EkonomiOpini

Hutang Kian Menumpuk, Jokowi Mestinya Lakukan Ini…

Oleh: Salamuddin Daeng*

NUSANTARANEWS.CO – Baru dua tahun lebih sedikit pemerintahan ini berjalan, hutang pemerintah meningkat dengan sangat pesat. Ambisi pemerintahan ini mengambil hutang mengalahkan pemeritahan manapun yang pernah terjadi sebelumnya.

Bayangkan hutang pemerintah yang berasal dari luar negeri bertambah Rp. 385,393 triliun. Sedangkan hutang yang berasal dari penjualan Surat Hutang Negara bertambah Rp. 513,182 triliun.

Dengan demikian Pemerintahan Jokowi dalam sekejap telah menambah utang Rp. 898,575 triliun. Total hutang pemerintah yang bersumber dari surat utang negara sekarang telah mencapai Rp. 1620,471 triliun atau satu setengah kali pendapatan pajak. Sedangkan hutang luar negeri pemerintah sebesar Rp. 2136,825 triliun.

Dengan demikian maka hutang pemerintah secara keseluruhan baik yang berasal dari Surat Hutang Negara dan berasal dari luar negeri mencapai Rp. 3757,296 triliun. Nilai tersebut telah mencapai hampir 4 kali pendapatan pajak setahun.

Nafsu pemerintah Jokowi untuk terus menambah utang sangat terlihat. Padahal peringkat keuangan Indonesia telah ditrunkan oleh JP Morgan. Artinya kalau memaksakan diri berhutang maka resiko sangat tinggi dan bunga yang harus dibayarkan juga tinggi.

Baca Juga:  Bupati Nunukan Serahkan Bantuan Sosial Sembako

Pemerintah berkhayal mendapatkan investment grade, artinya berkhayal untuk mendapatkan hutang lebih besar lagi. Hutang-hutang ini akan dipakai untuk membiayai mega proyek bancakan oligarki. Mega proyek yang mahal dan seluruhnya terancam mangkrak.

Jika mega proyek ini berjalan maka akan menjadi jalan bagi asing dan taipan dalam menguasai sektor publik, listrik, tol, pelabuhan, bandara akan jatuh ke tangan asing dan taipan. Jika proyek ini gagal total maka negara akan disandera oleh asing dan taipan.

Cara pemerintahan Jokowi menjalankan ambisinya membahayakan keselamatan bangsa negara dan rakyat. Pembangunan yang dikuasai modal asing, dibiayai hutang, menggunakan barang impor, adalah penghkhinatan kepada amanat Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Konstitusi.

*Salamuddin Daeng, Peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Related Posts

1 of 57