Kolom

Ketika Kopi Menyejarah

Sejarah Kopi-Ngopi di Indonesia/Ilustrasi Nusantaranews
Sejarah Kopi-Ngopi di Indonesia/Ilustrasi Nusantaranews

NUSANTARANEWS.CO – Membaca kata “kopi” tentu yang nampak dibenak kita adalah soal hitam dan manis. Namun di balik hitam manis itu tidak serta merta kopi, ada sejarah dan nilai perjuangan yang besar. Indonesia dikenal dengan kopi karena ada para “pejuang kopi” yang berani untuk menanam dan membudidayakan sebagai minuman bagi para tamu. Maka wajar jika orang Madura (untuk menyebut salah satunya) mengatakan bahwa “kopi: koko kakabbi (bahasa Madura)”, kopi: semuanya menjadi kuat/kokoh. Apa kemudian yang kokoh? Tentu silaturrahminya, relasi politiknya, dan hubungan keluarganya. Sebab dalam sejarah kopi, dicatat siapa yang datang ke para petinggi kerajaan dan Negara suguhannya adalah kopi.

Kalau kita membaca sejarah kopi misalnya dari Ethiopia sampai Makkah pada awal abad 15. Di India pada awal adab 16 karena Gubernur Belanda di Malabar (India) mengirim bibit kopi Yaman atau kopi arabika (Coffea arabica) kepada Gubernur Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1696. Bibit pertama ini gagal tumbuh karena banjir di Batavia, Indonesia adalah tempat pertama kali kopi dibudidayakan secara luas di luar Arab dan Ethiopia.

Selanjutnya, VOC memonopoli perdagangan kopi pada tahun 1725 sampai 1780. Pada tahun 1920, perusahan-perusahaan kecil di Indonesia mulai menanam kopi sebagai komoditas utama. Perkebunan di Jawa dinasionalisasi pada hari kemerdekaan dan direvitalisasi dengan varietas baru kopi arabika di tahun 1950-an.

Mengapa jawa? Tak lain dan tak bukan lantara Jawa lebih subur dari pada Jakarta. Wajar jika yang terbanyak mengekspor kopi ke berbagai Negara adalah Jawa Timur. Ini menandakan bahwa kopi memiliki jenis dan cara untuk membuat dan menyeduhnya. Sebab dengan seduhan yang khas, kopi memiliki rasa yang berbeda.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Kopi Gayo, Kopi Aceh misalnya, disajikan dengan cara yang cukup unik. Berdasarkan kebiasaan masyarakat Aceh, kopi ini disajikan dengan cara direbus terlebih dahulu di dalam panci hingga mendidih. Kemudian, kopi ini baru disajikan dalam gelas yang telah diisi dengan susu dan gula. Kemudian, ada kopi toraja, perbedaan utama dari kopi Toraja dibandingkan dengan kopi lainnya di Indonesia adalah kopi ini tidak meninggalkan rasa pahit dan memiliki sensasi dimana rasa pahit yang ditimbulkan dari biji kopinya akan langsung hilang seketika pada tegukan pertama.

Selain itu ada kopi Flores/Bajawa, kopi jenis ini memiliki tingkat kekentalan tinggi dan keasaman rendah. Kopi Flores yang berasal dari daerah Bajawa ini memiliki dua rasa utama, yakni rasa cokelat dan vanili dengan karamel alamiah. Kopi ini ditanam di Bajawa, sebuah daerah dataran tinggi di antara Pegunungan Flores, Nusa Tenggara Timur. Tujuan ekspor komoditas ini adalah ke Amerika Serikat.

