ArtikelBerita UtamaKolom

Indonesia Dalam Dinamika International: AS Sebagai Sumber Utama Dinamika Internasional (Bagian 3)

Oleh Sayidiman Suryohadiprojo

NUSANTARANEWS.CO – Ambisi hegemoni AS tidak terbatas pada kawasan Timur Tengah. Banyak kalangan di AS menilai bahwa pencapaian hegemoni itu menghadapi tantangan negara lain. Yang diperkirakan akan merupakan saingan dan hambatan utama adalah China yang sejak tahun 1980-an makin berkembang sebagai kekuatan ekonomi yang andal. China pada pertengahan abad ke 21 diperkirakan bisa menyamai atau bahkan melampaui AS sebagai kekuatan ekonomi dan dengan itu mungkin juga politik dan militer. Sebab itu AS mulai ancang-ancang terhadap kemungkinan itu.

Namun adanya China yang makin kuat dan sebagai kemungkinan ancaman juga menguntungkan kaum military industrial complex AS. Dengan begitu ada alasan untuk menyiapkan kekuatan pertahanan yang besar. Jauh lebih besar dari pada hanya menghadapi Al Qaeda dan terorisme internasional. Atas dasar itu Pentagon dapat membuat anggaran pertahanan yang besar untuk diajukan dan disetujui Kongres. Industri pertahanan yang luas tetap terpelihara dan bahkan dapat berkembang sesuai dengan kemajuan teknologi.

Persiapan menghadapi kemungkinan China sebagai ancaman atau hambatan mengharuskan AS menjalankan politik luar negeri yang terus aktif untuk memperkuat posisinya. Hal itu berpengaruh kepada perkembangan Asia Tenggara dan Asia Timur pada umumnya.

Di Asia Tenggara ia harus usahakan agar pengaruh China tidak makin luas mengingat banyaknya penduduk keturunan China yang tinggal di kawasan itu. Ditambah lagi dengan makin kuatnya usaha ekonomi China, baik perdagangan maupun investasi.

Di Asia Timur AS memanfaatkan perkembangan di Korea Utara yang sedang membangun kemampuan nuklirnya. Keberhasilan Korea Utara membuat senjata nuklir menimbulkan reaksi di Jepang yang merasa terancam oleh Korea Utara yang juga sudah menunjukkan kemampuan peluru kendali yang mampu mencapai kepulauan Jepang. Dengan begitu dapat dihindarkan bahwa Jepang menjauh dari AS. Hal itu terjadi ketika ada persaingan ekonomi yang keras antara dua negara itu. Sedemikian kerasnya sampai ada yang mengkhawatirkan terjadinya perang ekonomi antara AS dan Jepang. Ancaman yang datang dari Korea Utara oleh Jepang membawanya untuk memperkokoh hubungan militernya dengan AS. Hal ini ditambah lagi karena China dinilai makin memperkuat militernya.

Baca Juga:  Tugu Rupiah Berdaulat Diresmikan di Sebatik

Perubahan politik di Jepang di bawah pimpinan perdana menteri Shenzo Abe bermaksud membawa Jepang menjadi “negara normal” dengan meninggalkan ketentuan UUD 1949 yang pasifis. Ini telah dimulai dengan meresmikan adanya kementerian pertahanan sebagai pengganti direktorat jenderal urusan pertahanan di dalam kantor perdana menteri. Meskipun hal ini dalam kenyataan hanya perubahan nama saja, namun mengakibatkan perubahan politik yang cukup drastis. Apalagi kalau PM Abe mampu mengubah sebutan Angkatan Bela Diri (Self Defense Forces) menjadi Angkatan Perang. Perubahan demikian akan mempunyai akibat politik karena China pasti akan menuduh Jepang mengadakan militerisasi. Kalau perkembangan demikian dapat menjauhkan Jepang dari China, maka akan besar manfaatnya bagi kepentingan AS. Akan tetapi Shinzo Abe tidak lama menjadi PM Jepang. Kaum oposisi berhasil memperkuat diri dan merebut keunggulan dalam Majelis Tinggi. Kemudian mereka berhasil menolak usaha Abe memperpanjang peran Jepang di Afghanistan yang terutama merupakan bantuan logistik minyak kepada kekuatan militer AS dan sekutunya yang beroperasi di negara itu. Penolakan oposisi memaksa Shinzo Abe mengundurkan diri dan digantikan Yasuo Fukuda (putera almarhum Takeo Fukuda, tokoh LDP yang menjadi PM Jepang di tahun 1970-an). PM Fukuda bermaksud untuk menggolkan undang-undang yang memungkinkan Jepang melanjutkan perannya di Afghanistan. Namun perkembangan ini merenggangkan Jepang dari AS, hal mana tampak dalam kunjungan PM Fukuda ke AS pada bulan November tahun ini. Apakah perkembangan ini tanda masyarakat Jepang ingin lepas dari kungkungan AS atau sekedar satu move oposisi untuk kepentingan politik sesaat, masih harus dibuktikan dalam perkembangan kemudian. Namun nampaknya Jepang masih merasa perlu adanya alliansi pertahanan yang kuat dengan AS untuk menghadapi China.

