Puisi

Jakarta Lautan Doa

Puisi HM. Nasruddin Anshoriy Ch*

Jakarta Lautan Doa

 

Jika puisi tak mampu menyempurnakan cinta, maka doa akan mengucap rindu dengan gemuruh suara samudera.

Jakarta tak pernah sepi dari mimpi, tak pernah renta oleh nista, bahkan ketika luka dan cinta telah bertemu dalam satu belanga.

Jakarta lautan doa, saat jiwa-jiwa manusia yang bersahaja dan tanpa pamrih merajut purnama, bahkan dengan para aktor ternama yang bermental buaya. Sebab doa tetaplah doa.

Doa bukanlah sandiwara, walau panggung dirancang dengan gagah dan sarat makna, sebab hanya Tuhan sendiri Sang Maha Merekayasa.

Ketika para dalang di belakang panggung sedang mereka-reka, adegan demi adegan penuh luka agar permainan semakin mempesona, nun di atas langit ada Tangan Tuhan lebih fasih dan penuh kasih yang mementaskan babak akhir dengan indah segala cerita.

Di kaki Monas, zikir mengalir dari jutaan bibir bagai ribuan banjir, Jakarta tenggelam dalam gelombang doa. Siapakah yang lebih paham hakikat gelap dibanding Sang Maha Cahaya?

Hanya jiwa-jiwa kerdil yang akan menggigil karena degil, sebab manusia degil hanya sanggup menggigil lantaran kerdil.

Jakarta samudera zikir, lautan cinta  menari, gelombang doa menerjang menggeliat penuh gelora, membersihkan bibir siapa saja yang berlepotan lendir.

Jakarta sudah dalam genggaman Sang Maha Perencana, maka berlututlah kalian wahai para perekayasa!

Jakarta lautan doa, samudera zikir, karena itu berhentilah menabur dusta dan tipu-daya, memelintir ayat-ayat suci dengan nyinyir.

Berpikir! Berpikir! Bertakbir!

 

Gus Nas
Gus Nas

*HM. Nasruddin Anshoriy Ch atau biasa dipanggil Gus Nas mulai menulis puisi sejak masih SMP pada tahun 1979. Tahun 1983, puisinya yang mengritik Orde Baru sempat membuat heboh Indonesia dan melibatkan Emha Ainun Nadjib, HB. Jassin, Mochtar Lubis, WS. Rendra dan Sapardi Djoko Damono menulis komentarnya di berbagai koran nasional. Tahun 1984 mendirikan Lingkaran Sastra Pesantren dan Teater Sakral di Pesantren Tebuireng, Jombang. Pada tahun itu pula tulisannya berupa puisi, esai dan kolom mulai menghiasi halaman berbagai koran dan majalah nasional, seperti Horison, Prisma, Kompas, Sinar Harapan dll.

Tahun 1987 menjadi Pembicara di Forum Puisi Indonesia di TIM dan Pembicara di Third’s South East Asian Writers Conference di National University of Singapore. Tahun 1991 puisinya berjudul Midnight Man terpilih sebagai puisi terbaik dalam New Voice of Asia dan dimuat di Majalah Solidarity, Philippines. Tahun 1995 meraih penghargaan sebagai penulis puisi terbaik versi pemirsa dalam rangka 50 Tahun Indonesia Merdeka yang diselenggarakan oleh ANTV dan Harian Republika.

Menulis sejumlah buku, antara lain berjudul Berjuang Dari Pinggir (LP3ES Jakarta), Kearifan Lingkungan Budaya Jawa (Obor Indonesia), Strategi Kebudayaan (Unibraw Press Malang), Bangsa Gagal (LKiS). Pernah menjadi peneliti sosial-budaya di LP3ES, P3M, dan peneliti lepas di LIPI. Menjadi konsultan manajemen. Menjadi Produser sejumlah film bersama Deddy Mizwar.

Sejak tahun 2004 memilih tinggal di puncak gunung yang dikepung oleh hutan jati di kawasan Pegunungan Sewu di Selatan makam Raja-Raja Jawa di Imogiri sebagai Pengasuh Pesan Trend Budaya Ilmu Giri. Tahun 2008 menggagas dan mendeklarasikan berdirinya Desa Kebangsaan di kawasan Pegunungan Sewu bersama sejumlah tokoh nasional. Tahun 2013 menjadi Pembicara Kunci pada World Culture Forum yang diselenggarakan Kemendikbud dan UNESCO di Bali.

Related Posts

1 of 125