua hal: Pertama, hari sekolah dilaksanakan 5 hari dalam 1 minggu, dengan 8 jam sehari atau 40 jam seminggu selama 5 hari. Waktu istirahatnya adalah 0,5 jam perhari; atau 2,5 jam dalam 5 hari. Kalau ada istirahat setelah itu, tidak dihitung dan tidak dimasukkan dalam penghitungan 8 jam itu.
Kedua,  selama jam sekolah itu, diharuskan guru untuk merencanakan pembelajaran atau pembimbingan;  melaksanakan pembelajaran atau pembimbingan; menilai hasil pembelajaran atau pembimbingan;  membimbing dan melatih Peserta Didik; melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai dengan beban kerja guru. Demikian juga tenaga didik dan peserta didik harus melaksanakan sesuai tugasnya, lewa intra, ekstra dan kokurikuler.
Permendikbud yang demikian itu dikritik NU, dan diminta untuk dicabut. NU memberikan alasan-alasannya, yang terlihat, sebagaimana yang ada di seruan PBNU: (1) Pendidikan karakter tidak bisa serta merta difahami dengan penambahan jam belajar. Baik dan buruknya karakter peserta didik yang diimpikan tidak linier dengan lamanya waktu belajar di sekolah; (2) Kebijakan 5 hari itu akan menggerus eksistensi Madin, padahal NU melihat selain Pondok Pesantren, Madin Sore adalah pendidikan diniyah yang membentengi persemaian paham gerakan radikalisme. Ironis jika lembaga-lembaga yang selama ini menjadi persemaian tunas-tunas bangsa justru diusik dan diancam eksistensinya.
Memahami kritik NU itu, tampak bahwa NU memahami dari alur 8 jam perhari (dan pengurangan 1 hari dalam 1 minggu) akan mengakibatkan anak didik di sekolah sampai jam 4-5 sore. Kalau 8 jam itu dimulai jam 7 pagi, maka dia akan berakhir jam 3 sore. Tetapi kalau berada di luar sekolah, seperti  bunyi di Permendikbud bisa kerjasama dengan institusi di luar sekolah, bisa berakhir  jam 4 atau 5. Sementara perjalanan anak didik dari rumah ke sekolah bisa bervariasi, yang kalau diambil rata-rata setengah jam, maka anak didik akan sampai di rumah sudah menjelang Maghrib. Itu di sekolah-sekolah yang mudah akses jalannya di seluruh Indonesia, belum mempertimbangkan keragamaan sulitnya prasarana di daerah-daerah pegunungan.
Persoalan demikian difahami NU jelas akan membunuh dan mengusik Madin yang memulai sekolahnya sore hari dan berakhir menjelang maghrib, yang jumlahnya sangat banyak. Karena murid-murid sekolah negeri, juga banyak, setelah pulang, mereka memepelajari agama lewat Madin Sore, yaitu bagi mereka yang tidak tinggal di pondok pesantren. Manakala Madin di masyarakat itu dipindah jam  setelah maghrib, jelas waktu istirahat dan belajar di rumah tidak memadai, sehingga pelan-pelan masyarakat akan beralih mengambil simpelnya saja: cukup di sekolah saja. Hal inilah, yang diyakini kemudian, bahwa Madin akan terkikis hancur, sebagai sebuah jalan politik pendidikan yang ditempuh oleh Permendikbud ini.
NU kemudian mengajukan persoalan bahwa pendidikan karakter itu tidak identik dengan penambahan jam, kalau akhirnya penambahan jam itu menghancurkan eksistensi Madin Sore. Sementara menurut NU, Madin-Madin sore itu adalah persemaian tunas-tunas bangsa yang banyak bermanfaat untuk mengembangkan Islam yang kompatibel dengan bangsa dan Pancasila. Dari sini, NU mempersoalkan hal paling fundamental dalam paradigma yang dipakai Permendikbud, soal pembentukan pendidikan karakter, tidak selalu berhubungan dengan penambahan jumlah jam belajar, kalau ternyata berefek tidak memiliki kearifan pada intitusi-instusi pendidikan lokal di masyarakat. Dari sudut politik pendidikan, bagi NU, ini akan merugikan secara luar biasa terhadap pengembangan Islam yang kompatibel dengan nasionalisme dan Pancasila, yang akar salah satunya ada di Madin Sore, selain Pondok Pesantren.
Sebaliknya, bagi sahabat-sahabat lain yang jenis Islamnya tidak sama dengan NU; dan tidak memiliki Madin Sore, justru akan menjadi kredit poin, sebab basis Islam  yang banyak kompatibel dengan bangsa di Madin Sore yang berkembang di masyarakat pelan-pelan akan runtuh, dan hilang. Sebagai gantinya, adalah pendidikan keagamaan di sekolah yang akan menciptakan jenis generasi Islam model Islam yang dikembangkan di sekolah, dalam bentuk pesatren kilat, retreat, dan lain-lain, seperti bunyi Permendikbud. Mereka akan semakin kuat mengembangkan itu lewat Rohis, dan sejenisnya.
