Budaya / SeniResensi

Into the Wild (2007): Hidup di Luar Peradaban

Into the Wild (2007). Cover Istimewa
Into the Wild (2007). Cover Istimewa

Resendi Film oleh: Denny JA

“Banyak orang hidup dalam lingkungan yang tak bahagia. Dan mereka tak punya inisiatif serta nyali untuk mengubahnya.”

Kalimat ini dituliskan sendiri oleh Christopher McCandles ketika usianya masih 23 tahun. Christ lalu menjalankan apa yang ia sarankan. Ia tinggalkan keluarganya. Ia buang kartu identitasnya. Dana kuliah yang ia punya sebanyak 25 ribu USD, setara 300 juta rupiah, ia sumbangkan ke Oxfam, yayasan kemanusiaan. Ia tinggalkan pula mobilnya.

Ia bertekad menempuh jalan yang berbeda: keluar dari peradaban, hidup menyatu dengan alam.

Film ini kisah sejati perjalanan Christoper McCandles hidup ke luar peradaban, dan menyatu dengan alam di tahun 1992. Kisah tersebut dituliskan dengan apik oleh Jon Krakauer: Into The Wild.  Tokoh Christ diperankan oleh Emile Hirsch. Film ini melibatkan nama besar Holywood seperti Sean Pean dan William Hurt.

***

Di usia 23 tahun, Christ tumbuh sebagaimana anak muda menengah kota lain. Ia datang dari keluarga yang serba berkecukupan. Namun ia tak bahagia karena konflik ayah dan ibunya. Ia anak yang cerdas.

Christ banyak menghabiskan waktu membaca buku terutama karangan seorang filsuf Henry David Toreau (1817-1862).

Dua buku Henry yang mempengaruhinya mendalam: Walden. Ini semacam renungan indahnya hidup yang sederhana dalam lingkungan yang alami. Buku ini menyentuhnya untuk mencari kebahagian yang lebih tinggi untuk hidup di alam bebas.

Satu lagi buku Henry yang mempengaruhinya: civil disobedience. Buku ini  bercerita pentingnya individu untuk berani memberontak, membentuk hidupnya sendiri melawan lingkungan yang tak adil.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Kuat sudah kehendak Christ. Ia a bertekad meninggalkan lingkungan yang tak membawanya bahagia. Ia tak hanya meninggalkan adik, ayah dan ibunya. Iapun ingin meninggalkan peradaban untuk hidup di alam bebas.

Ia membawa bekal seadanya. Tujuan utamanya  Alaska. Christpun menghilang dan berganti nama menjadi Alexander Supertramp.

Keluarga yang ditinggal kaget alang kepalang. Mereka bahkan menyewa detektif swasta untuk mencari dimana Christ berada. Berbulan-bulan tanpa kabar. Polisi dan detektif swasta tak kunjung bisa melacaknya.

Malam itu ibunya terbangun  dari tidur. Ia seolah mendengar suara Christ minta pertolongan di suatu tempat. Christ masih hidup, ujar ibu setelah setahun lebih tak mendengar kabar apapun soal Christ.

Tak ada yang tahu apa yang dilakukan Christ dan ia berara dimana. Sampai suatu ketika lebih dari setahun kemudian, ditemukan sebuah jasad yang mati  di sebuah bus jauh di dalam hutan. Dari catatan harian yang ada, diketahui itu Christ.  Dari catatan harian itu, diketahui pula  kisah perjalanannya.

***

Tergambar perjalanan fisik sekaligus penemuan jati diri seorang anak muda. Sebelum Christ sampai ke bus tengah hutan itu, sudah banyak perjalanan yang dicatat.

Ia tinggalkan orang orang yang mencintainya karena meyakini sumber kebahagian tidak di sana. kebahagian itu hadir justru pada semangat berpetualang  dan hubungan intim dengan alam yang liar. Ujar Christ, kebahagiaan itu tidak bersumber  pada hubungan antar manusia.

