Puisi

Lautan Cinta, Telagaku Menimbun Darah Amis – Puisi Restoe Prawironegoro Ibrahim

Telagaku Menimbun Darah Amis

duka siapa  jatuh pagi-pagi di depan pagarku?
begitu merah terbungkus popok rapi putih
akan kubesarkan dengan belaian, serba instant
dan ketika kau berkunjung kembali
ia telah siap melangsungkan perkawinan
dua pipit menyeberangi waktu
sang duka telah renta beranak cucu
memadati seisi jantungku makin debar
kemudian kutahu, darah dari jantungku
tak lagi merah
wanita jelita itu bergaya di persimpangan
hatiku terbang menyalaminya, omong-omong tentang
daun-daun mahoni gugur bersusulan,
burung-burung merajut sarang, meninggalkan sarang
ketika hatiku kembali, ia telah tumbuh sayap
bias terbang ke mana suka
aku tak mengenalinya!
ketika kupasang kembali dengan memetik sayap-sayap
ada yang hilang dari rasa
kita memulainya lagi dengan jabat tangan
waktu menudingnya, kutahu, karena petang
telah berganti fajar
gembalaku bison kuku runcing, kulit karet
tanduk perunggu purba, mata merindu telaga
lahir dari keping-keping padas perbukitan
bergulingan di tebing-tebing sepanjang tik tok jam
berlarian mengejar awan, mengoyak angkasa
anginku pasat kering bertebaran landak
bertiup dari rongga-rongga bukit karang
menikam musim, menyusut mangsa
telagaku rimbun darah menebar amis
mengalirkan jiwa bagi bukit karang
menantang srigala bulan purnama
bukitku alam kepompongku
menyusuri musim demi musim
menembus hati demi hati
dengan lagu karang
korona menggapai, korona menyembur
menjilati angkasa merah padam
dan bercucuran jarum-jarum
korona membakar, korona mengangkat
nyanyian dari pucuk-pucuk bukit karang
rindu lolong srigala menggigit bulan
korona menenggelamkan, korona membangkitkan
petualang-petualang kecil yang selalu
bersembunyi di celah-celah doa
korona memerdekakan, korona mengepalkan:
Ini nyanyian ladang cengkeh berbuah
Ini nyanyian kemah-kemah punggung bukit
Ini nyanyian sayap-sayap hati.

Catatan, Jakarta, Harlan-Petamburan; 18 Januari 2017

Lautan Cinta

Tujuh tahun Braminta menanti sang kekasih
seperti tujuh menit terukir kembali ketulusan cintanya
di sebuah pinggiran kota kecil
dalam temaram senja
ia mengalunkan tembang cinta di lereng-lereng bukit
disaksikan cahaya rembulan malam
mereka bercanda di tanah lapang

ada air mata menetes
ada air nafsu mengalir
yang tak siap berlayar dalam bahtera cinta
kandas oleh pukulan badai masa lalu
di belahan pipi yang halus putih kemerah-merahan
air matanya mengalir pada cairan yang meleleh
kerinduan pun mendayung dalam lautan cinta berbaur nafsu
tak ada yang ditangisi
tak ada yang disesalkan
hanya berbekal gerakan-gerakan tubuh yang mendekapnya
seorang gadis yang sederhana dan lugu
dengan sisi-sisi gelap kehidupannya
merajut dalam kemesraan setitik demi setitik yang terhalang keras
di saat saling merindu
ingin seperti sepasang burung dara yang bercinta sebebasnya di atas udara

di tanah seberang ia lebih terjebak
dengan postur tubuhnya yang seksi
dan terdampar di sebuah rumah bordil
ia tidak merasa terhina
ia tidak munafik
bayangan kekasih yang peramah, menampakkan sikap ketulusan cintanya
dengan belaian kasih dalam kesyahduan kelembutan cinta adalah pelarian

dalam buku catatan hariannya yang bertuliskan:
“Di malam yang syahdu, aku adalah pelukan belaian kekasih yang merindu.”
dngan cinta terselubung.

dalam silau menatap matahari kehidupan
ia bagai sampan patah pendayung di tengah lautan terdalam
lalu ditatapnya wajah laki-laki itu
seperti ada senyum di tengah malam yang sepi
tentang kisah anak-anak manusia yang lari dari kebenaran

Jakarta; Harlan-Petamburan, 18 Januari 2017

Restoe Prawironegoro Ibrahim, cerpenis dan penyair tinggal di Jakarta.

Related Posts

1 of 124