EkonomiTerbaru

Masa Depan Industri Dasar Petrokimia di Indonesia

Kilang Minyak
Ilustrasi Kilang Minyak

NUSANTARANEWS.CO – Masa Depan Industri Dasar Petrokimia di Indonesia. Kinerja Pertamina patut diaparesiasi dengan pengoperasian Kilang Trans Pacific Petroleum Indotama (TPPI) di Tuban, Jawa Timur, dan Residual Fluid Catalytic Cracker (RFCC) Cilacap, Jawa Tengah, yang menunjukkan langkah positif dalam menuju skema ketahanan energi nasional. ”Ini adalah masa depan industri dasar petrokimia di Indonesia,” tegas Dirgo Staf Pengajar Geoekonomi Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas).

Betapa tidak, bila kedua kilang itu nantinya akan menjadi kompleks industri petrokimia terbesar di Tanah Air. Selain untuk memenuhi kebutuhan industri dasar dalam negeri, pengoperasian kedua kilang itu juga akan menghemat devisa negara karena semakin mengurangi ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM).

Sebagai informasi bahwa sejak Mei 2016, seiring dengan beroperasinya RFCC Cilacap dan TPPI, Pertamina sudah tidak mengimpor solar, bahkan surplus dengan peningkatan kapasitas produksi nasional yang mencapai 51 juta barel. Sesuai dengan skema ketahanan energi nasional, diharapkan pada tahun 2023 mendatang, kilang-kilang minyak Indonesia mampu memproduksi BBM dua juta barel per hari.

Baca Juga:  Transparansi Dana Hibah: Komisi IV DPRD Sumenep Minta Disnaker Selektif dalam Penyaluran Anggaran Rp 4,5 Miliar

Menurut Dirgo, kunci untuk menuju swasembada BBM adalah dengan meningkatkan produksi minyak mentah di dalam negeri. Bila memungkinkan adalah dengan meningkatkan program ‘farm in’ ladang-ladang minyak yang beroperasi di Indonesia. Juga di kawasan Timur Tengah seperti Irak, Iran dan Kuwait yang mempunyai kualitas minyak light crude, jelasnya.

Saat ini, Kilang TPPI mampu memproduksi premium, solar, elpiji dan HOMC 92 (atau dikenal sebagai pertamax 92), juga dapat menghasilkan aromatik. Serta bahan-bahan turunan lain, seperti paraxylene, orthoxylene, benzene, dan toluene yang sangat dibutuhkan oleh industri nasional. Sedangkan RFCC Cilacap, selain memproduksi BBM, juga memproduksi petrokimia dengan peningkatan hampir dua kali lipat pada produksi paraxylene dari 280.000 barel per hari (bph) menjadi 485.000 bph.

RFCC Cilacap juga mengembangkan pabrik produksi polypropylene baru untuk menaikkan produksi. Proyek ini ditargetkan tuntas dan beroperasi pada 2021. Berdasarkan data Pertamina, pengoperasian RFCC Cilacap dan Kilang TPPI membuat impor premium turun sekitar 30-42 persen dan pengurangan impor minyak diesel/solar sebanyak 44 persen. Unit RFCC mengolah feed stock berupa LSWR sebanyak 62.000 barel per hari (bph) menjadi produk bernilai tinggi, yaitu HOMC 37.000 bph.

Baca Juga:  Peduli Sesama, Mahasiswa Insuri Ponorogo Bagikan Beras Untuk Warga Desa Ronosentanan

Sebagian besarnya produk HOMC diproses lebih lanjut untuk diproduksi menjadi premium, sehingga produksinya naik dari 61.000 bph menjadi 91.000 bph. Sementara, Kilang TPPI dapat mengolah sekitar 100.000 bph kondensat dan nafta. Dari pengolahan bahan baku dengan mogas mode akan diperoleh beberapa produk minyak, seperti elpiji, solar, fuel oil, premium, dan HOMC. TPPI dapat menghasilkan sekitar 61.000 bph premium, 10.000 bph HOMC, dan 11.500 bph solar. (banyu)

Related Posts

No Content Available