Budaya / SeniCerpen

Dilema Sang Putri Raja – Cerpen Luhur Satya Pambudi

Saat Rahwana menculik Dewi Sinta, perbuatannya ketahuan oleh Jatayu. Jatayu berusaha merebur Dewi Sinta, namun gagal/Foto: pelestarian budaya jawa
Saat Rahwana menculik Dewi Sinta, perbuatannya ketahuan oleh Jatayu. Jatayu berusaha merebur Dewi Sinta, namun gagal/Foto: pelestarian budaya jawa

NUSANTARANEWS.CO – Tak pernah terbayangkan bakal kumiliki riwayat dengan tiga lelaki bersaudara dari sebuah kerajaan yang –ironisnya- tidak berhubungan baik dengan kerajaan kami. Yang pertama terhubung denganku adalah sang putra bungsu. Awalnya, aku mengenalnya sebagai anak angkat pamanku belaka. Sekadar kutahu pemuda bernama Sungging itu piawai melukis dan pernah membuat lukisan diriku yang begitu mirip aslinya. Anehnya, kami jarang sekali bertatap muka selama ini. Lalu, siapakah Sungging sebenarnya? Mengapa ia mampu melukis sosok ragaku seutuhnya secara saksama?

Baru kuketahui hal ihwal Sungging, justru setelah berjumpa dengan Udrayaka, kakak kandung pelukis tersebut. Tak mudah bagiku melupakan pertemuan pertamaku dengannya. Pada sebuah malam aku terjaga dari lelap tidurku dan dirinya semata di depan mata.

“Siapa kau? Apa maksudmu berada di sini?” tanyaku berupaya menyembunyikan ketakutanku.

“Maaf, jika kehadiran saya mengusik tidur Tuan Putri. Saya Udrayaka, saudara kandung raja Hastinapura. Benarkah Anda Setyawati, putri Prabu Sulangkara?” Sang pemuda gagah demikian sopan menjawab pertanyaanku.

“Benar. Lantas, apa maksud Anda datang kemari?” Sikapnya menumbuhkan simpati, maka lebih santun diriku saat bertanya kembali.

”Saya akan mengajak Anda ke Hastina agar menjadi permaisuri raja,” ujarnya dengan raut wajah ramah.

”Jadi, Anda hendak menculik saya? Mengapa tidak terang-terangan saja datang menghadap Prabu Sulangkara?” Ucapannya cukup memancing amarahku.

”Saya mohon, Anda sudi mendengarkan sebabnya lebih dulu.”

”Baiklah.” Entah ilmu apa yang dimilikinya, sehingga emosiku seketika padam dan justru memberinya kesempatan melanjutkan perkataannya.

”Apakah Anda mengenal Sungging?”

”Ya, tapi saya mengenalnya sebatas nama.”

”Apakah Anda pernah berjumpa dengannya?”

”Kami pernah bertemu muka, namun sekilas belaka.”

”Perlu Tuan Putri ketahui bahwa Sungging sesungguhnya adik saya. Nama aslinya Udrasana, putra bungsu mendiang Prabu Parikesit. Udrasana terpisah dari kami sejak masih bocah, ketika terjadi insiden mengamuknya para penghuni kebun binatang di wilayah Hastina. Ternyata dia bertemu dengan patih Miantipura, yang kemudian mengangkatnya sebagai anak.”

”Oh, jadi dia sebenarnya pangeran dari Hastina? Lantas, apa hubungannya dengan saya?”

”Tentu Anda tahu, Sungging pernah membuat lukisan yang persis dengan aslinya.”

”Ya, saya tahu dia pernah membuat lukisan yang menyerupai saya. Dan saya tak habis pikir, bagaimana cara dia melukisnya? Saya bagaikan becermin belaka ketika menatap lukisan itu.”

”Apakah Anda tahu yang telah dilakukan Prabu Sulangkara terhadap Sungging?”

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

”Apa yang terjadi? Saya sama sekali tak mengerti.”

”Ayah Tuan Putri telah membunuh dan memotong-motong tubuh Sungging gara-gara lukisan itu. Dia dihukum mati tanpa memahami kesalahannya terhadap sang raja. Apakah Anda ingat, peti yang diterbangkan bersama layang-layang raksasa oleh Prabu Sulangkara tempo hari? Potongan tubuh Sungging diletakkan di dalam peti itu.”

”Oh, demikian malang nasib pemuda itu. Tak kuduga pula, betapa kejam perbuatan ayahku. Lalu, di mana jasad Sungging kini berada?”

