SosokTerbaru

Kisah Langka Pertemuan Kartini dengan Ajaran Islam yang Otentik

Kisah langka pertemuan Kartini dengan ajaran Islam yang otentik.
Kisah langka pertemuan Kartini dengan ajaran Islam yang otentik.

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta — Kisah langka pertemuan Kartini dengan ajaran Islam yang otentik. Hari Kartini diperingati setiap tahun sebagai hari kelahiran Raden Adjeng Kartini, tepatnya pada tanggal 21 April 1879, yang tahun ini jatuh pada hari Jumat, 21 April 2017. Kartini merupakan Tokoh jawa dan pahlawan Nasional Indonesia. Kartini putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara.

Kartini merupakan sosok pribadi yang menganggap semua orang sama, sekalipun ia sendiri adalah seorang bangsawan Jawa namun Kartini kurang suka jika dipanggil Raden Ayu atau Raden Ajeng, Kartini lebih suka dipanggil Kartini saja.

Disinilah Kartini sebagai sosok pejuang kemanusiaan dan pluralisme dikenal sebagai tokoh feminisme dengan segenap pemikiran yang melampaui zamannya.

Satu hal yang sering luput disimak dari sosok Kartini ialah sosoknya sebagai sebagai seorang muslimah. Di mana, sosoknya yang Islami juga dianggap berpegang teguh pada kaidah almuhafadzah alal qodimisholih wal ahdzu bil jadidil ashlah yakni prinsip mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.

Baca Juga:  Jamin Suntik 85 Persen Suara, Buruh SPSI Jatim Dukung Khofifah Maju Pilgub

Tidak hanya itu, dalam sebuah surat yang ditulis Kartini kepada Stella Zihandelaar, Kartini menunjukkan sikap dan jati dirinya sebagai sosok muslimah sejati yang lahir dan besar dalam budaya patriarkhi yang begitu kental.

Berikut penggalan surat surat yang ditulis Kartini kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899:

“Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?”

“Alquran terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca.”

“Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya”.

Baca Juga:  Naik Pangkat Jenderal Kehormatan, Prabowo Disebut Punya Dedikasi Tinggi Untuk Ketahanan NKRI

“Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?”

Tidak selesai disitu, Kartini melanjutkan curahan hati dan pikirannya kepada Ny Abendanon tertanggal 15 Agustus 1902. Dalam suratnya, Kartini menceritakan alasan dia tidak lagi mau membaca Al-Qur’an. Dia pun enggan belajar menghafal perumpaan dengan bahasa asing yang tidak ia mengerti artinya.

“Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kitab ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya,” tulis Kartini kepada Ny Abendanon.

Setelah itu, cerita berlanjut setelah Nyonya Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat, menceritakan pertemuan RA. Kartini dengan Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang — lebih dikenal dengan sebutan Kyai Sholeh Darat dan menuliskan kisah tsb sbb:

Takdir, menurut Ny Fadihila Sholeh, mempertemukan Kartini dengan Kyai Sholel Darat. Pertemuan terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga pamannya.

Baca Juga:  Pemkab Pamekasan Dirikan Rumah Sakit Ibu dan Anak: Di Pamekasan Sehatnya Harus Berkualitas

Kyai Sholeh memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah. Kartini tertegun. Sepanjang pengajian, Kartini seakan tak sempat memalingkan mata dari sosok Kyai Sholeh, dan telinganya menangkap kata demi kata yang disampaikan sang penceramah. Ini bisa dipahami karena selama ini Kartini hanya tahu membaca Al Fatihah, tanpa pernah tahu makna ayat-ayat itu.

Dari pengalaman itu, Kartini menulis surat kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, salah satu isinya: “Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama.” Surat ini disusul dengan surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis; “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah SWT.

Masih banyak lagi, kisah-kisah Kartini yang berkaitan dengan upayanya mempelajari dan mendalami Islam, serta upaya-upaya untuk menegakkan agama Islam yang rahmatan lil ‘alamin. (Risk/Alya)

Related Posts

1 of 3,051