KolomOpini

Dewan Permasalahan Rakyat?

NUSANTARANEWS.CO – Dewan Permasalahan Rakyat?. Ditetapkannya Setya Novanto sebagai tersangka baru oleh KPK dalam kasus e-KTP menjadi pukulan telak bagi partai Golkar dan DPR RI. Penetapan tersangka orang nomor satu di DPR RI ini semakin memperburuk citra anggota dewan.

Seiring tingginya layar terkembang, demikian pula angin topan berhembus. Peribahasa tersebut tentunya cocok dinisbatkan pada anggota DPR kita. Anggapan negatif dan klaim buruk atas kinerja anggota DPR semakin hari seolah tidak menunjukkan ke arah perbaikan. Friksi yang berujung konflik sektarian, saling sandera kepentingan, amoralitas, korupsi, dan perilaku negatif lainnya menjadi cerita pilu wakil rakyat kita, utamanya di Senayan.

DPR seharusnya menjadi rumah bangsa yang menampung dan mencari solusi atas setiap permasalahan rakyat, bukan sebaliknya menjadi bagian dari permasalahan rakyat. Anggota dewan sebagai representasi rakyat seyogianya menjadi panutan. Tidak boleh tidak marwah anggota dewan harus “sempurna”. Paling tidak menjadi harapan terbaik penentu kebijakan pro kesejahteraan rakyat Indonesia.

Sudah tak sedikit kita dipertontonkan kamuflase mereka. Memang anggota dewan tak semua buruk, tapi bagaikan setetes tinta hitam yang jatuh ke dalam air benih akan selalu terlihat keruh. Citra buruk anggota dewan semakin menepis kepercayaan masyarakat.

Baca Juga:  Dewan Kehormatan yang Nir Kehormatan

Jika perilaku mereka masih saja mementingkan kelompok dan menumpuk kekayaan dengan cara tidak halal niscaya cita-cita negara sejahtera (walfare state) hanya menjadi harapan. Saya tidak mau berburuk sangka, tapi penetapan Novanto dan anggota dewan yang korup lainnya layaknya kamuflase kehidupan dan atau panggung sandiwara politik. Seperti dalam satu petikan lagu, manis di bibir memutar kata.

Belajar pada Sejarah

Tak sedikit sejarah masa kelam suatu negara atau kerajaan hancur akibat demoralisasi dan perilaku koruptif para pemimpinnya. Kita lihat kerajaan Romawi. Kerajaan Romawi hancur bukan saja akibat tekanan dari kekuatan-kekuatan baru dari utara Eropa dan timur Eropa, akan tetapi karena keruntuhan di dalam negeri sendiri akibat meluasnya korupsi dan demoralisasi di kalangan para caesar dan senator.

Kerajaan Ottoman demikian pula. Kaum bangsawan hidup mewah sedangkan rakyat menderita menjadi isapan para penguasa. Demikian pula rezim Tsar di Rusia. Demikian pula rezim Louis XIV di Perancis. Dalam sejarah modern juga ditemukan keruntuhan suatu bangsa akibat korupsi, misalnya Sygman Rhee di Korea Selatan, Batista di Kuba, Peron di Argentina, Peres Jimenez di Venezuela, dan lainnya. (Muchtar Lubis, 1997:43).

Baca Juga:  Rezim Kiev Terus Mempromosikan Teror Nuklir

Sejarah kelam tersebut dapat menjadi pelajaran berharga bagi segenap elit negara dan seluruh elemen,  bahwa keseimbangan suatu negara dapat terjadi ketika seluruh elemen  berbangsa dan bernegara dapat menjaga sikap yang baik di manapun dan kapanpun.

Apalagi pemerintahan kini sedang gencar-gencarnya mencanangkan reformasi birokrasi di segala lini. Tentunya pembenahan tersebut kalau tidak dibarengi dengan tingkah laku yang positif, maka akan sia-sia. Pembenahan birokrasi yang diharapkan dapat menjadi lipstik politik jika para elit masih mementingkan ego sektoral.

Anggota dewan tidak hanya menyangkut masalah popularitas, pengaruh, ataupun dukungan politis melainkan sejauh mana dirinya dapat menjunjung tinggi idealisme daripada pragmatisme parsial. Ketika pragmatisme dan materialisme dipertaruhkan oleh para anggota dewan maka yang ada bukan perjuangan rakyat, tapi ujung-ujungnya duit.

Memang tidak semua anggota dewan berprilaku buruk dan kurang beretika. Di dalam tumpukan lumpur dapat saja kita temukan mutiara. Namun mutiara yang ada di gedung Senayan kalau bergesakan terus dengan kepentingan parsial tidak akan ada harganya. Di dalam qowaid fiqh selalu diingatkan bahwa ketika sesuatu yang baik (halal) dan yang buruk (haram) berkumpul maka akan dimenangkan yang buruk.

Baca Juga:  Apakah Orban Benar tentang Kegagalan UE yang Tiada Henti?

Melihat fenomena belum kapoknya anggota wakil rakyat kita di parlemen yang berprilaku buruk dan asosial seakan menguatkan tesis bahwa DPR adalah Dewan Permasalahan Rakyat. DPR tidak lagi menjadi naungan rakyat untuk berteduh, atau menjadi rumah yang aman untuk mengadu, dan menjadi orang tua yang mengangkat kesejahteraan ‘anak-anaknya’.

Masih ada waktu untuk berbenah. Kasus korupsi anggota dewan seyogianya menjadi perhatian semua (stakeholders). Bangsa Indonesia tentu berharap kasus e-KTP menjadi kasus terakhir yang mencoreng citra Dewan Perwakilan Rakyat kita. Dengan begitu harapan kesejahteraan rakyat akan segera terwujud.

*Irwan Hayat, alumnus Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kini Direktur Garda Pemuda Inisiatif dan sekjend Korwil Madura DENSUS 26.

Related Posts

1 of 160