Esai

Kelainan “Tangan Yang Lain” Tia Setiadi

Oleh Narudin
Lapis demi lapis
Kabut tipis menyisih.”
—Tia Setiadi, puisi “Enam Lanskap Pedalaman Priangan”

Benar, kabut tipis menyisih! Seperti tatkala kita membaca sepilihan puisi dalam buku Tia Setiadi berjudul Tangan yang Lain (2016), banyak didapati kabut-kabut tipis yang segera tersisihkan. Kabut-kabut tipis itu berhubungan dengan penyimpangan semantik (makna) dan problem seleksi diksi (kata) untuk membangun puisi secara utuh.

Dengan berpedoman pada dua hal itu, yakni problem seleksi diksi dan penyimpangan semantik, kita dapat mulai menelaah puisi-puisi yang kiranya dapat mewakili dua pertanyaan itu.
Kita simak saja puisi pertama, berjudul “Nyanyian Desember” (halaman 20), ditemukan frasa “langit yang ikal”. Kata sifat “ikal” sebagai penerang kata benda “langit” tidak indah. Kata “langit” sendiri sudah indah. Apabila itu dimaksudkan sebagai “langit yang mendung” pun tidak logis. Bukan langit yang mendung, tapi awan. Kita kutip satu baris utuhnya:

Langit yang ikal tergerai dari fajar basah Desember/

Kini, kita ubah kata “langit” dengan kata “awan”, apakah baris puisi ini jadi berhasil?

Awan yang ikal tergerai dari fajar basah Desember/

Lebih masuk di akal sehat kita meskipun kata sifat “ikal” itu tetap saja mengganggu makna.

Selain problem pemilihan kata yang tepat di beberapa puisi lainnya di dalam buku puisi ini, juga banyak ditemukan kesalahan ejaan, melanggar Ejaan Bahasa Indonesia (EYD). Umumnya, seorang penyair yang “sudah jadi penyair” akan mewaspadai kesalahan sepele seperti ini. Misalnya, sekadar menyebut beberapa contoh kesalahan ejaan itu: “tak kan”, “Juwita”, “sajaku”, “yangmenjabat”, “kau tatap desember”, “pecinta”, “mempulau”, “senggama”, “dzikir”, dan lainnya. Kesalahan ejaan atau kata serapan dari bahasa Asing ini pun ditemukan dalam beberapa esai/kritik sastra Tia Setiadi. Tentu saja, kecerobohan ini harus direnungkan dengan baik agar di masa depan keterampilan berbahasa Tia lebih bagus lagi. Selain itu, karya puisi/prosa terjemahan Tia pun masih belum memuaskan karena faktor penguasaan bahasa Inggris yang masih belum memadai. Alhasil, karya terjemahannya masih pada taraf mencoba “menerjemahkan dengan modal akrobat kosa kata” belum mencapai derajat “re-produksi makna” seperti dianjurkan oleh Walter Benjamin.

Kembali ke pokok bahasan. Kini, kita mencoba melihat penyimpangan makna yang dilakukan oleh Tia Setiadi di banyak tempat di dalam buku puisi tunggal-nya ini.
Kita simak baris/bait puisi berikut ini:

1) Sebab Tuhanku tidak mendengar tetapi membaca.

(Puisi “Elegi untuk Rikkat Kunt”, halaman 26)

Tuhan tentu mendengar dan membaca dengan cara-Nya.

2) Tak ada satu pun bangsa di dunia yang menolak jeruk.
Dialah utusan Tuhan yang paling bisa diterima
melebihi para nabi, para santo, dan para rasul
Jeruk tak membeda-bedakan kasta dan usia:

(Puisi “Jeruk”, halaman 53)

Bagaimana mungkin “jeruk” dibandingkan dengan “para nabi” dan “para rasul”. Di sini logika atau akal sehat harus digunakan. Kalaupun tujuan puisi ini sekadar lelucon, tapi sungguh humor ini tidak lucu sama sekali. Alangkah dangkal pemahaman filsafat Tia Setiadi.

3) /3/ di kolam
segalanya terjaga
tak ada yang menua

di kolam
segalanya terbuka
bak jiwa rumputan

selalu berlimpahan
restuNya

asalkan kau tak ada.

