KolomOpini

Konflik Sosial Nelayan Meningkat Tajam

Tulisan ini tidak untuk memprovokasi para nelayan untuk bertindak di berbagai daerah. Buktinya, hari ini sebagaimana disampaikan informasi oleh Bung Riswanto nelayan Tegal bahwa puluhan nahkoda kapal cantrang secara spontanitas menggeruduk kantor Satker PSDKP Tegal. Tidak ada komando, tak ada dialog tapi nahkoda inisiatif sendiri untuk mendatangi kepala petugas Satker PSDKP meminta tidak melayani semua penerbitan SLO bagi kapal alat tangkap lain dan kantor akan disegel oleh nelayan, apabila sikap PSDKP tidak adil dalam pembuatan SLO.

Aksi spontanitas ini terjadi karena nahkoda merasa kesal dengan tidak ada kejelasan terkait hasil kesepakatan 15 orang perwakilan nelayan dengan pihak istana saat demo hari Selasa di Jakarta 11 Juli 2017 kemarin. Nahkoda menuntut kejelasan perpanjangan ijin kapal cantrang untuk semua ukuran GT kapal.

Menurut Musta’in nelayan Rembang Jawa Tengah bahwa sangat khawatir jika dalam seminggu ke depan tidak ada kejelasan dan kepastian legalitas cantrang bisa melaut, maka akan terjadi chaos. Tensi nelayan sangat tinggi, sungguh sangat tinggi.

Sementara menurut Riyono, yang juga anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah bahwa gerakan nakoda dan ABK ke kantor-kantor pemerintahan menunjukkan ada potensi kerusuhan sosial apabila pemerintah tidak segera memperbaiki peraturan menteri Susi Pudjiastuti. Kalau saja lambat mengeluarkan surat ijin kapal, maka eskalasi sosial semakin meningkat.

Baca Juga:  Klausul 'Rahasia' dari 'Rencana Kemenangan' Zelensky: Bergabung dengan NATO dan Memperoleh Senjata Nuklir

Para aparat keamanan harus segera maping potensi ini, jangan sampai rakyat menjadi korban dalam kebijakan yang dianggap menindas itu dengan tidak memberi solusi. Eskalasi konflik sosial terhitung mulai sekarang kondisinya kurang stabil. Lambat laun kalau kurang cepat menyelsaikan masalah yang dihadapi nelayan, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi chaos.

Apalagi per hari ini saja, terjadi kebakaran kapal di Rembang Jawa Tengah, akan semakin menambah panas dan potensi konflik itu meningkat. Kapal-kapal kebakaran tentu harus menjadi perhatian bersama juga agar dicarikan solusi yang tepat agar nelayan kembali melaut.

Bisa saja terjadi hal-hal di luar nalar rasionalitas, ketika harus menghadapi pemerintah yang tidak memiliki komitmen menyelsaikan masalah nelayan. Begitu juga dengan inisiatif para nelayan untuk melawan pemerintah dengan cara-cara kasar seperti bupati atau walikota dan berapa wakil rakyat sampai mereka dikabulkan tuntutannya. Apalagi opini-opini yang muncul belakangan ini akibat tidak pedulinya pemerintah atas komitmennya untuk menyelsaikan masalah nelayan, maka mereka mengancam akan duduki kantor DPRD, Bupati dan Walikota agar mendukung perjuangan nelayan.

Apalagi ditambah statemen panas Dirjen Perikanan Tangkap Syarif Wijaya bahwa kapal dan alat cantrang tetap dilarang karena merujuk kepada Keppres No. 39/1980. Itu belum titik. Tindak lanjutnya masih ada Inpres No.11/1982. Kemudian, terbit lagi Keppres No.85/1982 sebagai solusi atas terbitnya Keppres 39/1980 dan Inpres 11/1982 yang mengizinkan beroperasi PU di kawasan Indonesia Timur mulai bujur 130 derajat BT ke arah Timur. Karena cantrang masuk juga dalam kategori trawl.

Penjelasan Dirjen Perikanan Tangkap Syarif Wijaya ini memicu konflik sosial yang sangat luar biasa. Eskalasi dari hari ke hari terus meningkat di wilayah Madura, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Kalimantan Barat.

Baca Juga:  Memilih Ketua MA di Era Transisi Kepemimpinan Nasional

Selain itu, pernyataan bohong Susi Pudjiastuti belum berhenti, terus menebar provokasi oleh dirinya sendiri. Misalnya menuduh nelayan yang berdemo pada Aksi Damai Nelayan 117 kemaren di bayar oleh kartel yang mau menjatuhkannya.

Sekarang ini apapun statement Susi Pudjiastuti menjadi perhatian para nelayan di banyak wilayah. Tentu, tidak sedikit yang menilai bahwa setiap pembicaraannya di media sangat bohong dan bombastis yang tidak sesuai realitas.

Pemerintahan Jokowi-JK harus secepatnya mencari solusi atas peraturan menteri Susi Pudjiastuti yang menindas itu. Sebab, bila lama menangani persoalan ini, tidak tutup kemungkinan akan terciptanya kondisi daerah yang penuh konflik dan bisa menjadi eskalasi nasional.

Berdasarkan data 2017 saja, bahwa tingkat kerawanan sosial atas pelarangan cantrang mencapai 69% di beberapa daerah. Misalnya Lamongan Jawa Timur, Rembang, Pati, Juwana dan Tegal Jawa Tengah maupun banyak daerah di luar pulau Jawa yang merupakan bagian dari dampak kebijakan tersebut.

Aspek-aspek eskalasi kerawanan akan konflik sosial tersebut pertama, pemecahan masalah yang berbelit oleh pemerintah dan tidak memiliki kepekaan sama sekali terhadap realitas nelayan. Kedua, pemerintahan Jokowi membiarkan menteri sebagai aparatur pemerintah yang bertugas melayani rakyat justru membiarkan rakyat jatuh dalam kenistaan konflik sosial. Ketiga, komitmen pemerintah diragukan, janji sejak pikpres 2014 hingga sekarang belum menemukan solusi yang cukup konprehenshif untuk digunakan oleh nelayan. Keempat, birokrasi pemerintah terkait di tingkat daerah, provinsi hingga pusat memiliki kecenderungan mengabaikan perijinan kapal, berat keluarkan SLO dan menjegal SIPI kapal bagi yang sudah berakhir yang seharusnya diperpanjang.

Baca Juga:  Tentang Kerancuan Produk Hukum Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden

Dari empat aspek tersebut, tentu belum mewakili semuanya. Bisa juga ada penambahan aspek lainnya, baik ekonomi, politik, sosial dan budaya yang belum terbaca. Namun, rasanya konflik sosial nelayan disebabkan salah satunya adalah faktor ekonomi.

Sebaiknya, pemerintah jangan menunda-nunda, harus segera diselesaikan berdasarkan aspirasi nelayan agar perut, keyakinan, pemikiran dan dinamika keluarga nelayan dapat terjaga dengan baik. Inilah tugas negara dan pemerintah untuk mensejahterakan nelayan. Bukan sebaliknya dengan menindas.

Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)

Related Posts

1 of 11