”Tanpa sengaja, kami menemukan peti berisi jasad Sungging tergantung pada sebuah pohon di tengah hutan. Atas perkenan dewata di kahyangan, saya dan kakak saya, Prabu Udrayana, mampu menyatukan kembali jiwa raganya. Ia bisa hidup lagi dan telah menceritakan segala yang terjadi.”

”Lantas, apa yang bisa saya lakukan sekarang?”

”Kami bermaksud membuat perhitungan dengan ayah Putri Setyawati, namun dengan rasa keadilan. Biarlah dia merasakan sakitnya kehilangan putri kesayangannya. Mau tak mau, Anda saya bawa ke Hastina. Saya akan meninggalkan surat untuk Prabu Sulangkara di sini. Bagaimana, Tuan Putri?”

”Baiklah, saya bersedia ikut ke Hastina. Tunggu saya berganti pakaian dahulu.”

***

            Tak lama berselang, kutinggalkan istana Miantipura dengan bergegas. Surat untuk ayahku diletakkan di atas meja kamarku. Tiada seorang pun tahu kepergianku. Segenap penghuni istana, termasuk para prajurit penjaga, tengah nyenyak dalam tidurnya berkat kesaktian yang dimiliki Udrayaka. Tiada lagi rasa takut ataupun ragu saat melangkah karena aku memercayainya sebagai seorang kesatria yang berbudi baik. Aku menurut belaka ketika ia mengangkat tubuhku ke atas kudanya yang tinggi besar. Dalam posisi menyamping, aku duduk di depan Udrayaka yang mengendalikan sang kuda. Tangan kananku berpegangan erat pada bahunya yang kokoh. Bagian kanan tubuhku sesekali menyentuh dadanya yang bidang dan perutnya yang kencang. Tangan kanan Udrayaka kadang menyenggol kedua kakiku, sementara tangan kirinya malah menjadi tempat punggungku bersandar.

Dalam gelap perjalanan, suasana hatiku sungguh tak karuan. Detak jantungku jadi lebih cepat, sempat panas dingin pula tubuhku. Belum pernah sebelumnya, aku berada dalam kondisi sedekat itu dengan seorang lelaki. Ada sesuatu yang tak terkatakan, namun terasa menyenangkan. Apakah sesungguhnya kurasakan indahnya jatuh cinta? Aku berusaha mengatur napasku agar tetap terlihat tenang di mata Udrayaka, padahal  ketegangan sebenarnya melingkupi jiwa ragaku.

Di luar ibukota Miantipura, seorang lelaki muda tengah menunggu. Ternyata dialah Udrasana. Ia tersenyum melihatku bersama kakaknya. Kami kemudian melanjutkan perjalanan menuju Hastina. Sepertinya beberapa kali aku terlelap di pelukan Udrayaka. Terasa nyaman dan tak melelahkan, kendati perjalanan berlangsung sejak malam hingga siang harinya kami baru memasuki wilayah Hastinapura.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

”Putri Setyawati, silakan beristirahat di tempat yang sudah kami sediakan. Silakan mengatakan keperluan Anda kepada inang pengasuh,” kata Udrayaka begitu kami menjejakkan kaki di dalam istana.

”Apakah saya tidak harus segera berjumpa dengan Prabu Udrayana?” tanyaku.

”Kanda Prabu Udrayana tidak ingin tergesa. Kita akan menjumpainya petang nanti. Lagi pula perjalanan dari tadi malam pasti sangat melelahkan Anda.”

Aku merasa tersanjung diperlakukan sedemikian rupa. Para inang pengasuh pun bersikap baik seakan aku memang majikan mereka. Tanpa kesulitan, aku langsung terlelap di pembaringan sesudah membersihkan diri dan mengisi perutku. Sekian jam kemudian aku terjaga, salah satu inang pengasuh memberitahuku sesuatu.

”Putri Setyawati telah ditunggu oleh Pangeran Udrayaka dan Pangeran Udrasana di luar. Mereka akan menghadapkan Anda kepada Prabu Udrayana.”

”Oh, jadi mereka sudah menunggu saya? Baiklah, saya segera mempersiapkan diri.”

Sempat berdebar-debar lagi dadaku begitu bertatapan mata dengan Udrayaka. Namun lekas kuenyahkan sesuatu yang mengusik perasaanku. Mesti kusadari, aku berada di istana Hastina bukan akan menjadi pendamping hidup pangeran, melainkan menjadi permaisuri raja. Kuikuti langkah Udrayaka dan Udrasana yang akan mempertemukanku dengan kakak mereka. Seraya berjalan, sedikit kubayangkan seperti apa figur putra sulung mendiang Prabu Parikesit itu.

