Cerpen

Kelahiran Maq Ketisah, Cerita Arianto Adipurwanto* Dari Mataram

NUSANTARANEWS.CO – Kelahiran Maq Ketisah, Cerita Arianto Adipurwanto Dari Mataram. Setelah dimandikan dengan segayung air kelapa gading, baru luka goresan di sekujur tubuhnya kelihatan. Garis-garis merah itu awalnya hanya berbentuk benang merah tipis, yang kemudian dengan cepat membesar, sampai seukuran telunjuk orang dewasa. Naq Saliq, istrinya, cepat membuka pakaiannya, dan mendapatkan hal serupa lebih banyak lagi. Perlahan, warna merah itu berubah menjadi ungu tua.

Kini, seluruh tubuh suaminya berubah warna. Pelan, ia baringkan tubuh suaminya di atas dipan bambu, lalu ia keluar, dan melihat ke arah langit. Tidak ada apa-apa di situ. Benar-benar pekat. Dari dahan pohon dadap di atas rumahnya, terdengar bunyi dares1, mengkarak-karak2. Naq Saliq tiba-tiba menari dan berteriak-teriak dengan suara seperti ingin menyaingi burung itu.

Sekawanan lalat hijau turun dari langit, berdengung-dengung di atas atap. Cepat mereka mengerumuni tubuh Maq Ketisah. Mereka mengisap darah hitam pekat yang keluar dari ujung bibirnya. Sebagian lagi mengerubungi matanya. Kaki-kaki mungil mereka meraba-raba permukaan mata Maq Ketisah yang melotot, tampak sekali ingin menggali mata itu dan bersama-sama membawanya pergi. Lalat-lalat yang telah kenyang mencoba terbang meninggalkan tubuh Maq Ketisah, dan mendekati Naq Saliq yang sedang menari liar di halaman rumah.

Jari-jari kurusnya serupa dahan kering. Ia mengengkang dari satu sudut ke sudut yang lain sambil kedua tangannya direntangkan. Kain yang membungkus pinggangnya pelan-pelan terbuka, dan jatuh ke tanah. Sekarang, bukan teriakan-teriakan tak beraturan yang keluar dari mulutnya, tetapi ia mulai merapalkan mantra-mantra yang telah sangat lama tidak pernah ia ucapkan. Seputer gumi seputer langit, lek julun dik dinding, lek mudin dik dinding3.

Setelah sekian kali bergerak ke sana ke mari, mendadak ia berhenti di satu titik, dan menengadahkan wajah. Kedua matanya menatap kosong ke langit. Jari-jari tangannya bergerak mendekati kancing kebaya lusuh yang membungkus badannya, lantas membukanya satu persatu. Setelah semuanya terlepas, ia meliuk-liukkan badan kurusnya sampai kebaya itu terlepas. Dengan tubuh telanjang, ia berlari berputar, menghentakkan kedua kakinya. Mulutnya tetap merapalkan mantra yang sama, dengan suara yang semakin serak dan mengerikan.

Seolah melihat gerakan yang Naq Saliq lakukan, dares di atasnya mengeluarkan teriakan-teriakan yang nyaris terdengar seperti teriakan manusia. Dan ketika teriakan itu mencapai puncak, tiba-tiba suara itu berhenti, dan satu bunyi gedebuk tepat jatuh di depan Naq Saliq yang sedang menari-nari liar seperti cacing kepanasan.

Naq Saliq memandang apa yang jatuh di depannya tanpa menghentikan gerakan tubuhnya; justru semakin menambah kecepatannya. Sedikitpun ia tidak kaget, ketika di depannya tiba-tiba muncul nenek tua dengan membungkuk tajam seakan-akan hendak mencium tanah. Ia tertawa dan secara mendadak berhenti tepat di depan nenek tua itu.

“Kenapa kamu bunuh suami saya?” tanyanya.

“Hahahahahahaha, huihuihui,” tawa nenek tua itu lalu ia ikut menari juga. Keduanya saling menatap awas.

“Ya, kamu yang membunuh suami saya, kamu bawa kemana rohnya? Cepat kembalikan!”

“Huuiiiiiyaaaaa,” tawa nenek tua itu lagi, dan dengan cara yang tidak dimengerti oleh siapapun, Naq Saliq mengetahui apa maksud nenek tua itu.

“Setan!” bentaknya lalu ia menari-nari lagi. Berputar-putar lebih kencang. Nenek tua itu juga ikut melakukan hal yang sama. Keduanya saling mengelilingi, dengan Naq Saliq di belakang tampak sedang mengejar nenek tua yang berjalan terbungkuk di depannya.

“Kembalikan arwah suami saya, cepaat!” teriaknya dan ia mulai meloncat-loncat. Loncatannya dihentikan oleh nenek tua di depannya yang tiba-tiba berhenti dan berbalik menatapnya dengan tatapan tajam.

berugaq4, ribuan lalat hijau masuk ke dalam tubuh Maq Ketisah melalui lubang hidung, telinga, dubur, dan sebagian besar membuat lubang sendiri di leher dan perutnya. Tubuh Maq Ketisah bergerak-gerak beberapa saat kemudian. Mula-mula perut, lalu kepala, hingga seluruh bagian tubuhnya.

