Hukum

IHCS: OTT Hakim MK Tamparan Keras Bagi Bangsa Indonesia

Ketua Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Ridwan Darmawan. Foto Dok Pribadi
Ketua Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Ridwan Darmawan. Foto Dok. Pribadi

NUSANTARANEWS.CO – Ketua Indonesian Human Rights Committee For Social Justice (IHCS), Ridwan Darmawan, mengungkapkan bahwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Patrialis Akbar (PA), merupakan tamparan yang keras bagi wajah bangsa Indonesia.

Menurut Ridwan, jika PA terbukti menerima suap, maka perbuatan tersebut merupakan kejahatan yang sangat luar biasa.

“Peristiwa PA menurut saya malapetaka besar bagi negeri ini, melakukan kejahatan luar biasa, korupsi. Kejahatan tersebut masuk dalam kategori extraordinary crime. Ini tamparan keras bagi seluruh komponen bangsa, bukan hanya di MK,” ungkapnya kepada wartawan, Jakarta, Kamis (26/01/17).

Ridwan mengatakan, perlu adanya evaluasi secara menyeluruh dalam merekrut Hakim MK. Hal itu, lanjutnya, demi memperbaiki wajah bangsa yang sudah tercoreng akibat ulah penjaga terakhir hukum di Indonesia.

Ridwan pun meminta, rekam jejak calon Hakim MK harus betul-betul diteropong dari berbagai aspek. “Rekam jejaknya baik dari segi keilmuan, segi kesehatan dan track record calon, terutama juga soal asal pejabat negara tersebut harus dievaluasi. Kalau untuk calon anggota KPU saja disertakan syarat harus bukan lagi anggota partai politik selama lima tahun, tentu saja hakim MK harus lebih dari itu,” ujarnya.

Baca Juga:  Satgas Catur BAIS TNI dan Tim Gabungan Sukses Gagalkan Pemyelundupan Ribuan Kaleng Miras Dari Malaysia

Ridwan menjelaskan, Korupsi didalam hukum international telah masuk dalam kategori kejahatan luar biasa atau disebut juga hostis humanis generis (musuh ummat manusia).

“Yang menarik, OTT KPK ini dilakukan beberapa jam setelah MK memutus perkara pungujian UU Tipikor yang diajukan oleh 7 PNS dari tujuh provinsi yang berstatus sebagai tersangka, terdakwa dan terpidana korupsi yang mempersoalkan frasa ‘dapat’ dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, MK mengabulkan permohonan mereka dengan menyatakan bahwa unsur kerugian negara dalam penindakan kasus korupsi harus bersifat actual loss, bukan potential loss,” katanya.

Putusan tersebut, menurut Ridwan, jelas makin menghambat upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK. “Lebih menarik lagi, putusan MK yang dibacakan kemarin, mengoreksi putusan MK sebelumnya yang menyatakan bahwa kerugian negara tidak harus actual loss dan putusan tersebut diwarnai disennting opinion oleh 4 Hakim MK,” ungkapnya. (Deni)

Related Posts

1 of 593