Inspirasi

Kupinjam Uangmu dengan Jaminan Rumahmu Sendiri

NUSANTARANEWS.CO – Di sebuah cafe, di tengah kota Ibu Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, tempat beragam orang pencari nafkah melepas penat pikiran dan nafsu kekuasaan, seorang pengusaha dan beberapa mantan aktivis 98 bercengkrama. Mereka akrab dalam satu hal dan bisa tidak setia dalam hal lainnya. Sesekali mendukung kebijakan pemerintah dan tidak jarang memukul pemerintah dari belakang dengan “kata-kata”.

Sepanjang percakapan penuh tawa dan kepul asap berbatang-batang lisong, terselip kesetian kepada rakyat dan tanah air “Indonesia Raya”. Sepanjang percakapan pula, sekian kesukaran membangun negeri ini tumpah di atas meja penuh cangkir dan botol air mineral. Beberapa hal terkait politik, hukum, ekonomi, dan kemanusiaan mereka bincangkan dengan bahasa jenaka. Selebihnya, hanyalah spekulasi-spekulasi penegas posisi negeri ini dalam pusaran persaingan global.

Ada ironi mungkin juga paradoks yang telah, masih, dan akan terjadi di tanah warisan raja-raja tanpan dan perkasa ini, meluncur dari ingatan pengusaha muda. Menurut dia (sebut saja Setiabumi), betapa tidak sopannya beberapa pengusaha asing yang tergiur menancapkan kaki usahanya di Indonesia. Sebab, pengusaha asing ini, seenaknya saja hendak membuka bisnis besar tanpa modal sepeserpun yang dibawa dari tanah kelahirannya.

Drama mudahnya begini:

“Aku adalah orang asing dan kamu tuan rumah yang lahir dan tinggal di Indonesia. Aku datang padamu untuk sewa rumah supaya aku bisa tinggal di Indonesia. Kamu pun menyewakan rumah termewahmu padaku untuk 2 tahun dengan harga (katakan) 1M. Singkat cerita, beberapa bulan kemudian, aku datang lagi padamu. Tujuanku kini ialah untuk pinjam uang padamu buat modal bisnis di Indonesia. Kamu percaya padaku dan tanpa pikir panjang kamu pinjamkan uang padaku sebesar 1M.

Adapun barang jaminan yang kuberikan padamu adalah rumah tempat aku tinggal di Indonesia, yang notabene adalah rumah yang kusewa darimu. Dengan sedikit rasa terima kasih, kuterima uang yang kau pinjamkam. Tanpa mengulur waktu, aku mulai membuka ladang bisnis di Indonesia. Setelah semua hal-halnya kubereskan, bisnis yang kubangun mulai berjalan.

Sembari menunggu hasil dari bisnis baruku di negaramu itu, aku sudah duduk-duduk berpesta di negaraku sendiri. Sementara rumah yang kusewa kutinggalkan, toh sudah menjadi jaminan apabila aku tidak bisa bayar hutang 1M kepadamu. Sekalipun, nanti aku dapat laba besar dari bisnis sedapku di Indonesia, belum tentu aku baik hati dan bayar hutang padamu. Begitulah aku, entah yang lain.”

Demikian, penyederhanaan dari tabiat salah satu pengusaha asing yang hendak membuka usaha di Indonesia.

Percakapan seorang pengusaha dan beberapa mantan aktivis 98 di cafe itu nampaknya mulai lelah. Sebab malam mulai ditinggalkan kebisingan. Lampu-lampu di kamar-kamar hotel pencakar langit, ada yang dimatikan dan ada pula yang baru dinyalakan. Satu persatu mereka pulang.

Aakhirnya, penulis merasa bahwa untuk melihat Indonesia, tidak bisa dari satu sisi. Melainkan mesti dari segenap jurusan. Dan sebagai pungkasan, penulis tutup dengan pembuka sajak WS Rendra, “Kesaksian Akhir Abad“:

Ratap tangis menerpa pintu kalbuku.
Bau anyir darah mengganggu tidur malamku.

O, tikar tafakur!
O, bau sungai tohor yang kotor!
Bagaimana aku akan bisa membaca keadaan ini?

(Sulaiman)

Related Posts

1 of 2