Naq Saliq dan nenek tua lawannya yang sedang mengadu kekuatan dengan mengibas-ngibaskan rambut tipis mereka tiba-tiba membeku melihat tubuh yang mereka perebutkan terbang melayang-layang. Tubuh itu sesekali menghadap atas, lalu terbalik, dan senyum misterius tersungging ke arah mereka ketika tubuh ungu tua itu menatap ke bawah. Mulutnya membuka dan menutup, tapi tidak ada suara apapun yang terdengar.

Naq Saliq yang tadinya terperangah cepat menyadari apa yang terjadi di depannya. “Cepat kembalikan arwah suami saya tua bangka!” bentaknya.

Nenek tua di depannya menari-nari lagi. Gerakannya sangat cepat. Dan saat ia melambat, dua pasang sayap telah tumbuh dari bawah ketiaknya. Rambutnya awut-awutan, menutupi wajahnya. Bau busuk meruap dari tubuhnya yang sekarang telah ditumbuhi bulu-bulu merah.

Melihat itu, Naq Saliq juga berputar dengan gerakan yang sama cepat. Ia tidak memiliki sayap ketika ia berhenti, namun susunya yang tadi meggantung tidak berdaya di dadanya telah hilang, dan dua kepala mirip kelapa musang dengan taring tajam muncul sebagai gantinya. Dua pasang matanya melotot tajam, terlihat sangat lapar.

Dua makhluk baru yang aneh ini berhadapan. Sementara tubuh Maq Ketisah masih melayang-layang di atas mereka. Sepasang mata Naq Saliq menatap tajam pada wajah nenek tua di depannya. Wajah itu tidak diragukan lagi adalah wajah tetangganya. Perempuan yang dibunuh oleh suaminya beberapa tahun yang lalu karena tidak memberikan mereka meminjam beras.

“Jangan coba-coba mengganggu hidup saya,” ancam Naq Saliq.

Nenek tua itu tertawa dengan suara begitu keras. Mendatangkan angin dari berbagai penjuru, yang menghempaskan tubuh Maq Ketisah ke sana-ke mari. Kedua lengannya yang terentang membentur-bentur bagian samping badannya, menimbulkan bunyi kelepak-kelepak beraturan.

“Kamu juga akan menyusul suamimu, hahahaha.” Sepasang sayap nenek tua itu mengepak-ngepak, mengangkat tubuhnya, sampai tepat berada di dekat tubuh Maq Ketisah yang sedang melayang-layang. Dengan satu gerakan, ia mematuk tubuh itu dengan paruh besar yang entah sejak kapan telah menggantung di wajahnya, dan menelannya dengan cepat.

“Kalian manusia miskin pemalas, saya akan bunuh kalian satu persatu.” Nenek tua itu terbang semakin tinggi. Kemudian ia memuntahkan sesuatu berwarna hitam pekat. Jatuh di wajah Naq Saliq yang sedang menengadah menatapnya. Sesuatu itu ternyata sangat panas. Belum sempat Naq Saliq menghindar, sesuatu itu telah menimbun seluruh tubuhnya. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia merapalkan mantra yang ia kuasai. Membuat badannya berubah menjadi merah menyala. Dalam hitungan detik, tubuhnya meledak. Dua kepala musang melesat ke langit, disusul dua sambaran petir yang menumbangkan pohon dadap di atas rumah Naq Saliq.

Di udara, nenek tua itu memandang ke bawah. Rumah keluarga yang membunuhnya telah hilang. Yang ada hanya tumpukan muntah yang kini menjelma menjadi gunung batu.

Dari dalam tumpukan itu, terdengar suara jiwa Naq Saliq teriak-teriak. Ia mengutuk akan keluar sebentar lagi dan mencari nenek tua yang telah menguburnya. Ia juga mengancam akan membalas kematian suaminya.

Nenek tua bersayap terbang lebih dekat, dan bertengger di ujung tumpukan muntahannya. Dari tempatnya, semakin jelas ia dengar suara musuhnya. “Kamu benar-benar perempuan setan, awas kamu. Akan saya cari kamu ke ujung neraka.”

Ia tertawa puas mendengar suara perempuan itu menderita di bawah sana. Tanpa menghiraukan suara itu, ia akhirnya pergi. Namun sebelum itu, ia muntah lagi.  Dari langit, nenek tua itu menyempatkan diri melihat ke bawah, dan terlihat wajah mungil Maq Ketisah sedang menatap kosong ke arahnya.***

Catatan kaki:
1. Burung yang dipercayai sebagai burung peliharaan orang yang menguasai ilmu hitam dan selalu berkeliaran di malam hari.
2. Teriak dengan keras.
3. Mantra untuk menjatuhkan leak atau jelmaan orang yang menguasai ilmu hitam.
4. Balai-balai.

*Arianto Adipurwanto, lahir di Selebung, Lombok Utara, 1 Nopember 1993. Cerpen-cerpennya pernah disiarkan di surat kabar Pikiran Rakyat, Minggu Pagi, Batam Pos, Rakyat Sultra, Suara NTB. Belajar di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Hp. 082339209367

Related Posts

1 of 39