Atau bagi mereka, yang tidak berangkat dari titik pijak tradisi agama, akan seperti tidak ada masalah dengan Permendikbud ini. Akan tetapi, bagi kelompok ini, kalau tidak diimbangi dengan sikap kritis, sebaiknya saya sarankan mulai melek dengan pertarungan model Islam yang berkembang di sekolah-sekolah umum, kaitannya dengan Rohis misalnya. Apalagi di Permendikbud itu tidak ada penjelasan pasal-pasal perspektif  keagamaan yang dikembangkan yang harus dijadikan patokan lebih detil oleh masyarakat sekolah, misalnya hubungannya dengan wawasan kebangsaan dan Pancasila, dan hanya disebutkan soal mencakup keagamaan yang bisa diberikan kepada anak didik, lewat pesantren kilat, retreat, dan lain-lain.
Hal ini semakin memperoleh konteks sosial budayanya, ketika kita mempertimbangkan penelitian PPIM Jakarta, di mana mayoritas guru-guru agama di sekolah yang ditelitinya, memiliki sikap ambigu. Pada satu sisi mereka mengamini Negara Indonesia adalah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Di sisi yang lain, mereka memiliki aspirasi yang kuat dalam soal penerapan syariat Islam lewat negara, yang tentu akan berpengaruh terhadap pengajaran yang diterapkannya. Temuan PPIM Jakarta itu dikemukakan pada Oktober dan diseminarkan pada Kamis 15/12/2016 di theater prof Dr. Zakiah Darajat UIN Jakarta, bertajuk, “Guru Agama, Toleransi dan Isu-Isu Kehidupan Keagamaan Kontemporer di Indonesia”.
Dari sudut ini, mereka yang berargumen bahwa Permendikbud akan justru memperkuat Madin karena memberikan jalan bagi pendidikan keagamaan bagi murid di sekolah, haruslah dilihat secara kritis. Yang dimaksud di situ justru kerjasama dan usaha sekolah sendiri lewat kegiatan-kegiatan keagamaan yang disebutkan di Permendikbud, atau dalam bahasa lain Madin sekolah. Dengan jargon membuat restorasi pendidikan (bahasa yang dipakai Permendikbud ini di bagian menimbang a), tetapi bentuknya dengan menambah jam belajar dengan muatan salah satunya memberikan tempat pendidikan keagamaan, meliputi madrasah diniyah, pesantren kilat, ceramah keagamaan, katekisasi, retreat, baca tulis Al Quran dan kitab suci lainnya, tampak sekali memang Permendikbud ini minim perspektif kalau soalnya adalah restorasi pendidikan karakter.
Lebih mengaburkan lagi, kalau logikanya para penyokong Permendikbud itu justru untuk menghidupkan Madin di masyarakat; yang ternyata itu akan membuat sejenis Madin di sekolah sudah cukup. Sementara Madin Sore di masyarakat sudah hidup selama ini tanpa berurusan dengan kerjasama dengan anak-anak sekolah, dan akan mati dengan sendirinya. Kamuflase argumentasi itu, akan membahayakan, karena  Permendikbud itu tanpa dijelaskan aturan-aturan dan perspektif keagamaan yang dikembangkan dalam pendidikan keagamaan di sekolah; tanpa ada restorasi terhadap guru-guru agama yang berkembang. Model keislaman rokhis yang banyak diteliti oleh berbagai lembaga dan orang akan menjadi berkembang, akan menjadi subur nantinya; dan memperoleh lahan subur. Sejenis kekhawatiran seperti ini juga tidak boleh diremehkan pula.
Akan tetapi kalau hanya berhenti di situ, sebenarnya tidak begitu soal, karena itu akan menjadi medan pertempuran, memperjuangkan model Islam tertentu di sekolah, lewat manifestasi kerja-kerja anak-anak belia, yang di jenjang SMA dan lain-lain itu, diakui atau tidak mereka juga banyak yang sudah berafiliasi dengan organisasi-organisasi pemuda dari ormas keislaman atau yang lain. Tidak menjadi soal bagi NU kalau hanya berhenti di sini.
Bagi NU, hal ini lebih mengerikan lagi, karena eksistensi pengalihan 5 hari sekolah, terus kemudian berhasil menggusur Madin-Madin sore. Satu pilar dari Islam yang kompatibel dengan kebangsaan dan Pancasila itu, yaitu eksistensi Madin-Madin sore yang menjadi tempat belajarnya anak-anak santri ini akan pelan-pelan hancur dikikis. Maka dari sudut itu, saya melihat NU sedang memainkan politik pendidikan untuk menjaga Islam yang ramah, dengan kemampuan yang masih bisa dilakukan, agar tidak terjadi penggerusan pilar Islam yang ramah itu, yaitu Madin Sore.
