HukumPolitik

Ini 5 Argumentasi Hak Angket ‘Ahok Gate’

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Almuzzammil Yusuf, mengungkapkan bahwa ada 5 argumentasi Hak Angket tentang tidak dinonaktifkannya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta.

Menurut Almuzzamil, pengaktifan kembali Ahok tersebut diduga kuat melanggar Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) Nomor 23 Tahun 2014, khususnya Pasal 83 ayat 1, 2 dan 3. Selain itu, juga melanggar UU Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 70 ayat 3 dan 4, dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 12 Tahun 2016 Pasal 61 A Ayat 3, 4, dan 5.

“Pertama, kekuataan Hak Angket itu berdasarkan argumentasi bahwa baik didakwa Pasal 156a KUHP maupun Pasal 156 KUHP, pengaktifan kembali saudara Basuki Tjahaya Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta diduga kuat bahwa Presiden telah melanggar UU Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 83 ayat 1, 2 dan 3,” ungkapnya kepada wartawan, Jakarta, Rabu (15/02/2017).

Almuzzammil menjelaskan, jika Ahok didakwa pasal 156a KUHP dengan hukuman selama-lamanya 5 tahun, maka dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 83 ayat 1 disebutkan paling singkat 5 tahun, yang berbunyi ‘Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak  pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia’.

Baca Juga:  Terkait Tindak Premanisme terhadap Wartawan Cilacap, Oknum Dinas PSDA Disinyalir Terlibat

“Jadi pada sanksi pidana yang didakwakan terhadap Ahok ada irisan pada hukuman lima tahun. Ini jelas tidak multitafsir,” ujar Master Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) itu.

Argumentasi Kedua, lanjut Almuzzammil, kalau pun yang digunakan Jaksa adalah pasal 156 KUHP dengan ancaman hukuman 4 tahun, maka perbuatan Ahok masuk pada kategori ‘perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia’. Hal itu sesuai dengan dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ali Mukartono, yang dibacakan pada 20 Desember 2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) yang berbunyi ‘Pernyataan dan isi kutipan buku tersebut (pernyataan Ahok tentang Almaidah:51) itu justru berpotensi menimbulkan perpecahan di kalangan anak bangsa, khususnya pemeluk agama Islam dan bahkan dapat menimbulkan persoalan baru’.

“Kutipan dakwaan Jaksa ini telah memenuhi maksud dari Pasal 83 Ayat 1 pada bagian terakhir yaitu perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Sedangkan Argumentasi yang Ketiga, Almuzzammil menyebutkan, pemberhentian sementara Ahok seharusnya tidak menunggu tuntutan JPU, tetapi cukup berdasarkan Nomor Register Perkara IDM 147/JKT.UT/12/2016 di PN Jakut sesuai dengan Pasal 83 Ayat 2 yang berbunyi ‘Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang menjadi terdakwa sebagaimana dimaksud  pada ayat 1 diberhentikan sementara  berdasarkan register perkara di pengadilan’.

Baca Juga:  Bupati Nunukan Resmikan Pemanfaatan Sumur Bor

“Dasar SK pemberhentian Presiden terhadap Ahok adalah nomor register pengadilan bukan berdasarkan tuntutan yang dibacakan jaksa yang disampaikan oleh Mendagri. Jadi pemberhentian menunggu tuntutan tidak memiliki dasar hukum. Cenderung dipaksakan dan mengada-ngada,” ujarnya.

Kemudian Argumentasi yang Keempat, menurut Almuzzammil, kegiatan serah terima jabatan gubernur yang di dalamnya ada Serah Terima Laporan Nota Singkat Pelaksana Tugas dari Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta, Sumarsono, kepada Gubernur Petahana, Ahok, pada masa cuti 11 Februari 2017 lalu pukul 15.30 di Gedung Balai Kota DKI Jakarta, diduga kuat melanggar UU Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 70 serta Peraturan KPU No.12/2016.

“Cuti para petahana itu dari tanggal 28 Oktober 2017 sampai 11 Februari 2017 Pukul 24.00. Pada saat serah terima itu tanggal 11 Februari pukul 15.30 masih masa cuti dan Ahok sedang cuti. Penyelenggaraan acara tersebut telah melanggar UU Nomor 10 Tahun 2016 Pasal 70 serta rinciannya pada Peraturan KPU No.12/2016,” ungkapnya.

Adapun Argumentasi yang Kelima, Almuzzammil menuturkan, Hak Angket DPR ini mendapat dukungan dan legitimasi dari masyarakat dan para pakar hukum yang mempersoalkan pengaktifan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta yang merupakan terdakwa kasus penistaan agama.

Baca Juga:  Dukungan Prabowo-Gibran Terus Menguat, Suara Ganjar-Mahfud di Malang Raya Terancam Tergerus

“Banyak aspirasi masyarakat dan kajian dari para pakar hukum yang memiliki kredibilitas dan integritas seperti Prof. Mahfud MD, Prof. Romli Atmasasmita, Prof. Deni Indrayana, Dr. Hendra Nurtjahjo, Dr. Hamid Cholid dan yang lainnya yang menegaskan pengaktifan kembali Ahok merupakan pelanggaran terhadap undang-undang,” katanya tegas.

Akhirnya, Almuzzammil menambahkan, Hak Angket tersebut tidak akan muncul jika Presiden memberhentikan sementara Ahok yang merupakan terdakwa kasus dugaan penistaan agama sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 83 Ayat 3 yang berbunyi ‘Pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 dilakukan oleh Presiden untuk gubernur dan/atau wakil gubernur serta oleh Menteri untuk bupati dan/atau wakil bupati atau wali kota dan/atau wakil wali kota’.

“Ini semua kembali kepada kebijaksanaan Presiden Jokowi. Seharusnya Presiden Jokowi lebih sensitif dan menyadari bahwa kasus Ahok adalah kasus yang sangat besar yaitu kasus penistaan terhadap Alqur’an, yang telah menyulut ketersinggungan dan kemarahan jutaan umat Islam sebagaimana sebagian diekspresikan pada Aksi Bela Islam 411 dan Aksi Bela Islam 212 yang gemanya dirasakan sampai saat ini,” ujarnya.

Reporter: Rudi Niwarta

Related Posts

1 of 414