Berita UtamaKolom

Efek Lanjutan Kerusakan Sistem Ekonomi 1997 Terhadap Kesejahteraan dan Keamanan

Kolom Letnan Jenderal TNI (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin

NUSANTARANEWS.CO – Krisis ekonomi tahun 1997 telah memengaruhi kinerja sektor ekonomi riil. Keadaan ini bermula dari beratnya beban usaha akibat tingginya kalkulasi harga produksi ditambah beban bunga bank yang sedemikian luar biasa tingginya, maka berbagai sektor terkena imbas krisis.

Dari sistem perekonomian Indonesia, terdapat dua sektor utama yang mengalami perbedaan dalam cara menerima dampak krisis pada era awal krisis. Pertama, sektor konstruksi, perdagangan, keuangan dan industri pengolahan mengalami penurunan “output” yang tinggi. Penurunan output yang tinggi juga diiringi oleh tingginya kalkulasi biaya produksi, sehingga di samping hasil produk menurun, harga jual juga melambung tinggi.

Kedua, sektor pertanian masih dapat tumbuh, walaupun dengan tingkat pertumbuhan yang rendah. Musim tanam dan panen yang gagal akibat EI-Nino tahun 1997 turut memengaruhi produksi pangan, sehingga harga kebutuhan pokok pun melonjak.

Dampak yang berbeda namun dengan hasil akhir yang sama, yaitu naiknya hampir semua harga kebutuhan hidup, telah memengaruhi daya beli masyarakat. Terutama daya beli kelompok masyarakat yang berpenghasilan minimal. lndikator dampak lanjutan krisis ekonomi antara lain tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan tajam.

Baca Juga:  Catatan Kritis terhadap Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024

Dari sekitar 4,91% pada tahun 1997 menjadi negatif 13,68% pada tahun 1998. Sementara tingkat inflasi yang selama era Orde Baru selalu dipertahankan di bawah 2 digit, telah meningkat tajam menjadi sekitar 77,63% pada tahun 1998.

Selanjutnya, pada awal krisis, depresiasi mata uang seharusnya memacu nilai ekspor. Mengingat jatuhnya nilai mata uang, mestinya bisa meningkatkan pendapatan eksportir. Kenyataannya justru terbalik, kecepatan kerusakan pada sistem produksi secara deret ukur ditambah meratanya krisis secara regional di Asia telah menyebabkan melemahnya kemampuan ekspor Indonesia.

Ekspor barang tahun 1998 tumbuh dengan angka negatif 8,7%. Namun pada saat yang sama mahalnya kalkulasi barang impor telah menyebabkan impor barang menurun pada tingkat 34,2% tahun 1998. Sehingga defisit neraca berjalan secara total menurun untuk tahun fiskal 1997/1998.

Faktor lainnya, akibat serius terjadi di sektor perbankan. Akibat daya tahan perekonomian Indonesia yang sebagian besar berbeban hutang, tidak mampu membayar bunga yang sedemikian tinggi, maka tidak kurang dari Rp 600 triliun aset perekonomian Indonesia di perbankan dinyatakan sebagai kredit bermasalah. Dengan lebih dari Rp 200 triliun dinyatakan sebagai kredit macet.

Baca Juga:  Terkait Tindak Premanisme terhadap Wartawan Cilacap, Oknum Dinas PSDA Disinyalir Terlibat

Seluruh aset tersebut dikeluarkan dari sistem perbankan dan dikelola oleh suatu badan di bawah Departemen Keuangan, yakni Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Bank yang masih beroperasi kehilangan penghasilan dari aset yang produktif, sekaligus kehilangan kemampuan mengucurkan dana kepada masyarakat melalui sektor produksi, distribusi dan jasa.

Dengan situasi tersebut di atas, maka pemutusan hubungan kerja (PHK), menjadi alternatif bagi pelaku ekonomi untuk mengatasi keterpurukan kegiatan usaha. Kondisi ini mengakibatkan meningkatnya jumlah angka pengangguran.

Sekalipun catatan Bank Dunia memperkirakan angka yang lebih besar, namun BPS (Badan Pusat Statistik) memperkirakan jumlah pengangguran sekitar 13,8 juta orang, sedang Depnaker memperkirakan jumlah pengangguran sampai dengan tahun 1998 adalah 13,4 juta orang. []

Baca: Ancaman Krisis Ekonomi 1998 Sektor Kesejahteraan dan Keamanan.

Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 442