Tapi selama perjalanannya, ia berjumpa dan hidup bersama dengan tiga pribadi dalam kesempatan yang berbeda.  Pelan pelan contoh hidup tiga pribadi itu memberikannya persepsi yang lain lagi. Ia justru melihat pribadi itu bahagia karena kasih sayang yang saling berbagi dengan sesama, dengan orang yang mereka cintai.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Lama ia terdiam terutama ketika ia merasakan cinta seorang kakek. Lelaki berumur itu awalnya mencegah Christ untuk ke Alaska. Ia menawarkan diri untuk mengadopsi Christ dan Christ boleh tinggal bersamanya.

Tapi gelora Christ untuk berpetualang dan hidup di alam raya lebih kuat. Iapun nekad pergi ke Alaska. Alam yang buas dirasakan Christ sebagai pusat kebahagian. Rintangan salju dinikmatinya. Kendala sungai ia taklukkan dengan suka cita.

Setelah empat hari masuk ke hutan liar, ia terkaget menemukan sebuah bus di dalam hutan itu. Bus itu sudah lama ditinggalkan. Dengan kegembiraan, ia ubah bus itu sebagai rumahnya.

Hari-hari awal ia jalani dengan suka cita. Setiap hari ia membuat catatan mengenai kegiatan yang berkesan. Ia juga membuat foto diri dari kameranya. Namun semakin lama, alam buas tak seperti yang semula ia bayangkan.

Ia mulai merasa kesepian. Ia mulai kelaparan dan sulit mencari makanan. Badannya semakin lama semakin kurus. Ia pernah berhasil berburu sejenis sapi besar. Tapi ia gagal mengawetkan daging sapi sehingga daging itu busuk dan tak bisa dimakan.

Badannya semakin lemah. Ia pernah mencoba untuk kembali ke peradaban. Namun ia gagal melintasi sungai yang dulu ia mampu. Di musim yang berbeda, sungai itu jauh lebih deras dan dalam.

Lebih dari 100 hari Christ di sana. Akhirnya sekelompok pemburu hewan menemukan jasadnya mati di dalam bus. Christ sudah mati berhari-hari sebelum jasadnya ditemukan.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

***

Setelah kisah Christ dibukukan oleh Jon Krakauer, bus di tengah hutan Alaska menjadi sangat terkenal. Mereka menamakannya Magic Bus.

Para petualang yang ke Alaska menjadikan bus itu sebagai ikon untuk dikunjungi. Seorang pelancong biasa akan sulit mencapai bus itu. Dibutuhkan stamina  dan keahlian seorang hiker terlatih untuk sampai kepada bus itu. Dari jalan raya, butuh waktu tempuh minimal 3 hari.

Penyebab kematian Christ juga menjadi perdebatan. Sebagian meyakini Christ salah makan tumbuhan yang ternyata racun. Sebagian lagi meyakini Christ kelaparan dan gagal mencari makanan di lingkungannya.

Bahkan citra seorang Christ juga menimbulkan pro dan kontra. Sebagian menjadikan Christ idola. Ia contoh anak muda yang berani hidup berbeda. Ia anak alam sejati.

Sebagian justru negatif kepada Christ. Ia dianggap sangat bodoh memilih hidup di hutan tanpa perlengkapan dan keahlian yang memadai. Itu sama dengan tindakan bunuh diri.

***

Yang menyentuh memang tulisan yang Christ tinggalkan di catatan hariannya ataupun di buku bacaan yang ia coret-coret.

Tulis Chrits: Kebahagiaan itu hanya real jika dibagi kepada orang lain.

Pandangan hidup Christ berubah total. Justru dalam suasana sendirian berbulan-bulan di hutan buas, ia menyadari. Hubungan antar pribadi, hubungan dengan keluarga, hubungan dengan orang yang dicintai itu yang paling memberikan makna hidup. Dulu ia menafikkan pentingnya hubungan antar pribadi sebagai sumber kebahagian.

Sampai pula Christ kepada pencerahan itu. Sayangnya kesadaran baru itu ia  yakini ketika ajalnya menjemput.[]

Editor: Achmad Sulaiman

 

Related Posts

1 of 17