HukumPolitik

Hukum Tak Berdaulat Jika Ahok Tidak Diberhentikan Sementara

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Kebijakan Publik, Faisal menyampaikan, sedari awal wajah hukum sudah tidak begitu berdaulat di depan rentetan panjang peristiwa hukum yang menimpa ahok. Dalam konteks ini tidaklah perlu kaget berlebihan, karena lemahnya kedaulatan hukum tampil dengan wajah yang memucat tak perlu tafsir untuk melihat dan merasakan itu semua.

“Yang mesti dilakukan saat ini tetap mengawal proses penegakannya. Sebab hukum telah dimatikan oleh kuasa politik. Sehingga tak jarang banyak akrobatik celah hukum yang dilakukan. Lihat saja dari menetapkan ahok menjadi tersangka begitu rumitnya seperti kita sedang berhadapan pada situasi kasus yang maha sulit padahal cukup simpel jika melihat unsur pasal penistaan agama,” terang Faisal kepada nusantaranews, Minggu (12/2/2017) malam.

Kemudian, lanjut Fasisal, di persidangan pihak terdakwa sebut memiliki bukti percakapan yang berujung pada spekulasi publik menuding adanya indikasi melakukan penyadapan tanpa hak. Jelas ini langgar UU bahkan penegak hukum tak berupaya sedikitpun untuk menindaklanjuti pernyataan pihak terdakwa apalagi ini bukan delik aduan.

Baca Juga:  KPU Nunukan Gelar Pleno Rekapitulasi Untuk Perolehan Suara Calon Anggota DPR RI

“Bahkan, belakangan langkah Mendagri yang tidak memberhentikan sementara terdakwa membuat daftar panjang jika hukum betul betul tidak berdaulat,” katanya.

Padahal, jelas dan tegas perintah UU prihal pemberhentian sementara berdasar pasal 83 (1) membuat Presiden dan Mendagri jika tidak melaksanakan perintah itu akan berpotensi langgar UU Pemda Tahun 2014.

Bukankah pasal 83 (1) itu tidak sedikitpun membuka ruang perdebatan tafsir bahkan pasal tersebut harus dimaknai demi kebaikan para pihak, baik itu pihak terdakwa agar lebih fokus jalani proses hukumnya serta pihak pemerintah DKI tidak menjadi terhambat dalam pengambilan kebijakan karena terhalang faktor status hukum Gubernurnya.

Dalih Mendagri sepertinya memaknai Pasal 83 (1) menunggu sampai tuntutan resmi jaksa penuntut di persidangan. Kalau tuntutannya lima tahun, ya diberhentikan sementara. Kalau tuntutannya di bawah lima tahun, ya tetap menjabat sampai keputusan hukum tetap.

Alasan yang dilontarkan Mendagri ini tidak sama sekali memperhatikan prinsip obyektivitas dan prinsip tidak berpihak dalam menegakkan hukum dan UU.

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Gelar Konsultasi Publik Penyusunan Ranwal RKPD Kabupaten Nunukan 2025

Jelas subyektif Mendagri jika dalam memaknai Pasal 83 (1) harus menunggu tuntutan jaksa. Padahal obyektifitas yang dianut pada Pasal 83 (1) berhenti pada dakwaan awal yang diancam pada Pasal 156a KUHP yaitu lima tahun. Mutlak alasan Mendagri tadi tidak sama sekali mewakili prinsip obyektifitas.

Kemudian, sebagai Mendagri tentu dalam mengambil keputusan yang dilihat adalah tujuan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bukan malah cenderung memihak. Keuntungan memberhentikan terdakwa sementara, maka pemerintahan DKI tidak akan terbebani dengan status hukum si terdakwa, sudah tentu akan menjauhi resiko. Kok ini justru mendekati resiko bahkan cenderung memihak.

“Jika kita masih bangga menggunakan istilah reformasi dalam berhukum, sudah tentu kedaulatan terhadap hukum mutlak harus diberikan. Janganlah kuasa politik menjadi pemasung dan di ujung sana hukum menjadi tidak berdaulat,” kata Faisal menutup.

Editor: Sulaiman

Related Posts

1 of 71