Ekonomi

Kebijakan KLHK Cabuti Pohon Tuai Kritik dan Dinilai Rugikan Investasi

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang mencabuti tanaman akasia di areal konsesi lahan bekas kebakaran milik PT Bumi Andalas Permai (BAP) di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan dinilai telah merugikan sektor investasi.

“Saya lihat kebijakan Kementerian LHK cenderung kurang berpihak pada pengusaha. Kalau bicara pada pencabutan pada tanaman yang sudah ditanam, dalam terminologi kehutanan kurang tepat. Karena, pertama itukan makhluk hidup, kedua dari fungsi lahannya,” ujar Guru besar Fakultas Kehutanan IPB Prof Dr Yanto Santosa, di Jakarta yang ditulis Jumat (17/2/2017).

Menurutnya, dari sisi fungsi, pemerintah akan kesulitan jika hendak mengambil alih lahan gambut bekas kebakaran tersebut. Sebab, lahan tersebut saat ini statusnya merupakan hutan produksi.

Maka dari itu, untuk merubah menjadi hutan konservasi atau lindung, lanjut Yanto, akan membutuhkan waktu yang lama dan membutuhkan proses yang panjang.

“Jadi kalau alasan Rofilahan tersebut akan direstorasi, saya mempertanyakan. Berarti itu kan alih fungsi, perubahan fungsi lahan, perubahan RTRW (Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah),” kata dia.

Baca Juga:  Pemkab Pamekasan Gelar Gebyar Bazar Ramadhan Sebagai Penggerak Ekonomi Masyarakat

Yanto menyampaikan, untuk menetapkan lahan tersebut perlu direstorasi atau mengembalikan kepada fungsi semula. Hal itu juga bukan pekerjaan yang mudah, sebab, tidak semua lahan yang terbakar itu dipastikan rusak.

“Tidak ada jaminan loh bahwa lahan yang terbakar itu rusak. Kalau menurut saya sih selama lahan itu masih bisa digunakan untuk berproduksi ya ditanami saja,” ungkap dia.

Yanto menjelaskan bahwa dengan pencabutan tanaman akasia di lahan seluas 80.000 hektare (ha) tersebut akan mengakibatkan dampak psikologis bagi para pengusaha, sebab tidak ada kepastian hukum.

Dampak lainnya akan terjadi time lag (jeda waktu) antar umur tanaman, padahal perusahaan dipastikan sudah mempersiapkan produksi untuk beberapa tahun ke depan. Dengan demikian, dipastikan perusahaan-perusahaan tersebut akan mengalami kekurangan bahan baku pohon untuk dijadikan bubur kertas.

Selain itu, kerugian lainnya adalah kredibilitas perusahaan ini di mata internasional akan hancur, sebab, produk yang dihasilkan perusahaan ini untuk pasar ekspor.

Baca Juga:  Bupati Nunukan Serahkan Bantuan Sosial Sembako

KLHK memberikan surat peringatan dan sangsi kepada sejumlah korporasi pemegang izin pemanfaatan usaha Hutan Tanaman Industri (HTI) karena tidak menjalankan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (Permen LHK) Nomor P.77/Menlhk-Setjen/2015 tentang Tata Cara Penanganan Areal Terbakar Dalam Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi.

Namun sementara itu, anggota DPR RI Komisi VII Rofi Munawar meminta KLHK untuk bersikap tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak melakukan proses restorasi akibat kebakaran hutan dan lahan di tahun 2015.

“Penegakan hukum yang tidak tegas dan serius di sektor lingkungan akan semakin mendorong kerusakan yang lebih besar lagi. Karenanya, perlu ada langkah-langkah yang korektif dan kohesif terhadap beragam pelanggaran baik secara personal maupun korporasi,” kata Rofi melalui keterangan tertulisnya.

Menurut Rofi, pembiaran terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak melakukan restorasi lahan akan menyebabkan preseden buruk dikemudian hari. Dimana lingkungan menjadi terdegradasi dan korporasi yang lalai dalam mendorong keberlanjutan lingkungan (environment sustainability).

Baca Juga:  Harga Beras Meroket, Inilah Yang Harus Dilakukan Jawa Timur

“KLHK harus memiliki rencana yang sistematis dan alur yang jelas dalam penegakan hukum kasus Ini. Agar proses ini memberikan kesempatan bagi perusahaan-perusahaan tersebut memenuhi persyaratan yang diminta. Jika tidak ada itikad baik, maka sangsi administratif hingga tindakan pidana dapat ditempuh,” papar Rofi.

Berdasarkan data dari Badan Restorasi Gambut (BRG) gambut yang akan direstorasi sampai lima tahun ke depan seluas 2, 679 juta hektar, dengan kawasan budidaya 2,3 juta hektar. Dari 2,3 juta hektar (87%) itu, 1,2 juta hektar merupakan konsesi perkebunan dan kehutanan. Ironisnya, sekitar setengah juta hektar konsesi kebun dan kehutanan itu berada di kubah gambut, yang seharusnya masuk kawasan lindung.

Reporter: Richard Andika

Related Posts

1 of 425