(Puisi “Kolam”, halaman 66)

Apakah benar “di kolam tak ada yang menua”? Pohon, rumput, dan ikan yang ada di sana karena makhluk pasti menua sesuai ketetapan hukum Ilahi. Tidak cermat sekali Tia Setiadi menilai kekayaan penciptaan-Nya ini.
Kemudian baris akhir “asalkan kau tak ada.”. Semua manusia ada. Kalau disebut tak ada berarti hilang atau tak tercipta. Kalaupun makna “tak ada” ini ingin disebut “fana”. Fana sendiri berarti “tidak kekal”—bukan berarti “tiada”.

4) Narcissus menyingkapkan inti dirinya
Di kedalaman cermin dan sungai

Yang tak berawal dan tak berakhir
Bagai bentangan pasir.

(Puisi “Cermin, Sungai, Puisi”, halaman 97).

Secara teologis, “yang tak berawal dan tak berakhir” itu hanyalah Tuhan. Rupanya, Tia Setiadi ingin mengejar rima akhir “berakhir—pasir” agar harmonis, padahal ia lupa bahwa “bentangan pasir itu” terbatas, punya awal dan akhir.

5) Tiba-tiba penyair tua itu menyadari, bahwa ia sudah sampai
pada batas tepi mimpinya:
Puluhan tahun ia menulis aneka sajak untuk menyaingi
Tuhan, namun baru sajak inilah
yang berhasil

(Puisi “Sajak untuk Sajak”, halaman 112)

Secara denotatif, sajak apa yang dapat menyaingi Tuhan? Lalu, secara konotatif pun, sajak apa yang dapat menandingi Tuhan? Bukankah takkan ada satu sajak atau puisi pun yang dapat mengalahkan (firman) Tuhan? Di sini tampak lagi penyimpangan semantik dari Tia Setiadi.

Jadi, singkat kata, penyimpangan semantik yang dilakukan oleh Tia Setiadi itu bukan memperindah puisi-puisinya, tapi justru memperburuk filsafat atau isi puisi itu. Dengan begitu, dapat diucapkan bahwa secara tematik berarti puisi-puisi Tia yang telah dibahas di atas cacat secara maknawi dan menunjukkan pemahaman filsafat Tia Setiadi sangat lemah sekali. Jika hakikat metafisik atau transendental sebuah puisi lemah, maka puisi itu tidak bernilai sama sekali kendatipun secara estetik diupayakan dengan keras.
Penyimpangan makna puisi Tia Setiadi meluas sampai kepada taraf pemahaman intertekstual yang tidak cermat. Contohnya, dalam puisi “Tangan yang Lain” buat Toni Morisson, Tia menduga tangan itu dengan dua baris berikut:

Bila tangan yang satu sedang menulis
Tangan yang lain sedang menghapusnya

Makna “tangan yang lain” di sini sangat jauh dari makna “tangan yang lain” yang dimaksudkan oleh Toni Morisson sendiri, yaitu ketika Toni memberikan kuliah nobel (Nobel Lecture) pada 7 Desember 1993, yang ringkasannya dapat disimpulkan dengan hanya satu kalimat pidatonya ini:

When the invisible was what imagination strove to see?

Terjemahan bebasnya ialah “imajinasi kita harus berusaha keras melihat apa yang tak tampak” sehingga karya sastra sebagai Semiotika tahap kedua (second order Semiotics) dapat menjelma “karya yang mampu mengonkretkan yang abstrak” di dalam batin kita sekalian. Tangan yang lain itu diibaratkan sebagai tangan superkreatif agar karya sastra tidak jatuh pada kubangan mediokritas (karya sastra murahan).
Nah, mediokritas itu pun ternyata ditemukan dalam puisi Tia Setiadi, misalnya, ia mencuri baris-baris puisi Oktavio Paz, peraih Nobel Sastra pada 1990, berjudul “Di Sini” (terjemahan Abdul Hadi W.M.):

Langkahku sepanjang jalan ini
Bergabung
Di jalan lain
Kudengar
Langkahku di situ

Sekarang, bandingkan saja dengan dua baris puisi Tia Setiadi ini:

Lelangkahmu di jalan ini, menggaungkan lelangkahmu di
Jalan yang lain—

Nah, jelas sudah, Tia Setiadi ingin disebut sebagai “penyair kelas kakap” atau “pencuri” sebab kata T.S. Eliot penyair kelas kakap mencuri, sementara penyair kelas teri menjiplak.

