OpiniPolitikTerbaru

Indikasi Pancasila Diabaikan

Oleh: Sayidiman Suryohadiprojo

NUSANTARANEWS.CO – Ketika bangsa Indonesia memperingati ulang tahun ke 68 Lahirnya Pancasila terasa sekali ironi betapa Pancasila yang telah ditetapkan sebagai Dasar Negara, diabaikan di negara kita. Mungkin sekali masih banyak orang Indonesia menghargai dan setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, malahan memandangnya sebagai Jati Diri bangsa Indonesia dan sebagai Ideologi dalam perjuangan bangsa. Mereka berpendapat bahwa Dasar Negara itu harus dijadikan kenyataan dalam kehidupan bangsa. Yang pasti para Pejuang Kemerdekaan dan anggota Legiun Veteran RI termasuk kaum yang setia kepada Pancasila.

Akan tetapi banyak pemimpin bangsa, baik yang ada di Pemerintahan sebagai Eksekutif dan Legislatif maupun dalam dunia Bisnis serta non-Pemerintah lainnya, yang seharusnya memotivasi dan menggerakkan bangsa untuk menjadikan Dasar Negara itu kenyataan dalam kehidupan bangsa, justru tidak memedulikan dan mengabaikan Pancasila. Karena kuat dan pentingnya posisi para pemimpin itu dalam kehidupan bangsa, maka itulah yang menyebabkan mengapa kehidupan bangsa dan masyarakat Indonesia memancarkan kondisi betapa Pancasila diabaikan, tidak dipedulikan dan bahkan kadang-kadang dilecehkan. Mungkin orang-orang itu mengatakan bahwa mereka tidak mengabaikan Pancasila sebagai Dasar Negara. Akan tetapi kalau itu terjadi, maka itu menunjukkan betapa mereka munafik !

Jelas sekali betapa Pancasila tidak diperhatikan ketika Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia amat lemah wujudnya dalam kehidupn, dibandingkan dengan perhatian yang melimpah kepada Globalisme. Padahal ketika Bung Karno pertama kali menguraikan Pancasila, justru Nasionalisme yang beliau kemukakan sebagai sikap hidup yang perlu dikembangkan. Dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia juga Nasionalisme merupakan faktor utama dan motor perjuangan. Memang Bung Karno mengatakan bahwa Nasionalisme tidak lepas dari Internasionalisme. Beliau katakan Nasionalisme harus hidup subur dalam taman sari Internasionalisme. Jadi kita tidak boleh dan tidak bisa mengbaikan Globalisme sebagai bentuk Internasionalisme masa kini. Akan tetapi untuk dapat hidup dalam arus Globalisme secara efektif dan bermanfaat, Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia harus kuat.

Kurangnya minat dan perhatian terhadap Nasionalisme berakibat menurunnya sekali Kebanggaan sebagai warga bangsa Indonesia. Maka akibatnya secara langsung adalah menurunnya Daya Saing Nasional dalam berbagai bidang. Segala hal yang bersifat domestik dinomerduakan terhadap hal-hal yang berasal dan bersumber luar negeri. Tidak heran kurangnya usaha untuk menciptakan Pasar Domestik yang kuat, dan tidak peduli Indonesia dibanjiri barang-barang produksi luar negeri. Bahkan sikap itu terjadi pada olahraga, khususnya sepakbola, di mana baik media maupun masyarakat lebih berminat pada Liga Sepakbola Inggeris umpamanya dari pada menjadikan PSSI makin kuat. Juga dominasi perbankan Indonesia oleh pemilik asing seperti dianggap tidak penting dan tidak dihiraukan.

