HukumPolitik

Denny JA Sebut “Kalahkan Ahok” Cara Melanjutkan Tradisi Good Governance

NUSANTARANEWS.CO – Peneliti LSI Denny JA mengungkapkan dalam tulisannya bahwa spirit mengalahkan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) itu sehat untuk demokrasi. Namun spirit mendongkel Jokowi itu “buah terlarang” yang buruk untuk tradisi pemerintahan yang baik (Good Governance).

Menurut pengampanye gendre sastra puisi esai itu, demokrasi yang terkonsolidasi memerlukan semakin banyak kaum yang bersikap demokratis. Yaitu mereka yang hanya bersedia bertindak dalam aturan main demokratis.

“Jika berhadapan dengan pemimpin yang tak disukainya, ia akan mati-matian mengalahkannya dalam prosedur demokratis: pemilu atau pilkada. Dan menolak pergantian pemimpin dengan cara tidak demokratis:  kudeta, revolusi, dll,” tulisnya seperti dikutip dari laman go.shr.lc, Sabtu (26/11)

Denny menjabarkan dalam tulisannya, bahwa yang dimaksud dengan “Kalahkan” itu merujuk pada tekad mengganti pemimpin melalui prosedur demokratis. Sedangkan “Dongkel” merujuk pada pergantian pimpinan melalui prosedur yang tidak demokratis.

“Memahami berbedanya semangat mengalahkan dan mendongkel ini penting untuk konteks sekarang. Harus jelas dipisahkan, gerakan perubahan mana yang masih oke dalam konteks demokrasi. Dan gerakan perubahan siapa yang jika diikuti hanya membawa negara semakin lemah dalam transisi demokrasi,” terangnya.

Baca Juga:  JKSN Jatim Deklarasikan Dukungan Khofifah-Emil Dua Periode

Bagi Denny JA, mengalahkan Ahok dalam pilkada 2017 adalah spirit politik yang dibolehkan dalam aturan main demokratis. Bagi yang tak suka Ahok, mereka bisa menafsir mengalahkan Ahok itu justru membuat demokrasi tambah sehat untuk dua alasan. “Pertama: mengalahkan Ahok yang sudah menjadi tersangka itu  melanjutkan tradisi good governance: best practises pemerintahan yang baik,” katanya.

Menurut pandangan Denny, selama ini sudah menjadi konvensi politik di pejabat yang menjadi tersangka mundur dari jabatannya. Aneka menteri di era pemerintahan sebelumnya banyak yang  mengundurkan diri karena menjadi tersangka. Sebut beberapa diantaranya: menteri Jero Wacik, menteri Surya Darma Ali dan menteri Andi Mallarangeng.

“Berbagai pejabat partai ketika menjadi tersangka juga mengundurkan diri. Mereka tak ingin menjadi beban bagi partainya dan sekaligus fokus kepada kasusnya sendiri. Contoh yang bisa disebut: Anas Urbaningrum yang saat itu ketum demokrat. Atau OC Kaligis, dan Rio Capella yang saat itu menjadi sekjen partai Nasdem,” ungkap Denny.

Baca Juga:  DPC PDIP Nunukan Buka Penjaringan Bakal Calon Kepala Daerah Untuk Pilkada Serentak 2024

Bahkan, lanjut Denny, pemimpin yang menjadi pejabat karena dipilih rakyat, bukan ditunjuk, ketika menjadi tersangka, mereka juga mundur dari jabatannya. Antara lain aneka anggota DPR yang menjadi tersangka: Luthfie Hassan Ishaaq dari fraksi PKS, Andi Taufan Tiro dari fraksi PAN.

“Di negara demokrasi yang lebih beradab, bahkan sebelum menjadi tersangka, jika kasusnya sudah menjadi isu publik, ia mengundurkan diri, tak peduli setinggi apapun kedudukannya. Contohnya Presiden Jerman Christian Wulff mengundurkan diri pada tahun 2011. Saat itu ia belum menjadi tersangka. Ia baru diramaikan di publik soal skandal menerima bantuan uang dari pengusaha. Karena tak ingin kasusnya menjadi beban pemerintahan, presidenpun mundur,” terangnya.

Oleh karena itu, Denny mempertanyakan, mengapa itu menjadi tradisi good governance jika pejabat yang menjadi tersangka mundur dari jabatan publik? Status tersangka  membuat sang pejabat menjadi  beban bagi jabatannya. Amanah jabatan untuk taat aturan, taat asas, taat etika, tak bisa lagi ia emban karena ia sendiri sedang bermasalah dengan itu. Bagaimana ia bisa menjadi teladan menegakkan aturan jika ia sendiri tersangka melanggar aturan?

Baca Juga:  DPRD Nunukan Berharap Semenisasi di Perbatasan Dapat Memangkas Keterisolasian

“Iapun akan disibukkan dengan proses hukum. Sebagai tersangka ia belum tentu bersalah. Namun status tersangka itu sendiri hanya diberikan kepadanya karena ia juga punya potensi salah, melanggar aturan. Proses hukum akan menyita waktu, tenaga dan pikirannya. Pejabat yang baik dalam tradisi pemerintahan yang benar tak ingin kasus hukumnya membuatnya tak bisa fokus menjalankan jabatan,” papar Denny lagi.

Kini Ahok sudah resmi menjadi tersangka. Jika seorang tersangka malah dikampanyekan, apalagi terpilih sebagai pejabat (gubernur), maka  tradisi “pejabat tersangka mundur dari jabatan” akan hancur lebur. Kasus Ahok jika menang hanya bagus untuk Ahok tapi buruk untuk tradisi pemerintahan yang baik.

“Siapapun yang menjadi tersangka akan merujuk kasus Ahok untuk tak mau mundur. Dengan mudah ia berkata. Lihat Ahok. Ia tersangka saja malah terpilih menjadi pejabat. Kok saya yang sudah pejabat, hanya  karena tersangka, diminta mundur?,” kata Denny. (Sule/red-02)

Related Posts

1 of 6