Kesimpulannya, pertama, dari segi problem pemilihan kata (diksi), Tia masih ceroboh berikut kecerobohan dalam hal ejaan dan kata serapan bahasa Asing. Kedua, dari segi penyimpangan semantik, menunjukkan bahwa kemampuan filsafat Tia masih mencemaskan. Dan ketiga, dari segi pemahaman antar-teks pun Tia Setiadi masih ceroboh seperti tercermin di atas.

Penelitian sederhana saya  di atas membuktikan bahwa Tia Setiadi, seorang kritikus puisi, ternyata puisi-puisinya masih berderajat mediokritas—padahal, buku puisi Tangan yang Lain ini heran sekali pada tahun 2013 menjadi Pemenang Hadiah Sastra MASTERA (Majelis Sastera Asia Tenggara).
Dan ini jelas tanda kelainan.

***
Dawpilar, 25 November 2016

__________________

Narudin
Narudin

TENTANG PENULIS
Narudin, lahir di Subang, ialah seorang Duta Bahasa Berprestasi 2015 Jawa Barat. Lulusan Sastra Inggris, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung pada 2006. Pernah mengajar di Universitas Islam As-Syafi’iah (UIA), Universitas Indonusa Esa Unggul (UIEU) Jakarta, ARS International School, dan UPI Bandung. Sejak SMU, drama-drama berbahasa Inggrisnya pernah meraih beberapa penghargaan tingkat Jawa Barat. Pada 2007, tercatat menjadi salah satu pemenang Duta Bahasa Jawa Barat di Balai Bahasa Bandung. Tulisannya berupa puisi, cerpen, esai/kritik sastra, dan terjemahan dimuat di Majalah Sastra Horison, Majalah Basis, Majalah Sastra Bong-Ang, Majalah Qalam, Majalah Tarebung, Jurnal Sajak, Jogja Review, Koran Kompas, Koran Media Indonesia, Koran Riau Pos, Koran Metro Riau, Koran Rakyat Sumbar, Koran Indo Pos, Koran Pikiran Rakyat, Koran Galamedia, Koran Seputar Indonesia, Koran Sinar Harapan, Koran Madura, Koran Berita Kota Kendari, Tabloid Ruang Rekonstruksi, Percikan Iman, Pikiran Rakyat Online, Sastra Digital, Radar Indo, Buletin Jejak, Buletin Mantra, Buletin Kanal, dan lain-lain. Puisi-puisinya terhimpun dalam antologi buku 100 Penyair Indonesia-Malaysia, Ziarah Kata 44 Penyair, Igau Danau, Flows into the Sink into the Gutter, Indonesian Poems among the Continents, dan buku puisi tunggal Narudin, Api atau Cahaya (2016). Buku kritik sastranya berjudul Analisis Modern Buku Puisi dan Puisi (Sarbi, 2015). Buku kumpulan cerpennya berjudul Matahari Hitam Belinda (Garudhawaca, 2016). Buku-buku puisi terjemahannya Setubuh Puisi karya Al-Saddiq Al-Raddi (Penerbit Halindo, 2014), dan Kinga Fabo’s Best Poems (Racun) dwibahasa Inggris-Indonesia (Teras Budaya, 2015). Buku kumpulan cerpen karya Cecep Syamsul Hari terjemahannya dalam bahasa Inggris berjudul Partita No. 3 (2013). Buku puisi bahasa Inggris Narudin berjudul But God and Other Poems (2014). Buku Partita No. 3 (2013) dan But God and Other Poems (2014) dapat diperoleh di www.amazon.com.  Kini, Narudin baru saja usai menerjemahkan 7 buku puisi bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris, masing-masing buku karya Dr. Free Hearty, Dr. Dewa Putu Sahadewa, Sastri Bakry, Nurul Wahyuni, Hilda Winar, Kurcaci Berpuisi: Puisi Anak Indonesia, dan L.K. Ara (penyair senior asal Aceh). Juga, ia sering diundang sebagai pembedah buku sastra dan pemakalah seminar.

 

Related Posts

1 of 124