Dengan mengeluarkan seruan menolak, ditujukan kepada anggotanya, maka artinya NU memang menjadikan ini sebagai persoalan yang mengenai langsung terhadap pilar-pilar NU. Makanya di dalam seruaan itu, NU tidak mengajak masyarakat non NU untuk melakukannya atau menolak Permendikbud, terutama yang tidak pernah di Madin. NU sadar mereka tidak akan memiliki rasa empatik pada kerasahan NU ini. Makanya NU berjuang menyeru anggotanya saja.
Pada saat yang sama, NU mengajak memikirkan persoalan mendasar, yaitu penguatan pendidikan karakter, yang menurut NU di seruannya itu, tidak identik dengan menambah jam di setiap harinya (yang kemudian dipadatkan jadi 5 hari). Diskusi ini, menyadarkan kita, bahwa Permendikbud itu, telah menihilkan perspektif dalam penguatan pendidikan karakter di sekolah, yang seharusnya jauh lebih kaya dan lebih beragam daripada hanya soal menggeser-menambah jam. Maka, kalau seandainya Permendikbud itu memperkuat pendidikan karakter, dengan tidak mengambil porsi jam Madin sore di tengah-tengah masyarakat, dan justru menyentuh restorasi guru-guru agama dan kurikulum, tentu tidak akan dipersoalan setegas ini.
Apa yang diperjuangkan NU dengan ketegasannya itu, tampaklah bahwa NU melihat masih mungkin mempengaruhi kebajikan politik pendidikan ini, sampai batas-batas tertentu agar menjadi maslahat bagi bangsa ini, menurut sudut pandang NU. Soal Jokowi menanggapi seperti apa dan digodok lewat apa, masih aktual dan dinamis, tidaklah soal. Bahwa orang lain juga tidak setuju dengan NU tidak masalah. Itu hak mereka.
Sebab, memperhatikan NU, jamiyah ini selalu bersikap bukan karena setuju atau tidak disetujui oleh orang perorang, tetapi akan melihat pada sudut kemaslahatan, dan pertimbangan-pertimbangan lainnya untuk menjaga keutuhan bangsa dan Islam yang ramah, dari sudut perspektif NU. Dan, karenanya, NU tidak menyinggung-nyinggung dalam soal sikapnya itu, mengaitkan dengan Muhammadiyah atau ada kepentingan Muhammadiyah di dalam seruannya, sebagai asal organisasi dari Mendikbud, meskipun di sana sini orang bisa saja ngobrol begitu. Bedakan dengan angkatan Muda Muhammadiyah yang menyinggung NU di penyataannya. Tetapi NU secara cerdas tidak mengaitkan itu dengan Muhammadiyah. NU hanya berbicara soal pendidikan karakter dan dampaknya pada Madin Sore, itu saja.
Toh, akhirnya diplomasi politik pendidikan yang dilakukan NU ini, telah mengurungkan niat Permendikbud untuk dilanjutkan. Paling tidak diplomasi politik NU ini, telah membawa Permendikbud ini ke meja Jokowi yang harus bersedia bernegosiasi kembali soal politik pendidikan dan komitmennya bagi penguatan Islam dan kebangsaan di dunia pendidikan, pendidikan karakter, dan lain-lain. Hal ini memberikan sebuah tilikan penting, bahwa kebijakan pendidikan, kebudayaan, atau apapun di dalam kerangka kelompok yang menyetujui NKRI-Pancasila, yang langsung  dirasakan mengancam secara kolektif masyarakat, dan dalam hal ini, Madin Sore yang diperihatinkan NU, haruslah dikonsultasikan terlebih dahulu dengan pilar-pilar penting masyarakat sipil yang terkena dampak itu, yang dalam kasus ini adalah NU; bukan justru menarget pilar-pilar masyarakat sipil yang terbesar di Indonesia itu, yang menyokong NKRI dan Pancasila.
Tentu saja, di warung kopi dan obrolan-obrolan kecil, akan lebih hangat untuk bisa mendalami argumentasi NU itu, mengapa setegas itu menyikapi Permendikbud. Tidak hanya soal menanggapi pasal dan pasal di Permendikbud. Dengan melihat posisinya yang dekat dengan pemerintah Jokowi, boleh dong orang memahaminya, karena kedekatan itulah, maka NU perlu difahami, dia tahu dengan desain yang ingin dibangun dengan jalan Permendikbud itu, yang menurutnya memang harus disikapi dengan tegas. Kita hanya bisa menduganya.
Penulis: Nur Kholik Ridwan, Penulis dan aktivis NU

Related Posts

1 of 10