Baca Juga:  Jadi Pembicara Tunggal Prof Abdullah Sanny: Aceh Sudah Saatnya Harus Lebih Maju

Keberhasilan AS menjadikan India sebagai sekutu strategis merupakan sukses diplomasi yang amat penting. India di masa lalu tidak pernah dekat dengan AS, bahkan sebaliknya dalam masa Perang Dingin India dekat sekali dengan Uni Soviet, meskipun India bukan negara komunis. Maka kalau sekarang AS dapat menjadikan India sekutu dalam Aliansi Strategis, itu benar-benar satu sukses diplomasi yang menonjol. Apalagi India menjadi negara yang makin maju dalam perkembangan ekonominya dan penduduknya melampaui 1000 juta orang, sehingga menyamai perkembangan China. Lagi pula posisi geografis India di selatan China serta hubungan yang kurang mesra antara dua bangsa tetangga itu di masa lalu, itu semua merupakan asset bagi usaha hegemoni AS. Dengan begitu AS mengepung China dalam satu containment policy yang menguntungkan posisinya.

Sebagaimana telah diuraikan, hubungan AS dengan Iran makin tegang dan diberitakan dapat berkembang menjadi serangan AS terhadap Iran. Satu serangan invasi AS terhadap Iran dapat berpengaruh luas sekali kepada dunia. Memang AS berkepentingan sekali menundukkan Iran dan mendudukkan pimpinan di negara itu yang tunduk atau bersahabat dengan AS. Hal itu penting bagi keamanan Israel tetapi juga AS. Akan tetapi serangan AS terhadap Iran, baik dilakukan sendiri atau bersama Israel, pasti akan dibalas Iran, antara lain dengan menggunakan minyak sebagai senjata penting. Suplai minyak dari Iran yang penting bagi China dan Eropa akan terganggu. Apalagi kalau Iran mengganggu suplai minyak negara-negara Teluk dan Saudi yang dibawa melalui Selat Hormuz, maka suplai minyak ke Jepang dan AS sendiri akan terganggu. Harga minyak dunia tidak mustahil akan naik sampai AS $ 100 per barrel atau bahkan lebih tinggi lagi sebagaimana dinyatakan Hugo Chavez , presiden Venezuela, dalam rapat OPEC pada bulan November 2007 di Saudi Arabia. Ia mengatakan bahwa harga minyak akan mencapai AS $ 200 per barrel kalau AS menyerang Iran atau Venezuela. Kalau hal itu terjadi akan merupakan satu kondisi yang fatal bagi banyak negara. Padahal sama sekali tidak pasti bahwa serangan AS, sekalipun bersama Israel, akan mencapai tujuannya di Iran. Mungkin perang konvensionalnya akan menang, seperti di Irak pada tahun 2003, tetapi apa yang terjadi selanjutnya jauh dari pasti. Juga sukar diprediksi bagaimana sikap Russia, Eropa dan China terhadap serangan demikian. Inggeris, sekutu setia AS, telah menyatakan tidak akan ikut AS menyerang Iran.

Baca Juga:  Dukung Di Munas Golkar 2024, Satkar Ulama Jawa Timur Beber Dukungan Untuk Airlangga

Pada tahun 2008 di AS akan ada pemilihan Presiden dan besar kemungkinan akan dimenangkan Partai Demokrat. Menjadi pertanyaan apakah Presiden baru akan melanjutkan politik presiden George W. Bush dan kaum neo-konservatif yang telah menghasilkan keadaan AS dewasa ini. Waktu ini kaum Demokrat yang duduk di Congress menolak setiap usaha Bush untuk memperpanjang kehadiran tentara AS di Irak. Menjadi pertanyaan apakah mereka akan terus bersikap demkian kalau memegang kekuasaan, demikian pula sikap mereka terhadap masalah Iran. Sebab kepentingan penguasaan suplai minyak untuk AS tidak hanya dianut kaum Republik, tetapi juga menjadi sikap kaum Demokrat. Padahal masalah Iran hakekatnya adalah masalah penguasaan minyak, sebagaimana juga invasi AS ke Irak. (sayidiman.suryohadiprojo)

Related Posts

1 of 6