Ternyata pertemuan pertamaku dengan raja Hastina tidaklah terlalu mengesankan. Prabu Udrayana terlihat biasa belaka. Wajahnya cukup rupawan, tapi tubuhnya agak kurus, dan sosoknya tidak segagah Udrayaka. Usia raja muda tersebut mungkin sedikit lebih tua ketimbang aku. Keraguan seketika menyeruak dari relung kalbuku. Apakah sudah benar, kuterima begitu saja permintaan Udrayaka agar aku bersedia menjadi istri kakaknya? Tak bisa segera kujawab pertanyaan itu.

***

            Takdir dewata telah membawaku menjadi permaisuri Prabu Udrayana. Perdamaian akhirnya terjadi antara Hastinapura dan Miantipura, sesudah pasukan kedua  kerajaan sempat bertempur karena Prabu Sulangkara ingin merebut kembali putri kesayangannya. Ayahku menerima permintaan raja Hastina menjadi menantunya. Aku tak keberatan menjalani pernikahan dengan Udrayana, demi terciptanya hubungan baik kedua kerajaan. Namun, tak akan kulupakan lelaki yang pertama kali membawaku ke Hastina. Apalagi dialah yang sesungguhnya mampu mengimbangi kesaktian ayahku kala terjadi perang tanding di antara mereka. Sepanjang hayatku, tak pernah kulihat ada kesatria yang bisa melakukannya. Prabu Sulangkara begitu kondang sebagai raja sakti mandraguna yang susah dikalahkan sesiapa. Mesti ada kata-kata yang keluar dari mulutku, sebelum salah satu dari Udrayaka maupun ayahku dijemput nyawanya oleh Batara Yamadipati.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

”Setyawati anakku, mengapa kau berada di sini?” tanya ayahku.

”Siapa yang Ayah bela sehingga mengadu jiwa dengan Udrayaka?”

”Hei, dia kan yang menculikmu?”

”Dia bukan penculik karena hamba sukarela mengikutinya,” kataku tanpa berdusta.

”Dengan sukarela? Mengapa kau melakukan hal itu, anakku?”

”Saya ingin meminta maaf kepada Sungging yang dibunuh Ayah, meski dia tak bersalah. Ayah pasti sudah tahu, Sungging adalah adik raja Hastina saat ini.”

”Ayah mengaku bersalah telah membunuh anak itu. Lalu bagaimana perlakuan mereka terhadapmu di Hastina?”

”Mereka sangat memanjakan saya, bahkan saya akan menjadi permaisuri raja Hastina.”

”Hei, siapa yang mengizinkanmu menikah dengannya?”

”Dahulu Ayah pernah berkata ingin memiliki menantu yang sesakti Anda. Kenyataannya Ayah tak mampu mengalahkan Udrayaka.”

”Tapi dia bukanlah raja Hastinapura.”

”Sama saja. Udrayaka adalah adik raja Hastina.”

”Kau bersedia menjadi istrinya?”

”Iya, Ayah. Saya bersedia.” Cukup berat bagiku mengatakannya karena tak bisa kumungkiri, sejatinya aku jauh lebih menyukai Udrayaka. Tak kuasa kutatap lelaki gagah yang tengah berdiri terpaku di hadapan ayahku.

”Baiklah, kurestui kau menikah dengannya.”

Akhirnya bersandinglah diriku di pelaminan bersama Udrayana, lelaki ketiga dari Hastinapura yang kukenal setelah adik-adiknya. Barangkali bakal ada kisah panjang tersurat antara aku dan Udrayana. Namun, entah apakah dapat terjalin anyaman cerita nan indah, sementara bukanlah dirinya lelaki yang sejatinya pernah membuatku jatuh cinta. []

 

Luhur Satya Pambudi
Luhur Satya Pambudi

* Cerpen ini dikembangkan dan terinspirasi dari salah satu episode dalam komik wayang ”Prabu Udrayana” karya RA Kosaih.

 

**Luhur Satya Pambudi, lahir di Jakarta dan tinggal di Yogyakarta. Cerpennya pernah dimuat di sejumlah media, antara lain Tribun Jabar, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Lampung Post, dan Bali Post. Kumpulan cerpen pertamanya berjudul Perempuan yang Wajahnya Mirip Aku (Pustaka Puitika).

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 40