Puisi

Jemari Pengukir Rindu dan Gaung Sajak yang Kaubacakan – Puisi Budhi Setyawan

Jemari Pengukir Rindu
: dian rusdiana

apa bedanya malam dengan lautan
karena bulan juga sendirian berlayar
menempuh sepi yang membandang
larutkan nyali yang nyala pada senja

tapi engkau telah mengalahkan perangai musim
dengan jemarimu yang piawai
mengukirkan rindu pada bentangan cuaca
dengan gerak kesutraan doa
yang meliuk dalam tarian sukma
menggetarkan taman taman surga

tak pernah ada khatam dalam puja
seperti curah jeram yang menderas
aroma wewangian menempiaskan kenang
menjadi derap-derap yang terus berulang
engkau pun terus berputar dan berpusar
menakzimkan kehadiran Tuhan dalam debar

Jakarta, 2015

Gaung Sajak yang Kaubacakan
: dian rusdiana

kata kata dari bait sajak yang kaubacakan
dari pertemuan ke pertemuan
adalah kecup gerimis yang membasahi
retak kerontang penantian kota
yang terlanjur digumul letih
dan terengah dalam pelarian diri
diburu api mimpi

lalu angin pun meniupkan cerita
tentang hambar perjalanan
membentur tembok apartemen dan plaza
sedangkan pepohonan kian terusir
kehilangan tempat menjejak
pada tepi riwayat yang sesak

gaung sajak yang kaubacakan itu
menderapkan gelombang lautan
seperti hendak mengatakan
bahwa pelayaran masihlah panjang
menyeberangi selat kesepian
menuju pulau dengan taman lagu
di seberang

Jakarta, 2015

Distikon Menanti Hujan

kau aku tak pernah tahu kapan perkawinan cuaca
sampai ada yang melendung dan memberat dalam kata

bukankah rindu adalah memuat rasa kering dahaga
yang terus membayangkan pada rengkuhan lega

burung dan serangga nyanyikan deras pinta
kepada curah yang menyuburkan kepak cinta

perjalanan hingga ke ujung ranting yang meronta
dan daun daun pun rela melepaskan pegangannya

dada tanah membukakan pori pori tubuhnya
menyampaikan hawa murni ke haribaan udara

dan sungai tampak semakin tunduk berkaca kaca
pada ricik kecil alirannya telah bercampur air mata

sementara langit merasa panas di telinganya
disebut menahan yang hendak turun dari tubuhnya

hingga dibuka kancing kancing biru jubahnya
keluar gumpalan dari gugusan doa dan damba

lalu meluruh menjelma hujan bagai rama rama
dan segera memberikan ribuan pelukan yang nyala

Jakarta, 2015

Hujan yang Rindang

semula jemari angin mengusap wajah hari
yang dingin, ketika matahari mulai penat
mengusapkan semburat jingga
di pipi senja

lalu awan awan menggulung cercah
mengakrabkan pandang pada temaram
awan yang seperti mengandung keinginan
yang terus berjela
dan tak lama lagi akan meluncur tiba

kita adalah pejalan jauh yang tak pernah jengah
melakoni segala tafsir dan perumpamaan
yang ditumbuhkan oleh doa
hingga kita senantiasa menautkan jemari
untuk bersama menari
pada keluasan harapan
yang telah kita sebut sebagai rumah

maka ketika awan awan itu lindap mewujud hujan
kita tak pernah memberi tempat bagi rasa panik
atau kecamuk yang berhamburan

biarlah hujan menguyupkan kebaikan
karena ia hujan yang rindang
yang menyuburkan lahan batin
juga memantik bara
serta menyalakan kenangan ugahari
bagi jantung semesta

Jakarta, 2015

Elegi Stasiun Lama

langit senja menggantung mega
tak ada hujan. hanya angin berembus
kirimkan dingin yang purba

kursi peron menggigil
mengukir keriput
memanggil kabarmu yang menjauh
bersama derit roda kereta

Bekasi, 2014

Budhi Setyawan/Foto Istimewa
Budhi Setyawan/Foto Istimewa

Budhi Setyawan, kelahiran Purworejo, Jawa Tengah.  Budhi Setyawan lahir di Purworejo, pada 9 Agustus 1969. Aktif berkegiatan dan sebagai ketua di Forum Sastra Bekasi. Puisi-puisinya sering dimuat di banyak media seperti Suara Merdeka, Republika, Indopos, Horison, Jurnal Sajak, dll. Banyak menulis antologi puisi bersama. Tak kurang 12 buku puisi antologi bersama telah terbit. Buku puisi tunggalnya adalah Kepak Sayap Jiwa (2006), Penyadaran (2006), Sukma Silam (2007).

Penyiar yang mengelola komunitas Forum Sastra Bekasi (FSB) ini menyukai musik rock dan jazz. Mukim di Bekasi, Jawa Barat.

Related Posts

1 of 124