Baca Juga:  Bupati Nunukan Serahkan Bantuan Sosial Sembako

Untunglah masih ada orang-orang yang terus berjuang untuk kekuatan Indonesia. Akan tetapi jelas sekali bahwa yang lebih menonjol dan mempengaruhi kehidupan bangsa adalah kurangnya semangat dan daya juang untuk membuat Indonesia kuat. Yang menyedihkan adalah bahwa kondisi ini berakibat potensi nasional Indonesia yang kaya dan banyak variasinya lebih banyak dimanfaatkan bangsa lain dari pada bangsa sendiri. Membuat bangsa lain lebih kaya sedangkan bangsa Indonesia tetap tinggi angka kemiskinannya.

Selain itu Pancasila diabaikan ketika kurang ada usaha untuk meningkatkan Kesejahteraan Umum dan mengurangi dalamnya jurang antara golongan Kaya dan Miskin. Jumlah rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan dan yang hampir miskin menurut para pakar mendekati jumlah 200 juta orang. Memang selalu dibanggakan bahwa pertumbuhan ekonomi termasuk tinggi dibandingkan bangsa-bangsa lain yang menghadapi kesukaran berat dalam ekonominya. Akan tetapi nyatanya pertumbuhan ekonomi tinggi jauh lebih menguntungkan pihak Kaya, sedangkan kaum Miskin tetap hidup dalam kondisi yang sengsara. Koefisien Gini sebesar 40 % menunjukkan bahwa secara nyata perbedaan antara Kaya-Miskin besar sekali. Hal ini jelas sekali amat bertentangan dengan Pancasila yang menghendaki Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kondisi politik juga bertentangan sekali dengan yang dikehendaki Pancasila. Reformasi telah membawa sistem politik yang luas sekali kebebasannya dengan alasan bahwa itulah kehidupan demokrasi yang harus ditegakkan. Para pembela Reformasi membanggakan bahwa dalam kondisi ini Indonesia menjadi negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, di belakang India dan AS. Mereka tidak mau menerima bahwa kebebasan yang berlebihan atau kebablasan merugikan Indonesia dan mengatakan bahwa itu hanya merupakan “penyakit kanak-kanak” dan sistem akan membetulkan diri sendiri dengan perjalanan waktu. Buat mereka hanya demokrasi sebagaimana dilakukan di Barat yang benar demokrasi. Tidak mau berpikir bahwa demokrasi bisa berbeda menurut pandangan setiap masyarakat. Mereka tidak mau menerima bahwa sistem politik yang menerapkan nilai-nilai neo-liberalisme itu sama sekali tidak memperjuangkan kesejahteraan rakyat banyak dan hanya menghasilkan “sandiwara politik” yang memboroskan kekayaan bangsa. Dan demokrasi yang memerlukan uang amat banyak bagi para pelakunya jelas sekali merupakan sumber kuat makin luasnya Korupsi di Indonesia.

Baca Juga:  Survei Parpol, ARCI Jatim: Golkar-Gerindra Dekati PKB-PDIP

Juga Pancasila diabaikan ketika Pihak Kuat dan Banyak mau mendominasi kehidupan dan dibiarkan menggunakan kekerasan terhadap yang lemah dan minoritas. Apalagi hal itu terjadi dalam kehidupan beragama. Padahal Pancasila amat jelas menginginkan agar bangsa Indonesia hidup berdasarkan keyakinan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Itu berarti pentingnya perhatian terhadap Moralitas, Etika dan Hidup Bersama. Amat merisaukan Pejuang Pancasila ketika satu kelompok agama menyerang kelompok agama lain, atau bahkan menyerang kaum sesama agama dengan alasan bahwa kelompok yang diserang menganut paham sesat. Sama sekali diabaikan bahwa bangsa Indonesia hidup dengan dasar Gotong Royong yang menerima dan mengakui Perbedaan dalam Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan. Sebab hal itu kodrat Alam sebagaimana terdapat dalam kehidupan Keluarga, setiap anggota Keluarga beda dari yang lain tetapi merasa Satu sebagai Keluarga. Maka dalam kehidupan masyarakat Perbedaan tak pernah lepas dari Kesatuan, Kesatuan tak pernah lepas dari Perbedaan. Sebab itu Simbol Negara RI adalah Bhinneka Tunggal Ika. Akan tetapi itu sekarang hanya semboyan belaka dan amat diabaikan dalam kehidupan nyata. Dan malahan dibiarkan oleh para Pemimpin Bangsa.