Sementara kopi di Jawa terdiri atas dua varian utama yakni Arabika dan Robusta yang sampai detik ini dikenal. Jenis Kopi yang ditanam di Jawa Tengah pada umumnya adalah kopi Arabika, sedangkan di Jawa Timur (Kayu Mas, Blewan, dan Jampit) pada umumnya adalah kopi Robusta. Beberapa daerah lain seperti di daerah pegunungan Jember sampai Banyuwangi terdapat banyak perkebunan kopi Arabika dan juga Robusta. Kopi ini memiliki beberapa ciri khas diantaranya adalah memiliki tingkat: aroma yang bagus, kekentalan dan keasaman medium, dan juga rasa seimbang. Tujuan ekspor kopi jenis ini adalah ke Amerika Serikat dan Eropa.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Makna Sejarah Kopi

Jawa Timur sebagai tempat membudidayakan kopi tentu tidak serta merta berhasil dan berkembang seperti saat ini. Akan tetapi, ada upaya dan percobaan di samping ada nilai perjuangan yang harus dilalui. Di ranah sejarah inilah seringkali kita lupa bahwa untuk menumbuhkan sesuatu yang besar ia berasal dari kecil, yang kecil inilah adalah akar dari sesuatu yang besar.

Kopi yang kita kenal, kita menyeduh setiap pagi, siang dan sore sekarang merupakan produk sejarah. Wajar jika kemudian orang Madura menyebut kopi “kokoh kakabbi” (semuanya menjadi kuat). Apa yang kuat kemudian? Tentu di sana nilai sejarah yang harus kita maknai sebagai bentuk kesejarahan kopi di Indonesia. Kita seringkali lupa akar, lupa diri, lupa kampung sendiri. Padahal itu adalah sejarah kita, sama halnya dengan kopi yang dimiliki kita hari ini.

Sejarah tentu sebagai cermin besar bagi proses suburnya kopi di Jawa timur, orang yang belum paham kopi, minum segar, dan menyegarkan, selesai. Tapi bagi orang yang suka kopi dan tahu sejarah kopi akan berbeda rasa dan spirit untuk minum kopi. Seringkali kopi identik dengan rokok, sastrawan besar biasanya ada rokok dan kopi sebagai energi untuk memompa daya tahan menulis dan membaca juga imajinasi. Seperti Chairil Anwar, WS Rendra, Pramodya Ananta Toer, Umbu Landu Paranggi, Emha Ainun Nadjib, dan lainnya, walau pun tidak semua sastrawan perokok dan pe-ngopi.

Baca Juga:  Polres Sumenep Gelar Razia Penyakit Masyarakat di Cafe, 5 Perempuan Diamankan

Mengapa harus kopi dan rokok? Tentu akan berbeda jawabannya, akan tetapi kopi sudah menjadi bagian dari proses aktivitas sosial-kemasyarakatan. Pagi habis sarapan kopi, habis kerja kopi, ke sawah bawa kopi, bajak sawah dan tegal bawa kopi, bahkan ada warung kopi yang memang khusus menyediakan kopi. Ini menandakan bahwa kopi tidak bisa lepas dari aktivitas sosial-kemasyarakatan bahkan warung-warung kecil di tepian jalan pun pasti menyediakan kopi. Ada dengan kopi?

Inilah yang harus kita jawab bersama, Jawa Timur dalam sebuah kopi, tentu memiliki nilai filosofi yang sangat dalam bagi kehidupan masyarakat Jawa Timur. Kalau orang Madura menyebut koko kakabbi di sana ada nilai kekompakan, kebersamaan, dan permusyawaratan bagi rakyat. Sebagai sebuah kebersamaan berarti kopi mampu menyatukan keberagaman paradigma keilmuan. Sebagai sebuah kekompakan berarti kita di tuntut untuk selalu kompak dalam segala urusan kenegaraan dan dalam sebagai sebuah permusyawaratan semua rakyat harus ikut sertakan dalam membangun Jawa Timur untuk mencapai Jawa Timur yang damai, sejantera, makmur, sentosa dan merdeka. (Matroni Musèrang, Aktivis Lesbumi Jawa Timur)

Related Posts

1 of 40