Yang amat memalukan adalah Korupsi yang merajalela di mana-mana, terutama di kalangan yang menguasai negara. Ini jelas merupakan akibat dari makin kuatnya Individualisme dan Materialisme, padahal paham-paham itu tidak sesuai dengan Pancasila. Uang makin menguasai kehidupan masyarakat Indonesia secara berlebihan, dan dengan sikap mengutamakan Individu setiap peluang digunakan mengeruk uang tanpa peduli apa itu melanggar hukum atau kepatutan. Dengan uang banyak dibangun kekuasaan yang memungkinkan pengerukan uang lebih banyak lagi. Contoh paling jelas adalah besarnya peran uang dalam setiap pemilihan legislatif dan eksekutif. Tidak mengherankan kalau KPK kewalahan menghadapi perbuatan korupsi di DPR, DPRD, lingkungan pejabat Pemerintah, yang meliputi trilyunan rupiah. Membuat Indonesia tergolong bangsa paling korup di dunia. Ini amat memalukan karena Pancasila sebagai Dasar Negara menghendaki terwujudnya kehidupan bermoral tinggi, dengan pelaksanaan kekuasaan berdasarkan Etika yang bermutu tinggi.

Baca Juga:  123 Jamaah Selesai Mengikuti Manasik IPHI Kota Banda Aceh

Terlalu banyak indikasi lain untuk dikatakan dalam kata-kata. Dan orang yang tidak munafik mengakui bahwa Pancasila diabaikan.

Dan itu semua terutama terjadi sejak bangsa Indonesia pada tahun 1998 menyatakan perlunya Reformasi dalam kehidupan bangsa. Memang diperlukan Reformasi karena sejak tahun 1980-an amat meningkat terjadinya pelanggaran dan ketidakpatutan, berkembangnya KKN atau Korupsi-Kolusi-Nepotisme. Hal itu akibat dari perkembangan yang kurang sehat di masyarakat Indonesia sendiri, tetapi juga karena pengaruh dari menguatnya paham neo-liberalisme di dunia Barat yang kurang dapat ditolak oleh masyarakat Indonesia.

Namun Reformasi yang memang diperlukan justru di”bajak” kekuatan luar dengan dibantu tokoh-tokoh Reformasi di Indonesia sendiri. Reformasi yang seharusnya menjadikan Pancasila kenyataan dalam kehidupan bangsa Indonesia (Pancasila as a Living Reality), malahan makin mendesak mundur Dasar Negara itu dengan mengutamakan nilai-nilai yang dibawa dari luar, khususnya neo-liberalisme.

Yang paling parah adalah ketika UUD 1945 oleh MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara di-amandemen empat kali, sehingga batang tubuhnya sudah meninggalkan semangat dan jiwa Pancasila. Tinggal Pembukaan UUD 1945 yang masih berjiwa Pancasila, tetapi itu mungkin oleh para initiator Amandemen akan dilakukan sebagai perubahan berikut. Sebetulnya waktu itu sudah tidak ada UUD 1945 karena telah digantikan UUD 2002.

Ironisnya itu semua terjadi ketika pimpinan MPR maupun Pemerintah RI, dijabat tokoh-tokoh utama Reformasi. Dan sejak itu bangsa Indonesia dan NKRI telah dikendalikan berdasarkan nilai-nilai yang bukan-Pancasila bahkan bertentangan dengan Pancasila. Maka tidak perlu heran kalau sekarang 18 tahun setelah Reformasi dimulai, Indonesia berada dalam kondisi yang bagi banyak orang merupakan keadaan permulaan menuju kegagalan.(AS/disunting dari sayidiman.suryohadiprojo.com)

 

Related Posts

1 of 52